NovelToon NovelToon
Sugar Daddy?

Sugar Daddy?

Status: tamat
Genre:Nikahmuda / CEO / Mafia / Tamat
Popularitas:122
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Bahasa yang Baru Dipelajari"

Beberapa hari setelah kejadian itu, rumah tidak lagi terasa sama.

Bukan karena ada perubahan besar yang kasatmata—tidak ada renovasi, tidak ada aturan baru yang ditempel di dinding. Namun ada sesuatu yang bergerak pelan, hampir tak terdengar, seperti pergeseran udara sebelum hujan. Zavian tidak lagi berangkat pagi dengan keheningan yang kaku. Alya tidak lagi menghabiskan pagi dengan bertanya-tanya apakah keberadaannya diperhitungkan.

Perubahan itu dimulai dari hal-hal kecil.

Pagi pertama setelah Alya diperbolehkan kembali beraktivitas ringan, Zavian menunggu di ruang makan lebih lama dari biasanya. Ketika Alya muncul dengan langkah hati-hati, ia mendongak dari ponselnya.

“Duduk,” katanya singkat. Lalu, seolah menyadari nadanya, ia menambahkan, “Sarapan sudah siap.”

Alya terdiam sepersekian detik. “Bapak tidak berangkat?”

“Sebentar lagi,” jawab Zavian. “Aku mau pastikan kamu makan.”

Kalimat itu sederhana. Tapi Alya merasakannya seperti tangan yang diletakkan dengan benar—tidak menekan, tidak menarik, hanya memastikan.

Zavian mulai memperhatikan detail yang dulu ia lewatkan. Ia tahu kapan Alya mulai lelah dari cara ia memijat pergelangan tangannya. Ia tahu kapan Alya butuh diam dari cara ia menatap jendela lebih lama. Ia tidak selalu bertanya—kadang cukup duduk di dekatnya, membiarkan hening bekerja dengan cara yang lebih ramah.

Di sisi lain, Alya juga belajar sesuatu yang baru: bahwa Zavian tidak selalu dingin karena tidak peduli. Ia dingin karena selama ini tidak tahu bagaimana menunjukkan hangat tanpa merasa kehilangan kendali.

Sore hari, hujan sering turun. Zavian pulang tepat waktu. Kadang ia membawa makanan sederhana, kadang hanya membawa dirinya sendiri—dan itu cukup. Mereka duduk berhadapan, tidak selalu berbicara. Namun jarak aman itu kini terasa lebih dekat, lebih manusiawi.

“Punggungmu masih sakit?” tanya Zavian suatu malam.

“Sedikit,” jawab Alya. “Tapi sudah jauh lebih baik.”

Zavian mengangguk. “Kalau capek, bilang.”

Alya tersenyum kecil. “Iya.”

Malam-malam menjadi waktu yang paling terasa berubah.

Pada hari ketiga, Alya terbangun oleh suara pintu kamar yang dibuka pelan. Zavian masuk tanpa suara, lalu berhenti ketika menyadari Alya sudah terjaga.

“Maaf,” katanya lirih. “Aku kira kamu tidur.”

Alya menggeleng. “Tidak apa-apa.”

Ada jeda. Zavian berdiri di dekat pintu, seolah menimbang sesuatu. Lalu ia berkata, “Aku akan tidur di sini malam ini.”

Bukan perintah. Bukan pengumuman. Hanya pernyataan.

Alya menelan ludah. “Di… di lantai?”

Zavian menggeleng. “Di sini.” Ia menunjuk sisi ranjang yang kosong. “Kalau kamu tidak keberatan.”

Alya ragu. Ia tidak takut—hanya belum terbiasa. “Kalau saya… bergerak?”

“Aku juga,” jawab Zavian jujur. “Kita atur.”

Alya mengangguk pelan.

Malam itu, mereka tidur di ranjang yang sama—dengan jarak yang jelas, dengan kesepakatan yang tidak perlu diucapkan. Tidak ada sentuhan yang tergesa. Tidak ada tuntutan. Hanya dua orang yang berbagi ruang dan waktu, membiarkan kehadiran masing-masing menenangkan.

Zavian mematikan lampu, menyisakan cahaya kecil dari lampu tidur. Ia berbaring menghadap langit-langit, tangannya terlipat rapi di dada. Alya memunggunginya, memeluk bantal.

Beberapa menit berlalu.

“Alya,” panggil Zavian pelan.

“Iya?”

“Kalau tidak nyaman, bilang. Aku bisa pindah.”

Alya menggeleng meski ia tahu Zavian tidak melihatnya. “Tidak. Saya… baik-baik saja.”

Zavian mengangguk. Hening kembali turun, kali ini lebih lembut. Napas Alya perlahan teratur. Zavian menoleh sedikit—cukup untuk memastikan Alya benar-benar tertidur. Ia menarik selimut agar menutup bahu Alya yang terbuka.

Gerakan itu kecil. Tapi penuh makna.

Hari-hari berikutnya, kebiasaan itu berlanjut.

Mereka tidur bersama—sekadar tidur. Terkadang Alya terbangun karena mimpi buruk, dan Zavian hanya berkata, “Aku di sini,” tanpa menyentuh, tanpa bertanya. Terkadang Zavian pulang larut, dan Alya bergeser memberi ruang tanpa kata. Mereka belajar bahasa yang sama sekali baru: bahasa kepercayaan yang dibangun dari konsistensi.

Kasih sayang Zavian tidak datang dalam bentuk kata-kata manis. Ia datang sebagai perhatian yang stabil. Sebagai keputusan untuk pulang. Sebagai kesediaan mendengar tanpa membela diri.

Suatu malam, ketika hujan turun lebih deras dari biasanya, Alya duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Zavian baru saja selesai menelepon.

“Kamu dingin?” tanyanya.

Alya menggeleng. “Tidak. Cuma… hujannya keras.”

Zavian mengambil selimut tambahan dan menyampirkannya di bahu Alya. “Kalau takut, tidak apa-apa.”

Alya menatapnya. “Bapak pikir saya takut?”

“Bukan takut,” jawab Zavian. “Manusiawi.”

Alya tersenyum kecil. “Kalau begitu… iya. Sedikit.”

Zavian duduk di sampingnya, menjaga jarak yang nyaman. “Aku juga.”

Pengakuan itu mengejutkan Alya. “Bapak?”

Zavian mengangguk. “Aku terbiasa menghadapi banyak hal. Tapi belajar dekat dengan seseorang… itu baru.”

Alya tidak menjawab. Ia hanya duduk di sana, membiarkan kalimat itu tinggal di antara mereka.

Kasih sayang Zavian juga muncul dalam hal-hal yang lebih praktis. Ia mengantar Alya ke dokter tanpa menyuruh orang lain. Ia memastikan rumah aman tanpa membuat Alya merasa dikurung. Ia mulai bertanya—bukan untuk mengontrol, tapi untuk memahami.

“Apa yang kamu suka?” tanyanya suatu sore.

Alya mengedip. “Maksudnya?”

“Makanan. Buku. Hal-hal kecil.”

Alya berpikir sejenak. “Saya suka teh hangat. Dan buku dengan akhir yang tidak terlalu sempurna.”

Zavian mengangguk, mencatatnya dalam ingatan seperti informasi paling penting. Malam itu, teh hangat ada di meja. Buku dengan sampul sederhana tergeletak di sofa.

Alya menatapnya lama. “Bapak ingat?”

“Katamu penting,” jawab Zavian singkat.

Perlahan, Alya mulai percaya bahwa ia tidak hanya *ada*. Ia dipilih—setiap hari, dengan cara yang berbeda.

Dan Zavian, sang mafia yang selama ini memahami cinta sebagai kelemahan, mulai melihatnya sebagai disiplin baru. Sesuatu yang perlu dipelajari, dijaga, dan diprioritaskan. Bukan dengan posesif, bukan dengan paksaan—melainkan dengan kehadiran yang konsisten.

Suatu malam, ketika Alya sudah tertidur lebih dulu, Zavian berbaring di sampingnya, menatap wajah yang kini terlihat lebih tenang. Ia menyadari sesuatu yang membuat dadanya terasa penuh: ia tidak lagi ingin pergi hanya untuk merasa memegang kendali.

Ia ingin pulang.

Zavian mendekat dan dengan perlahan memeluk tubuh Alya, rasanya hangat dan mungil.

Alya bergerak sedikit dalam tidurnya dan tak sadar Alya bergerak meringkuk didada Zavian.

Zavian sedikit terkejut namun mendekap Alya erat. dan mencium kening Alya lembut. "Maaf...aku belum mencintaimu secara sempurna, aku berusaha Alya".

Kasih sayang itu belum sempurna. Cinta itu belum diucapkan dengan kata-kata besar. Tapi ia tumbuh—pelan, kuat, dan nyata.

Dan di ranjang yang sama, dua orang yang pernah terjebak dalam keputusan orang lain kini mulai memilih satu sama lain—tanpa paksaan, tanpa kebisingan.

Hanya dengan keberanian untuk tinggal.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!