Mila, seorang gadis modern yang cerdas tapi tertutup, meninggal karena kecelakaan mobil. Namun, takdir membawanya ke zaman kuno di sebuah kerajaan bernama Cine. Ia terbangun dalam tubuh Selir Qianru, selir rendah yang tak dianggap di istana dan kerap ditindas Permaisuri serta para selir lain. Meski awalnya bingung dan takut, Mila perlahan berubah—ia memanfaatkan kecerdasannya, ilmu bela diri yang entah dari mana muncul, serta sikap blak-blakan dan unik khas wanita modern untuk mengubah nasibnya. Dari yang tak dianggap, ia menjadi sekutu penting Kaisar dalam membongkar korupsi, penghianatan, dan konspirasi dalam istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Kabut musim gugur belum sepenuhnya reda, namun suasana di istana mulai berubah.
Penangkapan Selir Ming mengguncang tatanan dalam istana. Banyak selir dan pejabat mulai menunjukkan wajah asli mereka—ada yang mendekat, ada pula yang menjauh perlahan dari Qianru.
Tapi Qianru tidak peduli.
Ia kini lebih kuat, lebih disegani, dan lebih berbahaya.
Di tengah berbagai laporan, Qianru menerima kabar bahwa Pangeran Selatan—Li Yuan—telah mengutus orang ke ibukota. Bukan untuk perang. Melainkan untuk mengadakan perjanjian rahasia.
“Kenapa musuh tiba-tiba ingin berdamai?” tanya Kaisar curiga.
“Karena mereka tahu serangan dari dalam telah gagal. Sekarang, mereka mencari jalan lain untuk menusuk dari belakang,” jawab Qianru dingin.
Tiga hari kemudian, utusan Pangeran Selatan tiba di ibu kota. Ia seorang pria paruh baya bernama Fan Shi, dikenal licik dan pandai bersilat lidah.
Kaisar menolak menemuinya secara langsung. Maka pertemuan rahasia berlangsung di ruang perundingan dalam istana—dan Qianru ditunjuk sebagai wakil Kaisar.
Fan Shi menatap Qianru dengan senyum penuh arti.
“Aku mendengar banyak tentangmu, Nyonya Qianru. Wanita yang bisa mengendalikan kekuatan hanya dengan kecerdasan.” ujar Fan Shi
“Kalau kau kemari hanya untuk merayu, maka pintu keluar ada di belakangmu,” sahut Qianru datar.
Fan Shi terkekeh. “Langsung ke pokok persoalan, ya? Baiklah. Pangeran kami ingin berdamai. Ia menawarkan pengakuan pada Kaisar—dengan syarat tertentu.”
Qianru menyilangkan tangan. “Apa syaratnya?”
Fan Shi menatap tajam. “Ia ingin menikah dengan Anda. Menjadikan Anda Permaisuri di wilayah Selatan.”
Ruangan menjadi senyap.
Lalu Qianru tertawa. Ringan, namun tajam seperti sembilu.
“Aku lebih suka menikah dengan prajurit jaga gerbang daripada jadi istri pengkhianat,” ucapnya.
Fan Shi menegang. “Kau akan menyesal menolak tawaran ini.”
Qianru berdiri, menatap matanya tanpa gentar.
“Tidak, Fan Shi. Kalianlah yang akan menyesal telah menganggapku hanya sebagai bidak.” marah Qianru
Qianru segera menemui Kaisar dan melaporkan semuanya.
“Kau menolak tawaran mereka,” ucap Kaisar.
“Tanpa perlu izinmu,” jawab Qianru, lalu menambahkan, “Karena aku tahu, kalau aku setuju, kau sendiri yang akan merasa dikhianati.”
Kaisar terdiam. Ia mendekat, menyentuh bahu Qianru dengan lembut.
“Kadang aku lupa kau bukan hanya selir. Kau adalah pejuang. Sekaligus... tembok terakhirku.”
Mereka berdiri lama dalam diam.
Sampai akhirnya Qianru berbisik, “Li Yuan tak akan diam. Jika perjanjian gagal, ia akan mempersiapkan pasukan.”
“Lalu kita harus mendahuluinya,” ucap Kaisar.
Malam itu, pasukan khusus dikirim ke Selatan. Tapi bukan untuk perang—melainkan untuk menebar informasi palsu, menyabotase logistik, dan memperlemah moral pasukan Li Yuan dari dalam.
Qianru memimpin strategi dari balik layar. Ia menggunakan jaringan mata-matanya, mengatur pesan rahasia, dan menciptakan kekacauan kecil di pihak musuh.
Sementara itu, di dalam istana, beberapa pejabat mulai tidak senang dengan pengaruh Qianru yang semakin besar.
“Seorang selir tak seharusnya ikut urusan negara,” ucap Menteri Huo di hadapan beberapa bangsawan.
Namun ketika mereka mencoba memakzulkan Qianru lewat petisi, Kaisar membalasnya dengan tegas:
“Jika kalian ingin mencabut sayap Qianru, maka cabutlah juga kepalaku.”
Tapi Qianru tahu—musuh dalam bukan hanya Pangeran Selatan. Mereka juga bersembunyi dalam aula istana.
Qianru duduk di balkon kamarnya malam itu, menatap langit kelam tanpa bintang. Angin membawa aroma dedaunan kering dan bahaya yang belum selesai.
> “Mereka ingin aku tumbang,” bisiknya sendiri. “Tapi mereka lupa, aku bukan lagi wanita lemah yang mereka kenal.”
Dan di kejauhan, bayang-bayang Li Yuan mulai bergerak, membawa perang yang bukan hanya soal kekuasaan... tetapi juga soal siapa yang layak berdiri di ujung dunia ini sebagai pemenang.
Di wilayah Selatan, Pangeran Li Yuan marah besar saat mendengar utusannya gagal.
“Qianru menolak?” tanyanya tajam.
Fan Shi menunduk. “Bukan hanya menolak, Pangeran. Dia menghina kita secara langsung.”
Li Yuan menggenggam gagang kursinya dengan penuh amarah. Ia tahu waktu sudah tak banyak. Pasukan utara mulai mengirim penyusup ke markas rahasia mereka. Beberapa gudang logistik terbakar misterius, dan moral pasukan menurun.
“Kalau begitu, saatnya menghapus akar gangguan,” gumamnya dingin. “Kita kirim pembunuh ke istana.”
Qianru merasa ada yang berubah. Setiap langkahnya kini diikuti. Beberapa pesan rahasia tidak sampai. Tiga mata-mata andalannya tiba-tiba menghilang.
Di malam keempat, seorang pelayan mencoba menyuguhkan teh beracun.
Qianru berhasil memergokinya tepat waktu.
“Aku hanya disuruh!” pelayan itu menangis saat diinterogasi.
“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Rui Lan, gemetar karena marah.
“Seorang pria berjubah abu-abu... aku tak tahu namanya... hanya disuruh letakkan teh itu!”
Qianru menyadari: ini bukan lagi permainan politik. Ini adalah pemburuan.
Qianru mengatur pertemuan malam hari dengan Jenderal Mo di sebuah ruang penyimpanan tua yang hanya diketahui sedikit orang.
“Kau yakin orang dalam ikut terlibat?” tanya Mo, menatap peta yang Qianru hamparkan.
Qianru menunjuk jalur pergerakan mata-mata mereka yang dibunuh dalam waktu berdekatan. Semua titik berada dekat area yang dikuasai oleh faksi Perdana Menteri Huo.
“Aku tidak punya bukti langsung. Tapi hanya orang dalam yang tahu rute ini.”
Mo menghela napas. “Kalau dugaanmu benar, maka istana ini sudah penuh racun.”
Qianru menatapnya tajam. “Kita harus bersih-bersih. Dan aku butuh pasukanmu diam-diam siaga dalam waktu dekat.”
Di sisi lain istana, Permaisuri Mei istri dari adik kaisar yang selama ini diam-diam memperhatikan pergerakan Qianru mulai menyusun langkah. Ia tahu popularitas Qianru makin meningkat, dan Kaisar makin bergantung padanya.
“Kita tidak bisa membiarkan seorang selir naik lebih tinggi dariku,” bisiknya pada adik laki-lakinya, Penasihat Mei Zhiang.
“Tenang, Jie. Kita akan singkirkan dia—dan kalau bisa sekalian singkirkan Kaisar.”
Mereka mulai menjalin kontak rahasia dengan agen Selatan, berusaha mengatur kudeta dalam istana.
Namun Qianru telah menyusupkan satu pelayan kecil di kediaman permaisuri Mei , dan semua rencana itu terdengar olehnya.
Qianru kembali ke ruang rahasia, membawa semua informasi ke Kaisar dan Jenderal Mo.
Kaisar tampak terpukul.
“Adik iparku sendiri... berani merencanakan penggulingan?”
Qianru memegang tangannya. “Yang membuat mereka berani adalah karena kita terlalu lama percaya.”
Malam itu, pertemuan darurat diadakan hanya antara empat orang: Kaisar, Qianru, Jenderal Mo, dan Kepala Keamanan Istana.
Perang dalam istana akan dimulai sebelum perang besar dari luar datang.
Qianru berdiri di menara tertinggi istana, menatap lampion-lampion yang mulai menyala.
“Musuh dari luar... musuh dari dalam... Tapi mereka semua lupa satu hal.”
Ia mencabut belatinya, mengamati pantulan wajahnya sendiri.
> “Aku adalah badai yang kalian bangunkan sendiri. Sekarang bersiaplah menerima amarahnya.”
Bersambung