Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemenangan
Hari interview tiba ketika langit kota masih gelap. Anna sudah terbangun sejak pukul empat pagi, jauh sebelum alarm berbunyi. Tidurnya tidak nyenyak—setiap menit terasa seperti menunggu giliran naik ke panggung pertunjukan besar yang menentukan masa depan.
Kontrakan kecil itu dipenuhi aroma bedak dan concealer yang mencoba menutupi lingkar matanya. Anna menatap pantulan dirinya di cermin kecil yang retaknya membelah sudut bawah. Jas hitam sewaan itu terasa sedikit kebesaran di bahu, tetapi sangat rapi dibandingkan pakaian lain yang ia miliki.
Ia merapikan rambutnya berkali-kali, memastikan poni tipisnya jatuh natural.
“Semoga cukup… semoga ini cukup untuk terlihat layak.”
Hatinya bergetar. Bukan karena ingin terlihat cantik, tapi karena selama ini ia tahu betul dunia kerja sering kali menilai penampilan lebih dulu sebelum kemampuan.
Namun Sovereign Group—begitu kata dosen pembina kampusnya—adalah perusahaan yang menjunjung tinggi nondiskriminasi. Di sana, kompetensi jauh lebih utama dari tampilan luar.
Anna hanya bisa berharap itu benar.
⸻
Saat tiba di lobby gedung Sovereign Group, Anna merasa tubuhnya mengecil. Gedung kaca itu begitu megah hingga pantulannya membuatnya merasa bukan siapa-siapa. Ada para pegawai yang berjalan cepat memakai ID card elegan di leher, terlihat profesional dengan jas mahal yang membungkus tubuh mereka.
Anna menelan ludah.
Ia berdiri di depan lift, memegang map berisi CV dan portofolionya erat-erat.
“Interview peserta magang lantai 12 ya, Mbak?” tanya petugas keamanan dengan ramah.
“I-iya, Pak. Terima kasih.”
Anna masuk ke lift bersama dua calon kandidat lain yang terlihat jauh lebih meyakinkan. Rambut terawat, blazer baru, sepatu mengilap. Mereka mengobrol soal prestasi kuliah, seminar luar negeri, dan pengalaman organisasi bergengsi.
Anna hanya terdiam, menunduk pada lantai lift. Tangannya dingin, tapi hatinya memaksa untuk tetap kuat.
“Yang penting aku mampu… yang penting aku bisa. Bukan siapa yang paling cantik.”
Lift berhenti di lantai 12. Ruang tunggu luas dengan tembok putih dan logo Sovereign tertempel besar di dinding memberi aura elegan dan tegas.
Anna mengambil nomor antrean. Nomornya 27.
Masih banyak waktu untuk berdoa.
⸻
Satu per satu peserta masuk dan keluar dari ruang interview. Sebagian terlihat percaya diri, sebagian pucat.
Ketika nomor 26 dipanggil, jantung Anna seperti ikut berdetak di tenggorokan. Ia menggosok kedua telapak tangan, mencoba menghilangkan gemetar.
“Nomor 27. Anna Prameswari.”
Anna berdiri.
Langkahnya pelan, tapi mantap memasuki ruangan interview.
⸻
Ruangannya luas, bersih, dengan aroma lembut yang tidak mengganggu. Ada tiga pewawancara duduk sejajar di balik meja panjang: seorang wanita HR, seorang pria dari divisi perusahaan, dan satu lagi yang tampaknya dari tim penilaian kompetensi.
“Selamat pagi, Anna,” sambut salah satu pewawancara, perempuan berwajah tegas namun ramah. “Terima kasih sudah datang.”
Anna membungkuk sedikit. “Selamat pagi, Ibu. Terima kasih banyak atas kesempatannya.”
“Baik, kita mulai ya. Tolong ceritakan sedikit tentang dirimu.”
Anna menarik napas panjang. Ini momen yang paling ia takutkan—menjelaskan dirinya tanpa terdengar menyedihkan.
“A-a… Saya Anna. Mahasiswa semester enam Manajemen Bisnis. Saya aktif di organisasi kampus, terbiasa mengatur acara, membuat laporan, dan bekerja dalam tim. Saya ingin bergabung dengan Sovereign karena saya ingin belajar langsung dari lingkungan kerja profesional yang menuntut kedisiplinan tinggi.”
Kata-katanya mengalir lebih tenang dari yang ia sangka.
Pewawancara wanita itu mengangguk puas.
“Ceritakan tantangan terbesar yang pernah kamu hadapi.”
Tubuh Anna menegang.
Ia tidak ingin terlihat sebagai gadis bermasalah yang datang dengan segudang beban hidup. Tetapi ia juga tahu Sovereign menghargai kejujuran dan ketangguhan.
Jadi ia memilih yang paling kontras: kebenaran tanpa drama.
“Tantangan terbesar saya adalah bertahan pada komitmen akademik saat kondisi ekonomi keluarga saya memburuk. Saya harus bekerja sambil kuliah dan menjaga performa akademik. Tapi saya percaya tekanan itu membentuk saya menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah.”
Ketiga pewawancara saling pandang sebentar—bukan tatapan merendahkan, melainkan evaluasi.
“Kamu bekerja sambil kuliah?” tanya pria dari divisi perusahaan.
Anna mengangguk. “Ya, Pak. Kadang membantu warung dekat kontrakan, kadang menjadi driver online.”
Wajah pria itu menunjukkan rasa terkesan.
“Bekerja keras, ditambah tetap aktif organisasi, itu tidak mudah,” katanya sambil mencatat sesuatu.
Anna tidak tahu apakah itu poin positif atau tidak. Ia hanya bisa menunggu pertanyaan berikutnya.
“Menurut kamu, kenapa kami harus memilih kamu?” tanya pewawancara terakhir, pria berkacamata dengan suara tenang.
Pertanyaan itu menghantam hati Anna.
Ia menatap jarinya, lalu mengumpulkan keberanian.
“Karena saya tidak hanya butuh kesempatan… tapi saya siap untuk memaksimalkan kesempatan itu. Saya mungkin tidak sempurna, tidak punya pengalaman besar, tapi saya selalu memberikan yang terbaik. Saya cepat belajar, pekerja keras, dan saya ingin tumbuh bersama perusahaan yang menghargai kemampuan—bukan penampilan.”
Suasana ruangan mendadak hening.
Pewawancara wanita itu tersenyum kecil. Hangat.
“Baik, Anna. Terima kasih. Kami sudah mendapat gambaran. Apakah kamu ada pertanyaan untuk kami?”
Anna menggeleng. “Tidak, Bu. Saya hanya ingin berterima kasih karena Sovereign memberikan kesempatan tanpa memandang latar belakang atau kondisi fisik.”
Wajah para pewawancara tampak tersentuh.
“Terima kasih sudah jujur. Baiklah, interview selesai. Kami akan menghubungi Anda melalui email.”
⸻
Ketika pintu ruangan tertutup di belakangnya, Anna mengembuskan napas panjang yang sejak tadi ia tahan. Lututnya benar-benar ingin roboh.
Ia berjalan keluar gedung dengan perasaan campur aduk—leganya lebih besar dari takut. Ia sudah memberikan yang terbaik yang ia punya.
Entah hasilnya apa, ia siap menerimanya…
⸻
Tiga hari berlalu.
Anna menjalani hari seperti biasa: kuliah, shift di warung, sedikit waktu sebagai driver. Tetapi batinnya selalu gelisah.
Sampai satu malam, saat ia duduk di lantai kontrakan dengan mie instan yang hampir tak ada lauknya, notifikasi email muncul.
“Sovereign Group — Pengumuman Interview Program Magang”
Anna menjatuhkan sendok.
Tangan gemetar saat menekan layar.
Ia membaca baris pertama.
Dan baris itu cukup untuk membuat air matanya jatuh deras tanpa bisa dihentikan.
“Selamat! Anda dinyatakan lulus interview dan diterima sebagai peserta magang Divisi Strategi & Operasional Sovereign Group.”
Anna menutup mulut dengan kedua tangan.
Badannya bergetar. Lusi yang mendengar suara dari kamarnya berlari panik.
“AN??? Lo kenapa??”
Anna menunjukkan layar ponsel sambil menangis.
“Lus… aku lulus… aku… aku diterima…”
Lusi langsung memeluknya erat seperti memeluk seseorang yang kembali dari jurang terdalam hidupnya.
“GILA! Anna!! Sovereign!! Lo keterima!!”
Anna menangis semakin keras—bukan karena kesedihan, melainkan karena untuk pertama kalinya dalam waktu lama…
Ia merasa dunia memberinya tempat.
Ia merasa dirinya layak.
Ia merasa masih ada masa depan untuk diperjuangkan.
Dan di perusahaan besar itu—perusahaan yang tidak menilai kulit, pakaian, atau kecantikan…
Kemampuan Anna akhirnya dilihat.
Dihargai.
Diterima.
Keajaiban itu benar-benar datang.