HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1: Pintu yang Tertutup
Hujan gerimis membasahi jalan tanah yang becek. Dewanga berdiri di depan sebuah rumah sederhana dengan pagar kayu yang mulai lapuk. Tangannya gemetar memegang kantong plastik berisi pisang dan kue—hadiah sederhana yang ia beli dengan uang hasil kerja seminggu sebagai kuli bangunan.
Usia delapan belas tahun, tapi wajahnya sudah menampakkan garis-garis lelah. Kulitnya gelap terbakar matahari, tangannya kasar penuh kapalan. Baju koko putih yang ia kenakan adalah satu-satunya baju bagus yang ia punya—sudah dicuci berkali-kali hingga warnanya agak keabuan.
Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantung yang berpacu kencang. Di dalam sana, ada Anis. Gadis yang sudah ia sukai sejak setahun lalu. Gadis yang selalu tersenyum padanya saat mereka bertemu di pasar. Gadis yang membuat hatinya berdebar setiap kali melintas di pikirannya.
"Bismillah," bisiknya pelan.
Dewanga mengetuk pintu dengan ragu. Ketukan pertama terlalu pelan, hampir tak terdengar. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras.
Pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya—Ibu aiysah—muncul dengan wajah datar. Matanya memindai Dewanga dari atas ke bawah, dan dalam sekejap, Dewanga bisa melihat kekecewaan di sana.
"Ada perlu apa?" tanya wanita itu ketus.
"Selamat sore, Bu. Saya... saya Dewanga. Saya ingin bertemu dengan Bapak dan Ibu untuk... untuk membicarakan sesuatu yang penting." Suaranya bergetar, tapi ia berusaha terdengar mantap.
Ibu Aisyah tidak menjawab. Ia hanya menatap Dewanga lebih lama, lalu memanggil ke dalam rumah, "Pak! Ada orang!"
Bapak Aisyah muncul—pria tegap dengan kumis tebal dan pandangan tajam. Ia berdiri di ambang pintu, tidak mempersilakan Dewanga masuk.
"Iya, ada apa?" tanyanya dengan nada yang tidak ramah.
Dewanga menelan ludah. Tangannya semakin basah oleh keringat.
"Pak, Bu, saya datang dengan niat yang baik. Saya... saya ingin melamar Aisyah. Saya tahu saya masih muda, tapi saya serius. Saya akan bekerja keras untuk—"
"Berhenti." Bapak Anis mengangkat tangan, memotong kalimat Dewanga dengan tegas. "Kamu kerja apa?"
"Saya... saya kerja sebagai kuli bangunan, Pak. Kadang bantu-bantu di pasar juga."
"Kuli bangunan?" Bapak Aisyah mendengus, seolah mendengar lelucon yang tidak lucu. "Kamu pikir dengan kerja kayak gitu kamu bisa nafkahin anak saya? Kamu bisa kasih dia makan setiap hari? Bayar sekolah anak nanti? Beli baju layak?"
"Saya akan berusaha, Pak. Saya janji saya akan—"
"Janji?" Ibu Aisyah menyela dengan suara nyinyir. "Janji gak bisa buat kenyang, Nak. Apalagi kamu masih muda gini. Sekolah aja gak tamat, kan? Yatim lagi. Masa depan kamu apa?"
Kata-kata itu menusuk seperti pisau.
Dewanga terdiam. Bibirnya bergetar. Ia ingin membantah, ingin bilang bahwa ia punya mimpi, punya rencana. Tapi semua kata itu mentah di tenggorokan, tertahan oleh kenyataan yang keras.
"Pak, Bu, saya memang belum punya banyak sekarang. Tapi saya akan bekerja keras. Saya akan—"
"Sudah, sudah." Bapak Aisyah melangkah mundur, tangannya sudah di gagang pintu, siap menutupnya. "Anak saya sudah ada yang lamar. Orang yang punya pekerjaan tetap, rumah sendiri, masa depan jelas. Kamu masih muda, pikirin masa depan kamu sendiri dulu. Jangan mimpi yang muluk-muluk."
"Tapi Pak—"
BRAK!
Pintu ditutup tepat di hadapan wajah Dewanga.
Ia berdiri di sana, terpaku. Kantong plastik berisi pisang dan kue masih tergenggam erat di tangannya yang gemetar.
Hujan turun lebih deras.
Air mata mengalir perlahan di pipi Dewanga, bercampur dengan tetesan hujan. Ia tidak bergerak, seolah tubuhnya kehilangan kekuatan.
Dari dalam rumah, ia mendengar suara Bapak Aisyah berbicara keras—mungkin pada Anis.
"Jangan pernah dekati anak itu lagi! Dia gak ada masa depannya! Miskin, kerja gak menentu, yatim lagi! Kamu mau sengsara seumur hidup?!"
Lalu suara tangis Aisyah yang tertahan.
Dewanga menutup matanya. Dadanya sesak. Ia ingin berteriak, tapi suaranya hilang.
Perlahan, ia berbalik. Kakinya melangkah gontai menjauhi rumah itu, meninggalkan kantong plastik di depan pintu—hadiah yang tak akan pernah diterima.
Hujan membasahi seluruh tubuhnya.
Di kejauhan, lampu-lampu rumah menyala hangat. Orang-orang berkumpul dengan keluarga mereka. Tertawa. Makan bersama.
Tapi Dewanga berjalan sendirian dalam gelap.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa mungkin, memang benar—ia tidak cukup untuk siapa pun.