“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Sebelas
Langkah Elena terasa berat waktu keluar dari ruang personalia. Kepalanya penuh tanda tanya, jantungnya seperti mau copot.
"Asisten pribadi Axel?" ulang Elena dalam hati.
Ia bahkan belum selesai memproses pertemuan canggung di ruang CEO tadi, sekarang malah dipaksa pindah satu ruangan dengan pria itu.
“Tuhan … ini mimpi buruk atau apa sih,” gumam Elena dengan suara lirih.
Ia kembali ke meja kerjanya, membereskan barang-barangnya satu per satu. Foto kecil dirinya bersama Aldi yang berada dalam laci, ia tatap lama. Ada rasa nggak enak yang makin besar.
“El, kamu kenapa?” tanya salah satu teman kantornya, melihat wajah Elena yang pucat.
Elena hanya menggeleng. “Nggak apa-apa. Aku … dipindah.”
“Dipindah? Ke mana?”
Elena menelan ludah. “Ke lantai eksekutif. Jadi asisten … CEO.”
Mata temannya langsung berbinar. “Serius? Wah, selamat dong! Naik jabatan!”
Elena hanya tersenyum hambar. Naik jabatan? Rasanya bukan. Rasanya seperti dilempar ke kandang singa, batinnya.
Pukul tiga sore, Elena berdiri di depan pintu ruang CEO. Ia mengetuk pelan.
“Masuk,” suara berat itu terdengar dari dalam.
Elena membuka pintu, melangkah masuk dengan hati berdebar. Axel duduk di balik meja besar, menatapnya dengan senyum tipis.
“Kamu cepat juga,” ucap Axel santai. “Bagus. Duduk.”
Elena menarik kursi dan duduk. “Aku baru aja dapat info … kalau aku diangkat jadi asisten pribadi kamu.”
Axel mengangguk. “Ya. Itu permintaan aku.”
Elena terdiam, menahan emosi yang bercampur. “Kenapa harus aku? Masih banyak yang lebih berkompeten dari aku."
Axel menyeringai kecil. “Kenapa nggak? Kamu kerja cepat, detail. Dan … aku butuh orang yang bisa bikin aku betah di ruangan ini.”
Elena mendengus pelan. “Maksudmu apa?”
“Maksudku, kamu cocok jadi asistennya aku.” Axel berdiri, berjalan santai mendekati sisi meja, lalu bersandar. “Kamu takut sama aku?”
Elena menegakkan punggung. “Nggak.”
Axel menatapnya lama, senyumnya makin lebar. “Kamu bohong. Aku bisa lihat dari cara kamu duduk. Kamu tegang.”
Elena menghela napas. “Aku cuma belum terbiasa. Itu aja.”
“Ya udah,” Axel mengambil setumpuk berkas dari mejanya, menyerahkan pada Elena. “Ini agenda aku minggu ini. Atur jadwal, buang yang nggak penting. Dan kosongkan hari Jumat sore, aku ada meeting penting. Kamu ikut.”
Elena menerima berkas itu. “Baiklah.”
Axel menatapnya tanpa berkedip. “Kamu kelihatan pucat. Kaget ya?”
Elena mengangguk jujur. “Ya. Aku kira aku bakal di produksi terus.”
Axel terkekeh kecil. “Sekarang kamu di sini. Di ruangan yang sama bersama aku. Kamu siap kan?”
Elena mengangguk ragu. “Ya … siap.”
“Bagus,” Axel tersenyum tipis. “Kamu akan terbiasa sama aku.”
Menjelang jam lima sore, Elena sudah nggak sabar pengen pulang. Ia mulai membereskan meja kecil di sisi ruangan, tapi Axel tiba-tiba memanggil.
“Elena.”
Elena berhenti. “Ya?”
“Kita belum selesai. Ada laporan yang harus aku baca malam ini. Kamu temenin aku sampai selesai.”
Elena terkejut. “Maksudmu aku harus lembur?”
“Ya. Kenapa? Kamu ada janji?” Axel menatapnya tajam.
Elena menggeleng. “Nggak.”
“Bagus.” Axel bersandar di kursinya dengan santai. “Kopi kamu enak. Bikin satu lagi.”
Elena mendengus pelan, lalu menuju pantry kecil. Saat ia kembali, Axel sudah melepas jasnya, duduk dengan kemeja lengan digulung dan bagian atas kemeja hingga dada terbuka. Elena berusaha fokus meletakkan kopi di meja tanpa menatap terlalu lama.
Axel memperhatikan ekspresinya, lalu tersenyum nakal. “Kamu selalu setegang ini kalau deket aku?”
Elena mendongak. “Nggak. Kamu aja yang suka bikin suasana aneh.”
Axel tertawa kecil. “Oke. Besok-besok aku bikin suasana lebih santai.”
Elena hanya mendecak, lalu duduk kembali.
Tiba-tiba Axel berdiri. Dia menghampiri Elena, lalu mengangkat tubuh wanita itu dengan mudah, mendudukkannya di atas meja kecil.
Elena terperanjat. “Axel! Kamu ....”
Pria itu hanya tersenyum tipis. Ia kemudian berdiri di antara kedua kaki Elena, tangannya menahan pinggang wanita itu.
Elena menahan napas. Jarak mereka terlalu dekat.
“Besok kita ke luar kota. Dua hari. Kamu ikut aku. Pastikan semua berkas siap.” Axel berbisik, suaranya rendah. “Dan … siapa tahu kita bisa ngobrol lebih banyak di sana.”
Elena buru-buru menepis tangannya. “Kamu gila!”
Axel terkekeh, mundur perlahan. “Santai. Aku cuma bercanda.”
Elena menatapnya kesal, lalu kembali duduk. Wajahnya panas.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika Axel akhirnya menutup berkas.
“Bagus. Kamu kerja cepat. Aku suka itu.”
Elena hanya mengangguk. Ia lelah dan ingin cepat pulang.
“Kamu boleh pulang,” ucap Axel. “Tapi mulai besok, datang setengah jam lebih awal. Aku suka asisten yang telah siap sebelum aku datang.”
Elena menghela napas. “Oke.”
Axel menatapnya, senyumnya tipis. “Hati-hati di jalan. Jangan sampai kamu pulang dengan wajah segugup tadi pagi.”
Elena mendengus. “Bukan urusanmu.”
Axel hanya terkekeh. “Kamu lucu kalau marah.”
Elena cepat-cepat keluar dari ruangan sebelum Axel sempat menggoda lagi.
Sementara itu, Aldi baru saja sampai di apartemen. Ia membuka pintu, memanggil nama istrinya. Dia belum tahu jika sang istri telah di pindahkan ke bagian lain.
“Elena?”
Sunyi yang terasa. Ia mencari ke dapur. Kosong. Kamar kosong. Balkon kosong.
“Ke mana dia?” gumam Aldi.
Ia mengeluarkan ponsel, menekan nomor Elena. Namun, tak tersambung.
“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif ….” Suara dari operator.
Aldi mengernyit. Tidak aktif? Elena jarang sekali mematikan ponselnya.
Ia duduk di sofa beberapa menit, tapi rasa was-wasnya semakin besar.
“Jangan-jangan … dia masih sama Axel?” pikir Aldi, dadanya panas.
Ia berdiri lagi, mengambil kunci mobil.
“Aku harus tahu.”
Ia keluar dari apartemen dengan wajah tegang.
Di saat yang sama, Elena baru saja keluar dari ruangan. Ia baru sadar ponselnya mati total.
“Ya ampun … pasti Mas Aldi udah pulang. Apa dia menunggu aku atau bersama Lisa?" tanya Elena pada dirinya sendiri.
Aldi sudah sampai di basement kantor, langkahnya cepat menuju lobi, wajahnya dingin. Membayangkan istrinya bersama pria lain.
“Kalau benar dia masih di sini ….”
Pintu lift terbuka, dan Aldi melangkah keluar, matanya mencari-cari sosok istrinya.
Dari kejauhan, ia melihat Elena baru keluar dari pintu lift yang dari ruangan eksekutif. Wajah Aldi mengeras.
“Elena!” panggilnya.
Elena terkejut, tubuhnya menegang. “Mas?”
Aldi mendekat dengan langkah cepat. “Kamu dari mana? Jam segini baru pulang?”
Elena menggigit bibir. “Aku lembur. Axel … suruh aku temenin dia ngerjain laporan.”
Aldi memicingkan mata. “Temenin dia? Sampai jam segini?”
Elena hanya diam. Tatapan Aldi menusuk, seperti menuntut jawaban lebih.
“Aku capek, Mas. Bisa kita bahas di rumah?” suara Elena lirih.
Aldi menatapnya lama, rahangnya mengeras. “Ya. Di rumah. Kita akan bahas semuanya.”
Tanpa mereka tahu, Axel memperhatikan keduanya dengan tersenyum miring.
**
Selamat Pagi. Sambil menunggu novel ini update bisa mampir ke novel teman mama di bawah ini. Terima kasih.
semoga elena kuat melihat perbuatan mereka ber2