Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.
Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.
Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.
Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Legenda Danau Toba
Malam turun pelan di Samosir. Langit berubah menjadi hitam kebiruan, sementara bintang-bintang muncul satu per satu, seolah disusun dengan tangan yang sabar. Di depan pondok Jaka Kerub, api unggun menyala stabil. Seekor babi hutan hasil tangkapan siang tadi dipanggang perlahan di atas bara, lemaknya menetes dan mendesis saat menyentuh arang.
Aroma daging bakar memenuhi udara, bercampur dengan bau kayu kering dan tanah malam. Aji duduk bersila, kemejanya sudah diganti kain tipis. Badannya pegal luar biasa, tetapi rasa lapar membuat semua nyeri terasa pantas.
Jaka Kerub membalik daging dengan tongkat kayu, lalu duduk berhadapan dengan Aji. Ia menggigit potongan daging pertama, mengunyahnya perlahan, seolah memberi waktu pada malam untuk benar-benar hadir.
“Kau tahu,” katanya akhirnya, suaranya rendah dan berat, “tak semua danau lahir dari hujan dan sungai.”
Aji mengangkat kepala. “Seperti Danau Toba?”
Jaka Kerub mengangguk. Api memantulkan bayangan di wajah tuanya, membuat garis-garis keriput tampak seperti ukiran hidup. “Legenda lama di sini tidak sesederhana bagaimana cerita tentang jkan dan manusia. Itu versi yang boleh didengar oleh anak-anak, kurasa.”
“Ada versi lainnya?” tanya Aji.
“Banyak,” jawab Jaka Kerub. “Tapi yang akan kuceritakan malam ini… adalah versi yang jarang diucapkan oleh orang-orang yang masih ingin tidur lebihnyenyak.”
Aji menelan ludah, lalu memotong daging babi dan mulai makan. Rasanya gurih, agak liat, tapi hangat. Ia menunggu Jaka Kerub bersuara.
“Dulu,” Jaka Kerub memulai ceritanya, “kawasan ini bukan danau. Ia adalah lembah luas, subur, tapi berada tepat di atas simpul dunia. Tempat di mana Banua Tonga dan Banua Toru hampir bersentuhan.”
Aji terdiam. Nama-nama lapisan dunia itu kembali terngiang di kepalanya.
“Di lembah itu,” lanjut Jaka Kerub, “hidup manusia-manusia yang merasa terlalu aman. Mereka belajar bernegosiasi dengan yang tak kasatmata. Awalnya untuk panen. Untuk kesehatan. Untuk perang juga.”
“Lalu?” tanya Aji pelan.
“Lalu,” Jaka Kerub tersenyum pahit, “mereka lupa satu hal. Bahwa makhluk dari lapisan bawah tidak bekerja dengan rasa cukup.”
Api unggun berderak. Angin malam membuat nyala api condong sesaat.
“Ada satu keluarga,” lanjut Jaka Kerub, “yang dipercaya menjadi penjaga keseimbangan. Seorang laki-laki, istrinya, dan seorang anak. Mereka bukan raja atau pendeta. Tapi mereka selalu ingin menjadi pendamai. Sampai suatu hari…”
Jaka Kerub berhenti. Ia mengunyah dagingnya lebih lama. “…anak itu dikhianati.”
Aji membeku, sendok kayunya terhenti di udara.
“Para pemuka lembah itu ingin memaksa agar pintu dunia itu erbuka lebih lebar,” kata Jaka Kerub. “Dan darah anak itu dijadikan alat untuk membukanya.”
“Seperti Sari?” Aji berbisik tanpa sadar.
Jaka Kerub menatapnya tajam. “Persis.”
Jantung Aji berdebar keras.
“Orang tuanya langsung melawan,” lanjut Jaka Kerub. “Mereka memohon, mengancam, bahkan menawarkan diri untuk menggantikan posisi anak mereka tersebut. Tapi manusia yang mabuk kuasa sudah tidak bisa dibujuk. Maka keseimbangan sekonyong-konyong runtuh.”
Jaka Kerub menuding ke arah kegelapan, ke arah Danau Toba yang malam itu nyaris tak terlihat.
“Air bukan datang dari hujan,” kata Jaka Kerub. “Ia datang dari lapisan bawah. Saat pintu dibuka paksa, dunia tidak memberi peringatan dalam sekejap. Ia langsung main hajar begitu saja."
Aji merasakan tenggorokannya kering.
“Lembah itu tenggelam,” ujar Jaka Kerub lirih. “Bukan seketika. Tapi perlahan-lahan. Memberi waktu pada mereka yang mau menyesal… untuk kabur dari nasib buruk yang mereka alami.”
“Lalu anak itu?” tanya Aji.
Jaka Kerub menutup mata sesaat. “Tidak pernah ditemukan. Ada yang bilang ia menyatu dengan danau. Ada juga yang percaya ia menjadi penanda, agar manusia selalu ingat bahwa keseimbangan tidak bisa diusik-usik.”
Aji menatap api unggun. Bayangan api menari seperti sosok-sosok tenggelam.
“Kenapa kau ceritakan ini padaku?” tanya Aji kemudian.
“Karena sejarah selalu berputar,” jawab Jaka Kerub. “Dan manusia yang merasa bisa mengendalikan makhluk tak kasatmata, mereka selalu saja menggunakan yang paling lemah sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka.”
Aji mengepalkan tangan. Ia membayangkan Sari di rumah panggung itu. Adiknyamasih sedang terikat. Coba mendengarkan suara laut setiap malam.
“Orang-orang yang menculik Sari,” lanjut Jaka Kerub, “tidak belajar dari danau ini. Mereka hanya melihat air, bukan ingatan.”
Api unggun mulai mengecil. Jaka Kerub menambahkan kayu.
“Kalau mereka memaksa,” tambahnya, “bukan hanya Sari yang akan terancam. Selat itu pun bisa menjadi mulut.”
Aji menatap Jaka Kerub. “Kalau itu terjadi… aku harus menghentikannya.”
Jaka Kerub tersenyum tipis. “Itulah sebabnya kau berlari pagi tadi hingga hampir pingsan.”
Aji terkekeh kecil, getir. “Kupikir itu hanya siksaan.”
“Tidak,” kata Jaka Kerub. “Itu hanya pemanasan. Karena saat kau melangkah ke pesisir itu, kau tidak hanya berhadapan dengan manusia.”
Mereka kembali makan dalam diam. Api unggun kini lebih tenang. Di kejauhan, danau memantulkan cahaya bulan seperti mata besar yang terbuka setengah.
Aji mengangkat kepalanya. “Kakek… apakah danau ini masih coba mengingat?”
Jaka Kerub memandang ke kegelapan lama sekali.
“Danau tidak pernah lupa,” jawab Jaka Kerub pelan. “Ia hanya menunggu manusia yang cukup bodoh untuk mengulangi kesalahan yang sama.”
Angin malam berembus, membuat permukaan Danau Toba berkerut halus. Di balik kilau air itu, sesuatu sedang bergerak perlahan. Seperti napas panjang dari masa lalu, yang bersiap bangun kembali jika keseimbangan sekali lagi diganggu.