Prayitno, seorang pria miskin yang nekat merantau ke kota besar demi mencari ibunya yang hilang, justru terperangkap dalam kehidupan penuh penderitaan dan kesuraman. Setelah diusir dari kontrakan, ia dan keluarganya tinggal di rumah mewah milik Nyonya Suryati, yang ternyata menyimpan rahasia kelam. Teror mistis dan kematian tragis menghantui mereka, mengungkap sisi gelap pesugihan yang menuntut tumbal darah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Darah yang membuka Gerbang
#Flashback
Gerimis turun menambah dinginnya malam. Seorang pria tampak tergesa-gesa menggali sebuah makam yang masih basah. Ditemani lampu uplik ia terus menggali meskipun hujan semakin lebat.
Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Sesekali ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tak ada seorangpun yang melihatnya.
Setelah satu jam menggali ia akhirnya mengeluarkan sebuah jenazah dari liang kubur. Pria itu buru-buru membawa jenazah itu ke dalam mobil yang terparkir tak jauh dari tempatnya menggali.
Seorang wanita paruh baya sudah menunggunya di dalam mobil.
"Cepat masuk, waktu kita tidak banyak,"
Pria itu mengangguk dan segera masuk ke dalam mobil.
"Sebaiknya kita melakukan ritual di rumah kamu saja, aku takut Nurul dan Kyai itu akan ke rumah ku untuk membebaskan para tumbal,"
"Baik Nyonya," jawab Pria itu
Setelah perjalanan selama 8 jam, mobil itu berhenti di sebuah rumah kecil yang terbuat dari papan kayu.
Pria itu segera membawa masuk mayat itu dan meletakkannya diatas tikar.
Sementara itu Suryati segera mengeluarkan sebuah buntelan kain dari tas miliknya.
Ia meletakan bunga tujuh rupa, dupa di atas baki kecil yang di letakan di samping mayat prayitno.
"Jangan lupa lakukan ritual ini menjelang magrib, agar sukmanya tidak pernah kembali," ucap Suryati
"Jadi dia masih hidup??" tanya pria itu
"Benar, tapi jiwanya tersegel," jawab Suryati
Selama bertahun-tahun Prapto melakukan ritual yang diperintahkan Suryati untuk Menyegel jiwa Prayitno.
#Flashback off
Gelap. Dingin. Sunyi.
Itulah yang dirasakan Prayitno. Ia berjalan tanpa arah di lorong-lorong tak berbatas, seolah berada di dalam perut bumi. Tak ada cahaya, tak ada suara, kecuali desiran samar nafasnya sendiri. Tubuhnya tak lagi terasa berat, langkahnya seolah mengambang. Ia sudah tak tahu berapa lama ia berada di tempat itu.
“Apakah aku sudah mati?” bisiknya lirih, suaranya menggema entah ke mana.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara tangisan anak kecil. Tangisan itu sangat ia kenal. Danang.
“Danang...?” gumam Prayitno. Ia berlari mengikuti suara itu, meskipun kakinya seakan tak menyentuh tanah.
Tangisan itu membawa harapan. Semakin ia dekat, cahaya samar mulai muncul di ujung lorong. Cahaya itu bukan sekadar cahaya, tapi hangat. Memberi rasa hidup. Ia terus berlari.
Namun tiba-tiba, dari kegelapan samping, muncul bayangan hitam besar. Sosok dengan mata merah menyala dan taring tajam. Makhluk itu menghalangi jalannya.
“Kau tidak bisa kembali,” geram makhluk itu. Suaranya berat dan dalam. “Rohmu sudah jadi milik kami.”
Tapi Prayitno menolak menyerah. Ia berteriak keras, menyebut nama istrinya dan anaknya.
“Nurul! Danang! Aku belum selesai! Aku harus menyelamatkan kalian!”
Cahaya di depan makin terang. Suara tangisan Danang berubah menjadi tawa ceria. Namun makhluk hitam itu mencengkeram tubuh Prayitno. Ia meronta, menggeliat, hingga tangan dan kakinya terasa ditarik dari dua arah berbeda.
Dalam satu hentakan, doa itu keluar dari mulutnya:
“Gusti Allah... nyawaku milik-Mu. Tapi beri aku kesempatan. Hanya satu kesempatan.”
Dan saat itu juga, cahaya meledak. Sosok makhluk hitam menjerit dan lenyap. Tubuh Prayitno tersedot menuju cahaya itu—jatuh, seperti dilemparkan dari ketinggian.
Di dunia nyata, malam itu mendung menggantung di atas taman kota yang dahulu adalah rumah angker milik keluarga Suryati. Sebuah taman biasa, ramai dikunjungi warga, namun malam ini berbeda. Sejak pukul tujuh malam, seluruh taman kosong. Tak ada suara jangkrik. Angin pun seolah tertahan. Di tengah taman, tepat di bekas ruang utama rumah itu, berdiri sebatang pohon beringin tua.
Dan di bawah pohon itu, tanahnya bergetar.
Terdengar seperti suara napas. Lalu dari sela-sela akar, tanah menggembung. Satu tangan keluar.
Seorang pria muncul dari dalam tanah. Penuh lumpur, pucat, matanya terbuka perlahan.
“Nurul...” bisiknya. “Danang...”
Itu Prayitno. Ia hidup kembali.
Sementara itu, di kediaman sementara Nyonya Suryati, yang diam-diam dibangun kembali di pinggiran kota, Mayat Nenek Mariani di letakan di sebuah altar.Tubuhnya menghitam nyaris membusuk.
Suryati masih menjaganya karena ia tahu, ibunya masih bisa bangkit. Ia tidak bisa mati selama masih terikat perjanjian pesugihan. Jiwanya masih tersegel.
Suryati sendiri tampak gelisah, karena kekuatannya semakin melemah. Sebuah bayangan hitam menghampirinya. Ia tahu itu adalah roh ibunya. Mariani.
“Bu... kenapa Ibu tak lagi kuat seperti dulu?” tanyanya.
“Karena tumbalnya belum sempurna,” jawab Mariani lirih. “Karena satu roh kembali dari tempat seharusnya...”
Suryati terdiam. “Prayitno...?”
Bayangan hitam itu mengangguk.
Prayitno kembali ke rumah yang telah jadi taman. Ia mengenakan pakaian lusuh dari pakaian yang dikubur bersamanya. Ia bersembunyi di balik bayangan malam, menghindari keramaian, menyelinap dari satu tempat ke tempat lain. Tujuannya jelas, mencari istri dan anaknya.
Namun semuanya sudah berubah, seperti rumah itu yang berubah menjadi taman. Prayitno pun merasa kesulitan untuk mencari Nurul. Ia tidak tahu dimana mereka tinggal.
Langit malam seperti cermin retak. Petir menyambar tanpa suara, menyayat awan kelabu yang menggantung rendah. Aroma tanah basah bercampur dengan bau kemenyan memenuhi halaman rumah tua itu atau apa pun bentuknya kini. Meski bagian luar rumah telah berganti menjadi taman kota, namun di bawah tanahnya masih hidup lorong-lorong lama, bilik-bilik sunyi yang menyimpan dendam dan darah.
Suryati berdiri di depan altar tua yang terletak di ruang bawah tanah tersembunyi, tempat ibunya, Mariani, biasa melakukan ritual pesugihan. Kini altar itu kembali menyala dipenuhi dupa, sesajen, dan segumpal rambut beruban yang baru saja ia ambil dari jasad ibunya yang telah membusuk.
Mariani sudah mati.
Tubuhnya ditemukan terbaring di kamar belakang dengan mata membelalak dan bibir penuh darah hitam. Tapi Suryati tidak menangis. Ia tahu kematian ibunya bukan akhir. Dalam ajaran yang diwariskan padanya, kematian hanyalah perantara. Seseorang seperti Mariani tidak benar-benar mati sebelum semua ikatan darahnya diputuskan. Dan darah itu, darah Suryati sendiri masih mengalir kuat.
Suryati menatap nyala lilin yang melingkari altar. Di tengah lingkaran, tubuh Mariani terbujur kaku. Kulitnya keriput, namun seperti hidup. Tangannya mencengkram kain kafan yang mulai berlumut, dan dari bibirnya meski tak bergerak terdengar nyanyian lirih, seperti senandung kuno yang pernah dinyanyikan saat mereka memanggil roh pesugihan bertahun-tahun silam.
"Aku tahu kau belum pergi, Bu..." bisik Suryati, tangannya gemetar saat memotong ujung jarinya dengan pisau kecil.
Tetesan darahnya jatuh ke lantai batu. Tiba-tiba api lilin bergetar. Angin dingin berhembus dari arah lorong. Cahaya redup menjadi merah darah.
Ia mulai membaca mantra—bahasa kuno yang hanya ia dengar dari mulut Mariani waktu kecil. Ia tidak paham artinya, tapi mantra itu hidup dalam darahnya.
Saat tetesan darah ke-tujuh jatuh, tubuh Mariani bergerak.
jd ngeri