NovelToon NovelToon
Manisnya Dosa Janda Penggoda: Terjerat Paman Direktur

Manisnya Dosa Janda Penggoda: Terjerat Paman Direktur

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Janda / Konflik etika / Cinta Terlarang / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Mampukah janda muda menahan diri saat godaan datang dari pria yang paling tabu? Setelah kepergian suaminya, Ayana (26) berjuang membesarkan anaknya sendirian. Takdir membawanya bekerja di perusahaan milik keluarga suaminya. Di sana, pesona Arfan (38), paman direktur yang berkarisma, mulai menggoyahkan hatinya. Arfan, duda mapan dengan masa lalu kelam, melihat Ayana bukan hanya sebagai menantu mendiang kakaknya, melainkan wanita memikat yang membangkitkan gairah terpendam. Di antara tatapan curiga dan bisikan sumbang keluarga, mereka terjerat dalam tarik-ulur cinta terlarang. Bagaimana Ayana akan memilih antara kesetiaan pada masa lalu dan gairah yang tak terbendung, di tengah tuntutan etika yang menguji batas?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9: Tawaran yang Tak Bisa Ditolak

Napas Ayana tercekat di tenggorokan. Senyum kemenangan di wajah Ibu Ratna seolah mengikatnya dengan benang tak kasat mata, menariknya paksa ke dalam jurang keputusan yang tak pernah ia inginkan. Pak Hendra, dari keluarga Wiryawan. Playboy. Dingin. Berbanding terbalik dengan Arfan yang… hangat, penuh perhatian, dan membuat hatinya berdesir.

“Ibu, aku tidak mengerti. Aku sudah punya pekerjaan, aku bisa menghidupi Risa. Kenapa harus begini?” Suaranya bergetar, mencoba mempertahankan benteng terakhirnya. Ibu Ratna hanya menggelengkan kepala pelan, tatapan matanya tajam menusuk.

“Ayana, lihat dirimu. Kau janda, dengan satu anak. Reputasimu… rentan. Perusahaan peninggalan suamimu itu sedang di ujung tanduk. Apa kau pikir kau bisa bertahan sendirian? Tawaran Pak Hendra itu bukan hanya untuk dirimu. Ini untuk Risa, untuk masa depannya, untuk stabilitas keluarga kita.”

Setiap kata yang keluar dari bibir Ibu Ratna seperti palu godam, menghantam pertahanan Ayana. Stabilitas. Masa depan Risa. Kata-kata itu adalah kelemahan terbesarnya. Bagaimana mungkin ia egois menolak demi perasaannya sendiri yang bahkan belum jelas bentuknya?

“Tapi… Ibu, aku tidak mengenalnya. Aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak aku cintai,” bisik Ayana, memohon.

Ibu Ratna mendengus. “Cinta? Cinta tidak bisa membayar biaya sekolah Risa di masa depan, Ayana. Cinta tidak bisa menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Keluarga Wiryawan adalah jaminan. Kau akan punya status, keamanan, dan Risa akan punya ayah tiri yang bisa menopangnya.”

Ayana menatap lantai, pikirannya kacau balau. Ayah tiri? Kenangan pahit akan almarhum suaminya tiba-tiba terasa begitu dekat. Ia belum siap membuka hatinya lagi, apalagi kepada pria asing yang terkenal buruk. Tapi pilihan apa yang ia punya? Ibu Ratna tidak pernah menerima penolakan.

“Ayana, Ibu sudah atur pertemuan kalian lusa malam. Di restoran keluarga Wiryawan,” ujar Ibu Ratna, suaranya sudah terdengar final. “Pak Hendra akan menjemputmu.”

Ayana mendongak, matanya berkaca-kaca. “Ibu tidak bisa… memaksaku seperti ini!”

“Ibu tidak memaksamu. Ibu memberimu kesempatan terbaik dalam hidupmu. Dan kau akan mengambilnya,” desis Ibu Ratna, senyumnya dingin, penuh arti. “Kau tahu apa yang akan terjadi jika kau menolak, Ayana. Bukan hanya kau yang menderita, tapi Risa juga.”

Ancaman itu… itu adalah kartu mati. Risa. Anak semata wayangnya. Demi Risa, ia rela melakukan apa saja. Bahkan mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Bahkan mengubur jauh-jauh desiran aneh yang selalu muncul setiap kali ia berdekatan dengan Arfan.

Dengan bahu merosot, Ayana hanya bisa mengangguk pelan. Tidak ada air mata yang tumpah, hanya kekosongan yang melanda. Ini adalah harga yang harus ia bayar sebagai janda yang rentan. Ini adalah tawaran yang tak bisa ia tolak.

*

Keesokan harinya di kantor, Ayana bergerak seperti robot. Tangannya mengetik laporan keuangan, tapi otaknya terus-menerus memutar ulang percakapannya dengan Ibu Ratna. Wajah Pak Hendra, yang hanya ia lihat di majalah bisnis, terlintas di benaknya. Dingin, angkuh, dengan tatapan mata yang licik. Bukan Arfan. Tidak ada kehangatan yang memancar darinya seperti Arfan.

Sejak pagi, Arfan belum terlihat. Ayana merasa aneh. Biasanya pria itu akan menyapanya dengan senyum ramah, atau sekadar melempar lelucon kecil. Ketiadaannya membuat ruang kerjanya terasa semakin hampa, menekankan betapa pentingnya keberadaan pria itu dalam hidupnya yang perlahan mulai berwarna.

Suara telepon berdering. Ayana tersentak, cepat-cepat mengangkatnya. “Ya, Bu?”

“Ayana, bisakah kau antar berkas-berkas ini ke ruangan Pak Arfan? Beliau baru saja datang, dan berkas ini harus segera ditandatangani,” suara sekretaris Bu Rina terdengar di seberang.

Jantung Ayana berdebar aneh. Arfan. Sekarang. Setelah semalam suntuk bergulat dengan pikirannya tentang perjodohan konyol itu, dan pria yang sangat berkebalikan dengan Arfan.

Dengan tangan sedikit gemetar, Ayana mengambil tumpukan berkas dari meja Bu Rina. Dia berjalan menyusuri koridor, setiap langkah terasa berat, namun juga penuh antisipasi. Pintu ruangan Arfan sedikit terbuka. Dari celah itu, ia bisa mendengar suara Arfan yang dalam dan karismatik, sedang berbicara dengan seseorang di telepon.

Ia mengetuk perlahan.

“Masuk,” sahut Arfan, suaranya kini sedikit lebih keras.

Ayana mendorong pintu hingga terbuka. Arfan sedang berdiri di dekat jendela, membelakanginya, memandang ke luar dengan satu tangan memegang ponsel di telinga. Kemeja putihnya yang digulung sebatas siku menonjolkan lengan kekar dan jam tangan mewah di pergelangannya. Postur tegapnya memancarkan aura wibawa yang kuat, namun juga terasa… nyaman.

Ia berbalik ketika Ayana masuk sepenuhnya. Mata mereka bertemu.

Seketika, semua pikiran tentang Pak Hendra dan ancaman Ibu Ratna lenyap. Yang ada hanya Arfan, dengan tatapan mata hitamnya yang selalu berhasil menguncinya. Ada kilatan kerinduan yang Ayana coba sembunyikan, tapi ia yakin Arfan melihatnya.

Arfan menurunkan ponselnya, tersenyum tipis. “Ayana? Ada apa?”

“Ini… berkas-berkas yang harus Anda tanda tangani, Pak Arfan,” kata Ayana, suaranya sedikit serak. Ia berjalan mendekat, meletakkan berkas di atas meja kerja pria itu. Jemarinya secara tak sengaja menyentuh punggung tangan Arfan saat ia meletakkan map terakhir.

Listrik statis yang halus mengalir, membuat Ayana menarik tangannya secepat kilat, seolah tersengat. Arfan tidak bergerak, hanya menatapnya, senyum tipisnya melengkung sedikit lebih lebar.

“Terima kasih, Ayana.” Nada suaranya rendah, hangat, membuat perut Ayana bergejolak.

Ayana mengangguk, berusaha menjaga jarak. “Ada lagi, Pak?”

Arfan tidak menjawab. Matanya menelusuri wajah Ayana, seolah mencoba membaca sesuatu. “Kau terlihat… sedikit murung hari ini. Ada masalah?”

Pertanyaan itu menghantamnya. Jujur? Bohong? Ia tidak bisa menceritakan masalah perjodohan ini kepada Arfan. Apa haknya? Pria itu bukan siapa-siapanya. Tapi setiap kali ia melihat ketulusan di mata Arfan, ia ingin meluruh dan menceritakan semua beban di hatinya.

“Tidak, Pak. Saya hanya sedikit lelah,” Ayana berbohong, memaksakan senyum tipis.

Arfan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, mengurangi jarak di antara mereka. Bau maskulin yang lembut menguar dari tubuhnya, membuat Ayana menahan napas. “Kau yakin? Kau bisa cerita padaku, Ayana. Sebagai teman kerja, atau… sebagai teman.”

Suara ‘teman’ itu diucapkan dengan penekanan yang membuat Ayana bertanya-tanya. Sebagai teman kerja, atau sebagai teman… yang lebih dari itu? Hatinya berdebar semakin kencang. Ia ingin percaya pada kalimat itu, ingin melarikan diri dari takdir yang diatur ibunya, ke dalam pelukan Arfan.

“Saya… saya tidak apa-apa, Pak,” Ayana kembali mengulang, kali ini lebih yakin. Ia harus bersikap profesional. Ia harus menjaga jarak ini.

Arfan menghela napas pelan, seolah tidak percaya. Tangannya terulur, menyentuh lengan Ayana. Sentuhan itu ringan, namun membakar kulitnya. “Ayana, aku tahu ada yang tidak beres. Katakan padaku,” bisiknya, suaranya begitu dekat hingga napas hangatnya menyapu pipi Ayana. Mata hitamnya menatap dalam, penuh perhatian, seolah hanya ada mereka berdua di ruangan itu.

Detak jantung Ayana bertalu-talu. Kehangatan sentuhan Arfan, tatapan matanya yang intens, bisikan lembutnya… ini adalah racun yang mematikan. Racun yang begitu manis dan memabukkan, membuat ia ingin menyerah pada gairah terlarang yang mulai tumbuh subur di hatinya. Namun, janji pada Ibu Ratna, masa depan Risa, dan nama baik keluarga… semuanya seperti rantai besi yang mengikatnya.

Ayana menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan semua kekuatannya. “Pak Arfan, saya… saya harus pergi. Ada pekerjaan yang harus saya selesaikan.” Ia menarik lengannya perlahan, menjauhi sentuhan Arfan.

Senyum Arfan memudar sedikit, namun tatapan matanya tetap terpaku padanya, penuh pertanyaan. Ia mengangguk, seolah mengerti, namun ada kilatan kecewa di sana. “Baiklah. Tapi ingat, Ayana. Jika kau butuh apapun, aku ada.”

Kalimat itu, alih-alih menenangkan, justru membuat Ayana semakin dilema. Ia membutuhkan Arfan, tapi ia tak punya hak. Ia membutuhkan penyelamat, tapi ia sudah diikat janji.

Ayana berbalik, hampir berlari keluar dari ruangan itu. Ia tahu ia harus menjauh dari Arfan. Ia harus membunuh perasaan ini sebelum terlambat. Demi Risa. Demi segalanya.

Namun, di koridor, saat ia berusaha mengatur napas, suara Vina terdengar dari belakangnya.

“Wah, wah, sepertinya ada yang betah sekali di ruangan Paman Direktur, ya?” Vina berdiri di ambang pintu ruangan sebelah, menyeringai dengan tatapan penuh selidik. “Hati-hati, Ayana. Perusahaan ini punya banyak mata. Dan reputasi itu, sulit didapatkan, tapi mudah sekali hancur.”

Kata-kata Vina menusuk tepat ke dalam luka hatinya, memperkuat bayangan ancaman Ibu Ratna. Ayana hanya bisa menunduk, tidak berani membalas tatapan Vina. Ia tahu, Vina benar. Perusahaan ini memang memiliki banyak mata. Dan salah satunya, adalah mata Ibu Ratna yang tak akan segan mengorbankannya demi kepentingan keluarga.

Ayana mempercepat langkahnya, seolah ingin melarikan diri dari semua tekanan ini. Dari Pak Hendra, dari Vina, dari Ibu Ratna. Dan yang paling menakutkan, dari perasaannya sendiri terhadap Arfan.

Namun, ke mana ia bisa lari? Pertemuan dengan Pak Hendra sudah menanti. Dan di sisi lain, bayangan Arfan, dengan tatapan hangat dan sentuhan membakar, terus memanggilnya.

Ia merasa seperti terjebak di antara dua tebing curam. Satu sisi adalah kewajiban dan 'kesempatan' yang kejam, sisi lain adalah gairah terlarang yang sangat menggoda. Dan jurang di tengahnya siap menelan segalanya.

1
zaire biscaya dite
Gw trs trg bingung dgn jln ceritanya novel ini, selain berganti2 nama para tokoh yg ada, jg perbedaan rahasia yg diungkapkan oleh Arfan kpd Ayana
Benar2 membingungkan & bikin gw jd malas utk membaca novel ini lg
panjul man09
bosan
panjul man09
sudah janda koq ,bisa memilih jalan hidup , siapa vina , bisa bisanya mengatur hidup orang .
panjul man09
siapa nama anak ayana , maya , kirana atau raka ?
zaire biscaya dite
Tolong perhatikan dgn benar ttg nama tokoh dlm novel ini, spt nama anak yg selalu berganti2 nama, Arsy, Maya, Raka, Alisha
Jgn membingungkan pembaca yg berminat utk membaca novel ini
panjul man09
mereka boleh menikah, karna mereka bukan mahrom
panjul man09
lanjuut
zaire biscaya dite
Betul, tlg diperhatikan dgn baik nama yg ada di dlm novel ini. Nama suami itu Adnan atau Daniel, nama anaknya itu Arsy, Maya, Kirana atau Raja ? Jgn smpe ceritanya bagus, tp malah bikin binging yg baca krn ketdkkonsistenan penyebutan nama tokoh di dlmnya, y
Bang joe: terimakasih atas masukannya kak 🙏
total 1 replies
Greenindya
yg bnr yg mana ya kok nama anaknya gonta ganti Kirana maya raka
Bang joe: mohon maaf atas kekeliruannya kak
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!