Setelah mengetahui sebuah rahasia kecil, Karina merasa bahwa ia akan mendapatkan banyak keuntungan dan tidak akan rugi saat dirinya mendekati Steve, pewaris dari perusahaan saingan keluarganya, dengan menawarkan sebuah kesepakatan yang sangat mungkin tidak akan ditolak oleh Steve. Sebuah pernikahan yang mendatangkan keuntungan bersama, baik bagi perusahaan maupun secara pribadi untuk Karina dan Steve. Keduanya adalah seseorang yang sangat serius dan profesional tentang pekerjaan dan kesepakatan, ditambah keduanya tidak memiliki perasaan apa pun satu sama lain yang dapat mempengaruhi urusan percintaan masing-masing. Jadi, semuanya pasti akan berjalan dengan lancar, kan? * * Cerita ini hanyalah karangan fiksi. Baik karakter, alur, dan nama-nama di dalam tidak ada sangkut paut dengan dunia nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theodora A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
•
Karina mendecakkan lidahnya dengan kesal ketika ia merasakan tarikan di pergelangan tangannya. Ia berbalik dan menatap Steve dengan tatapan kesal. “Apa lagi? Apa kamu ingin aku menghadiri zoom meeting pagi-pagi buta lagi–”
“Kamu pikir kamu mau ke mana dengan keadaan tidak memakai sandal seperti ini?” Steve memotong ucapan Karina dengan nada datar sebelum dia sekali lagi menarik Karina, kini membuatnya berdiri di belakangnya. Karina terpaksa menurutinya dengan ekspresi bingung di wajahnya.
Dengan tangan yang masih memegang pergelangan tangan Karina, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Steve berjongkok di hadapannya, menarik tangan Karina untuk membungkuk mendekat ke arah punggungnya. Steve melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan Karina dan meraih paha bawahnya, membuat Karina kini menempel di punggungnya sebelum Steve bangkit dan kembali ke posisi berdiri. Steve tetap diam ketika Karina menjerit saat tubuhnya tiba-tiba terangkat dari permukaan tanah, satu tangan dengan panik mencengkeram pundak Steve dan tangan lainnya secara refleks melingkari lehernya.
“Hei, apa yang kamu lakukan? Turunkan aku! Aku bisa berjalan sendiri!” Karina tersentak kaget saat menyadari bahwa Steve baru saja menggendongnya ke atas punggung. Karina berpikir apakah dirinya belum cukup menderita dan malu dengan semua kejadian yang terjadi malam ini? Steve sudah melihat dirinya yang menangis dan rapuh malam ini, dan sekarang pria ini harus menggendongnya juga? “Aku bukan anak kecil, turunkan aku!”
“Kalau begitu berhentilah bersikap seperti anak kecil,” Steve membalas balik, mengerang pelan karena pukulan-pukulan kecil yang dilemparkan Karina ke bahunya. “Hei... hentikan. Aku hanya tidak ingin mendengarmu mengeluh dan mengomel, atau bahkan memintaku untuk memijat kakimu nantinya.” Steve mencoba membuat Karina diam dengan cara sedikit mengguncang tubuh Karina yang ada di punggungnya dan memperkuat cengkeramannya pada kedua paha Karina, membuat Karina tidak bisa menggeliat turun dari punggungnya.
Begitu Karina menyadari niat baik Steve, ia langsung diam dan membiarkan pria itu menggendongnya dalam diam. Ia hanya berharap Steve tidak mengharapkan dirinya untuk membalas budi dengan cara-cara yang aneh nantinya.
Mereka mulai menaiki tangga batu dan meninggalkan area pantai, menyebrangi jalanan yang kosong dan mendaki naik kembali ke area perbukitan dimana mansion mereka berada.
Semakin lama waktu berlalu, Karina semakin menyadari bahwa celana pendeknya yang basah kini sudah merembes hingga ke kemeja yang Steve pakai. Karina kembali merasa tidak nyaman dan bersalah, ia cukup yakin bahwa Steve menyadari bagian bawah kemejanya yang basah dan pastinya juga merasa sama tidak nyamannya.
Namun meski begitu, Steve tetap diam dan memilih untuk menggendongnya, semua itu hanya karena dirinya kehilangan sandalnya. Sunggung romantis, bukan? Karina harus menahan senyum tipis yang merayap di wajahnya saat menyadari hal itu. Ia tidak pernah tahu bahwa Steve juga memiliki sisi lembut seperti ini.
Angin malam yang dingin mengikuti jejak mereka, meski begitu Karina merasakan kehangatan di dadanya. Kehangatan yang terasa asing dan tidak biasa, sama seperti yang ia rasakan saat mereka membuat kue bersama. Perasaan itu bukan hanya menyenangkan tapi juga terasa sangat menenangkan. Keheningan yang menyelimuti mereka di sepanjang perjalanan mulai terasa nyaman, dengan Karina yang membiarkan kedua tangannya melingkari leher Steve, dan dagunya yang perlahan mulai bersandar di bahu lebar milik pria itu.
Sekarang, dengan pipi mereka yang berjarak sangat dekat dan nyaris bersentuhan, Karina dapat melihat dengan jelas setiap detail wajah Steve dari samping.
Bulu matanya terlihat lebih panjang dari dekat, tampak lentik saat dia berkedip. Hidungnya terlihat lebih mancung dari sisi ini, dan Karina dapat melihat lebih jelas belahan kecil yang ada di ujung hidungnya, yang dimata Karina terlihat sangat imut. Ujung bibir Steve yang sedikit melengkung juga terlihat sangat imut dari dekat, bibir bawahnya sedikit menonjol keluar bahkan ketika ekspresinya sedang netral. Alisnya yang tebal tampak melengkung sempurna, dan mata tajamnya yang biasanya membuat wajahnya terlihat sangat mengintimidasi malah terlihat sangat indah dari samping. Saat ini, aura dingin yang biasanya ada pada wajah Steve menghilang entah kemana.
Karina mendengus di dalam hati. Bahkan dari jarak yang sangat dekat, ia hampir tidak bisa menangkap setitik pun ketidaksempurnaan pada wajah Steve, semua fitur-fitur yang ada di sana tetap terlihat sangat mempesona dan sempurna. Karina mungkin tidak akan pernah mengutarakannya secara gamblang di hadapan Steve, tapi ia mengakui bahwa Steve adalah pria yang sangat tampan. Ketampanannya tetap terlihat bahkan di bawah cahaya bulan yang redup sekalipun. Wajah diam Steve yang biasanya selalu terlihat dingin dan menyebalkan di mata Karina, kini terlihat lebih seperti kelinci yang menggemaskan dari jarak dekat, dan seketika senyum lebar mengembang di wajah Karina.
Saat ini, Steve Cooper, CEO dari Cellarwise Corporation yang juga merupakan CEO termuda di Australia, lebih terlihat seperti pria biasa di mata Karina. Semakin Karina terus mengamati wajahnya dari samping, semakin dia terlihat... manusiawi.
Sosoknya yang dulu Karina anggap sebagai seseorang yang dingin dan tidak bisa didekati, kini terlihat seperti seseorang yang dikenalnya sepanjang hidupnya. Sebuah perasaan aneh tiba-tiba menjalar di dalam dada Karina, rasa kedekatan dan kekeluargaan yang tidak pernah sekali pun Karina rasakan terhadap Steve. Perasaan itu meledak seperti bendungan yang jebol di dalam dadanya, membanjiri setiap relung hatinya.
Steve menyadari bahwa Karina sedang menatapnya, tapi dia berpura-pura tidak menyadarinya. Dia tidak berkedip, matanya tidak pernah beralih dari jalanan yang ada di depannya.
Karina mengalihkan pandangannya ke depan, dan di kejauhan ia akhirnya bisa melihat pemandangan gerbang mansion yang tidak asing, merayap naik ke garis penglihatan mereka. Mereka hampir sampai di rumah.
Pada saat itu, sesuatu yang tidak dapat Karina mengerti serasa mengambil alih dirinya. Ia tidak ingat dirinya mengeluarkan suara untuk berbicara, tapi suara yang memecah keheningan itu tidak lain adalah suaranya sendiri yang dengan pelan berkata, “Sayang...”
Gravitasi dari ucapannya itu begitu besar sehingga membuat Steve seketika menghentikan langkahnya. Matanya melebar, dan ia berkedip perlahan. Karina memperhatikan. Sekali. Dua kali. Dan kemudian mata itu melirik, bersamaan dengan kepala Steve yang menoleh ke arahnya. Keduanya saling bertatapan, begitu dekat hingga hidung mereka hampir bersentuhan.
Kemudian hening, hingga Karina ingat untuk melanjutkan keceplosannya yang memalukan itu dengan sedikit tergagap. “B-bolehkah aku memanggilmu begitu?”
Karina tidak yakin apakah cahaya malam yang redup yang membuat penglihatannya tidak jelas atau dirinya yang sedang berhalusinasi, tapi ia melihat lekukan tipis lesung pipi muncul di wajah Steve ketika pria itu kembali menatap lurus ke depan.
“Kenapa tiba-tiba kamu ingin memanggilku begitu? Kamu tidak pernah memanggilku dengan sebutan itu selama enam bulan kita menikah,” ujar Steve kemudian. Hening sesaat, sampai Steve kembali bersuara. “Tapi, tentu saja. Kamu boleh memanggilku begitu jika kamu mau.”
Mereka telah sampai di pintu gerbang mansion, melewati para petugas keamanan yang kini sudah berjaga di sana. Dengan pencahayaan yang terang, Karina dapat melihat dengan jelas lesung pipi yang muncul di wajah Steve.
Karina mengingat-ingat. Tidak butuh waktu lama bagi Steve untuk memanggilnya dengan sebutan ‘sayang’ begitu mereka resmi menikah. Karina tidak pernah merasakan apa pun ketika Steve memanggilnya seperti itu karena ia tahu itu hanyalah sebuah keharusan dan bagian dari akting mereka. Steve pun tidak pernah meminta atau menyuruh Karina memanggilnya dengan sebutan itu, jadi selama ini Karina hanya memanggilnya dengan nama saja.
Tapi sekarang, entah kenapa ada perasaan aneh saat ia memanggil Steve dengan sebutan sayang. Entah kenapa jantungnya berdegup kencang ketika Steve mengatakan dirinya boleh memanggilnya seperti itu. Dan ketika Steve sesekali menoleh untuk menatap matanya sambil tersenyum, entah kenapa terasa seperti ada ratusan kupu-kupu yang menari-nari di dalam perutnya.
“Aku hanya merasa kita sudah cukup dekat untuk aku memanggilmu seperti itu." Karina berkata, ia menyandarkan kepalanya pada bahu Steve sebelum melanjutkan, "Aku boleh kan menanggapmu sebagai sahabatku sekarang?” Karina bertanya, dengan suara yang lembut berbisik di telinga Steve.
Senyum Steve melebar. “Hmm, tentu saja. Kita adalah sahabat baik sekarang.”
•
•