Bayangkan, kedamaian dalam desa ternyata hanya di muka saja,
puluhan makhluk menyeramkan ternyata sedang menghantui mu.
itulah yang Danu rasakan, seorang laki-laki berusia 12 tahun bersama teman kecilnya yang lembut, Klara.
Dari manakah mereka?
kenapa ada di desa ini?
siapakah yang dapat memberi tahuku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mengare, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan takdir
Danu terbangun dan mendapati dirinya ada dalam perang besar, dia seperti berada antara kesadaran dan bawah sadar.
Apa yang dia lihat terasa benar-benar nyata tapi tidak dengan apa yang dia rasakan.
Beberapa pasukan berbaju zirah lengkap berbaris rapi bergegas menuju posisi yang di tentukan oleh komandan mereka, meski benteng yang mereka lindungi hampir menyatu dengan tanah, menyisakan beberapa pondasi yang hanya setinggi pusat mereka.
Angin menghembus bersama dengan kepulan pasir, tanah mereka jelas telah gersang, dan matahari bersinar sangat terik.
"Bawa pasukan yang terluka ke garis belakang, jangan biarkan barisan kosong!
Pasukan depan bersiap dengan hulu tembak!"
Perintah seorang pasukan dengan zirah yang lebih buruk dari kebanyakan, tapi dialah yang memimpin jalannya peperangan.
Danu tidak mengerti kenapa pasukan ini bersiap dalam posisi perang, dia tidak melihat ada pasukan lawan didepan.
komandan pasukan menoleh kepada seorang pembawa teropong yang berdiri di satu-satunya tower yang tersisa.
Sang peneropong memberikan isyarat dengan jarinya.
"Semuanya bersiap!!
Arahkan pada target!
jarak 300 langkah di depan!"
Semua pasukan mengikuti perintahnya, mereka bersiap pada posisi terbaik untuk menembak.
Danu masih tidak begitu jelas melihat apa yang datang, sampai peneropong mengangkat tangannya, dan sang komandan meneriakkan
"Tembak!!!"
Di saat itu Danu dapat melihat jelas seorang kesatria berzirah hitam yang tengah menunggangi kuda datang dari depan.
Ratusan bahkan ribuan proyektil ditembakkan bersamaan, medan pertempuran menjadi bising dengan suara ledakan tembak dan suara isi ulang peluru.
Kesatria hitam itu menerima serangan besar-besaran, sekitar 100 lebih pasukan yang menembaknya terus menerus, menimbulkan kepulan asap berapi yang mengepul darinya.
Danu mencoba memanggil dan bertanya pada mereka tapi dia tidak bisa bergerak dan mereka tidak mendengar apa yang dikatakannya.
Danu melihat dengan seksama, mereka menembak dengan penuh keputusasaan.
"Haa, mati kau iblis!! Mati!!!" teriak beberapa pasukan, dengan bengis.
Mereka menembak tanpa peduli lawan telah terbunuh atau tidak seolah itu adalah serangan terakhir mereka, lagi pula siapa yang dapat bertahan dari tembakan sebanyak itu?
Itulah yang awalnya dipikirkan Danu tapi saat cahaya ungu muncul dari kepulan asap mereka berhenti menembak.
Teriakan bengis berubah menjadi tangisan dalam bisu,
Komandan yang berdiri gagah, tertunduk pasrah,
Seluruh pasukan terdiam, meninggalkan keheningan total hingga hembusan angin kecil terdengar jelas.
Cahaya itu bersinar hingga ke langit.
Bum
Semuanya menjadi gelap Danu terkejut, dia merasakan kengerian dari kejadian itu, tidak ada yang bisa dia lihat.
Dia berusaha untuk lari, berteriak, dan menutup matanya tapi itu semua sia-sia.
pundaknya menegang, sebuah tangan yang telah hangus terbakar menggenggam pundak Danu dengan kuat.
Keringat dingin mengalir deras, Danu berteriak tanpa suara dia dipaksa bertatapan dengan komandan yang berdiri dibelakangnya dengan wajah tanpa bentuk.
"Bunuh akuuuuuuuu!!!!! Haaaaaa!!"
............
Rumah Danu
Klara duduk disudut kamar Danu. Dia menemani Danu yang telah tidak sadarkan diri selama 1 Minggu lamanya.
Tatapan mata Klara sendu, menatap Danu dengan rasa bersalah. Sesekali menggigit bibir, meremas ujung pakaiannya dengan lemah.
"Kak Danu kapan bangun? Klara rindu.
Klara janji gak bakal ganggu Kakak lagi.
Klara minta maaf." batin Klara.
"Klara~" suara lembut dari ibu Danu yang juga sedang bersedih dengan kondisi anaknya yang mengharuskan Danu diperban di sekujur tubuhnya, "Klara. pulang dulu ya, biar bibi aja yang jaga Kak Danu."
Klara menatap Nyonya Cendana dengan penuh harap. "Bibi, Kak Danu pasti bangunkan? Kak Danu pasti gak mau bangun karena marah sama Klara."
Nyonya Cendana mengusap kelopak mata Klara yang berbinar. "Huss, gak boleh kayak gitu~." Ny. Cendana menatap lembut Klara, "Kakak Danu pasti bangun, jadi Klara jangan nangis ya."
"Ta tapi, Kakak kan jadi begini gara-gara Klara."
Klara menangis.
Nyonya Cendana memeluk Klara dengan penuh kasih sayang, seolah Klara buah hatinya.
"Cup cup, kita doakan yang terbaik saja ya.. hiks hiks." ucap Ny. Cendana, berusaha tetap tegar tapi ikut menangis bersama Klara pada akhirnya.
Saat ini desa yang damai menjadi penuh ketegangan, tidak ada anak yang diizinkan bermain di luar, orang dewasa berjaga di seluruh penjuru desa secara bergantian siang dan malam.
Kegiatan jual beli pun sangat dibatasi, seluruh ibu di desa berusaha menenangkan anak mereka, meski mereka menjawab tidak ada apa-apa di depan anak-anak tapi tak henti mengintip keluar. Berharap suami mereka yang bertugas selamat dan tidak ada bahaya yang mendekat.
.............
"Klara."
Suara yang familiar memanggil Klara yang sudah menenangkan diri, dia berjalan mendekati suara yang tak lain berasal dari papa nya.
Tn. Daniel masuk bersama dengan Tn. Senja, mereka telah memakai perlengkapan berburu sederhana.
Klara berjalan memenuhi panggilan papa nya, merangkul papanya dengan manja. Tn. Daniel menunduk kepada Tn. Senja dan Ny. Cendana, berpamitan untuk pulang sebelum hari benar-benar gelap.
"Berhati-hatilah di jalan." seru Tn. Senja.
"Tentu, aku akan berhati-hati, terima kasih telah menjaga Klara."
"Justru kami yang harus berterima kasih karena Klara ikut membantu merawat Danu" elak Ny. Cendana.
Tak berselang lama, Ny. Cendana kehilangan kekuatannya untuk berdiri hingga nyaris ambruk.
Untungnya Tn. Senja segera menopangnya. Tn Senja panik dan menyandarkan istrinya pada kursi pada ruang tamu. Ny. Cendana terlihat pucat, wajahnya tampak lesu.
"Sayang kamu tidak apa-apa?" tanya Tn. Senja.
Ny. Cendana menggelengkan kepalanya, dia merasa mual, dan kepala berdenyut.
Tn. Senja mengecek denyut nadi istrinya dan perubahan besar pada wajahnya tampak jelas. Ny. Cendana melihat perubahan wajah pada Tn. Senja dengan cemas.
"Ada apa sayang?" tanya Ny. Cendana.
Tn. Senja memeluknya dengan erat, membuat kebingungan Ny. Cendana semakin kuat. Begitu pula dengan Tn. Daniel dan Klara yang belum sempat pergi.
Tn. Senja membisikan satu kata pada istrinya yang membuat istrinya mengulang dengan lantang ucapannya.
"Hamil? Maksud kamu aku hamil?"
Tn. Daniel ikut terkejut dengan yang didengarnya, hanya Klara yang kebingungan dan tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
Tn. Daniel segera berpamitan pergi bersama Klara sambil menyampaikan niatannya untuk memanggil Kakek Surya yang sedang bersama kelompok tetua desa, meninggalkan Ny. Cendana dan Tn. Senja sendirian.
Ny. Cendana kembali meneteskan air mata, dia tidak tahu harus bahagia dengan kedatangan calon buah hatinya atau sedih dengan kondisi anak sulungnya yang sedang tidak sadarkan diri.
Ny. Cendana memeluk erat suaminya, dalam hati dia menertawakan takdir nya yang menyedihkan.
Kehamilan yang seharusnya disambut dengan hangat justru menjadi beban pikiran baginya.
ada perasaan senang dan sedih yang menjadi satu dengannya.
Sebagai seorang ibu,
Dia ingin menyambut calon bayinya dengan penuh kegembiraan
Tapi di sisi lain, dia harus memikirkan anaknya yang sakit.