Bismillah karya baru,
Sudah tiga tahun Elyana menikah dengan Excel Damara, seorang Perwira menengah Angkatan Darat berpangkat Kapten, karena perjodohan.
Pernikahan itu dikaruniai seorang putri cantik yang kini berusia 2,5 tahun. Elyana merasa bahagia dengan pernikahan itu, meskipun sikap Kapten Excel begitu dingin. Namun, rasa cinta mengalahkan segalanya, sehingga Elyana tidak sadar bahwa yang dicintai Kapten Excel bukanlah dirinya.
Apakah Elyana akan bertahan dengan pernikahan ini atas nama cinta, sementara Excel mencintai perempuan lain?
Yuk kepoin kisahnya di sini, dalam judul "Ya, Aku Akan Pergi Mas Kapten"
WA 089520229628
FB Nasir Tupar
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Pelukan Terakhir
"Kalau kamu butuh aku, hubungi aku," tekan Yeri sebelum Elyana berpamitan pulang.
Elyana pulang dari kediaman Yeri setelah adzan isya. Elyana sengaja pulang malam karena terlanjur kecewa terhadap Excel. Baginya tidak perlu lagi merasa takut, karena sudah jelas Excel tidak mencintainya.
Keyakinannya sudah bulat, dia akan pergi dari Excel. Hanya, Elyana masih bingung mau ke mana dan bagaimana dengan Nada jika dia membawanya pergi jauh dari papanya. Sungguh Elyana berada di posisi yang sulit. Elyana juga sejak pagi, sengaja tidak mengaktifkan nomer Hp nya, dia yakin Excel menghubungi atau mencarinya.
"Eh, tapi, tidak mungkin Mas Excel mencariku atau khawatir padaku. Dia menghubungi aku, hanya khawatir pada Nada saja, tidak denganku," batinnya, sepanjang jalan menaiki grab, hati Elyana gundah dan berbicara sendiri.
Grab yang ditumpanginya sebentar lagi sampai di rumah. Elyana menghela nafas dalam-dalam, untuk menghadapi Excel. Dia siap beradu kata dan argumen malam ini. Bisa jadi malam ini Excel banyak bicara, tidak datar seperti biasanya.
Akhirnya grab itu tiba di depan pagar rumah. Elyana membayar ongkosnya lalu menuruni grab seraya memangku erat tubuh Nada.
"Terimakasih, Pak," ucap Elyana sembari berjalan memasuki pagar rumah.
Dilihatnya pintu rumah sudah terbuka lebar, Elyana yakin, Excel menunggunya dengan marah.
"Assalamualaikum," ucapnya sembari langsung ngeloyor tanpa menoleh ke sekitar ruang tamu.
"Berhenti," tegas suara Excel penuh tekanan. Elyana tidak menggubris, dia segera melangkah menuju tangga.
"Berhenti, kataku! Dari mana kamu keluyuran, malam-malam baru pulang? Tidakkah kamu pikirkan kalau aku khawatir menunggu kalian pulang?"
"Bi Ocoh, ambil Nada," teriak Excel menyela kalimat pertamanya tadi. Bi Ocoh segera berlari menghampiri Elyana lalu meraih Nada dan merayunya agar mau dibawa Bi Ocoh. Elyana mengalah, dia memang mau menumpahkan segala unek-uneknya di depan Excel.
"Mama, Papa," panggil Nada seraya mengulurkan tangannya.
"Bawa dulu, Bi. Ajak beli es krim," ujar Excel seraya mengusir keberadaan Bi Ocoh dengan lambaian tangannya. Bi Ocoh terlihat khawatir melihat kedua majikannya bertengkar, wajahnya yang bingung terpaksa pergi menjauh membawa Nada yang mulai merengek.
"Aku mau bicara, dan kamu harus dengarkan aku."
"Tapi, aku tidak mau bicara apa-apa denganmu," balas Elyana sembari bergegas menaiki tangga.
Mereka berada di beranda lantai atas kini. Elyana berdiri menatap jendela yang gordennya masih terbuka.
"Dengarkan aku El, tidak sepantasnya kamu pergi tanpa ijin aku dan pulang lebih lambat dari aku. Apakah kamu tidak tahu dengan adab seorang istri?" ucap Excel membuat Elyana membalikkan badan dan membelalakkan mata kepada Excel.
"Maaf, ya, Mas. Tadinya aku sudah tidak ingin berkata apa-apa lagi sama kamu. Tapi, berhubung kamu bicara tentang adab, jadi terpaksa aku bicara. Aku melakukan ini, tidak ijin pergi atau pulang lebih telat dari kamu, itu karena aku dan kamu sudah tidak ada apa-apa lagi. Jadi, tidak ada artinya aku meminta ijin padamu."
Excel melotot mendengar ucapan Elyana barusan, dia berani bicara seperti itu padanya.
"Apa? Tidak ada apa-apa? Kamu ini masih sah istri aku, Elyana, tidak sepantasnya kamu bicara seperti itu. Kamu sudah durhaka pada suamimu gara-gara ini," dengus Excel dengan mata yang memerah. Elyana semakin tertantang, ini saatnya melawan, dia tidak boleh menangis lagi.
"Tidak ada lagi istri durhaka, Mas. Karena sejak pengakuan kamu tadi malam, aku sudah melepaskan statusku sebagai istri dan aku tidak rido karena ucapanmu yang jelas, yakni tidak pernah mencintai aku. Aku sadar diri, Mas. Maka dari itu, tolong mulai detik ini lepaskan aku. Aku minta cerai. Aku tahu, selama ini aku bertahan, itu karena kebodohan aku," ucap Elyana lantang.
"Keterlaluan kamu, Elyana. Kamu berani berkata-kata lantang seperti itu. Dari siapa kamu bisa bicara seperti itu?"
"Sudahlah, Mas, tidak perlu pertanyakan aku dari siapa bisa bicara seperti ini. Aku sudah tahu pernikahan kita ini tidak masuk kantor, jadi mudah saja kamu untuk menceraikan aku tanpa harus ribet sidang sana-sini. Memang ini yang kamu mau, kan, Mas?" ucap Elyana lagi seraya membalikkan badan.
Excel diam, dia sadar, pernikahan mereka memang tidak dia ajukan secara kedinasan. Semua ini karena dia kecewa pada kedua orang tuanya yang menjodohkan dirinya dengan perempuan lain, yakni Elyana.
Elyana membalikkan badan lalu bergegas menuruni tangga, menyembunyikan tangis yang lagi-lagi tumpah. Elyana segera memasuki kamar yang ditidurinya kemarin, dia mengurung diri di sana dan menangis.
Excel menyusulnya dan menggedor pintu. Sayangnya, Elyana tidak menggubris, dia masih menangis, menumpahkan sisa sesak yang masih ada di dadanya.
"Elyana, tolong buka. Aku mau bicara baik-baik denganmu. Tolong, dengarkan aku. Aku minta maaf. Aku selama ini melakukan itu, karena aku terpaksa. Tolong pahami aku," ucap Excel, berharap Elyana akan mendengar.
Elyana tidak peduli lagi dengan ucapan Excel, dia bulat dengan tekadnya, dia harus pergi dan membawa Nada jauh dari Excel.
"Besok, setelah Mas Excel pergi ke kantor, aku akan pergi dari rumah ini membawa Nada," tekadnya kuat seraya menghapus sisa air matanya.
Rencana tinggal rencana, nyatanya Excel tidak masuk kerja selama du hari. Dia sengaja ambil cuti, entah apa tujuannya. Yang jelas, dia takut kalau Elyana pergi membawa Nada. Excel berusaha baik-baiki Elyana. Namun Elyana kini diam seribu bahasa. Elyana sudah tidak mau bicara, dia memilih mengumpulkan energi untuk mencari celah supaya bisa pergi nanti tanpa ketahuan Excel.
Terpaksa Elyana bersabar, dan berpura-pura tegar. Tapi, kali ini dia berusaha menghindari Excel. Elyana tidak lagi perhatian pada Excel seperti biasa.
"Sia-sia selama ini aku menumpahkan cinta dan perhatian kalau pada kenyataannya aku bukan wanita yang dicintainya," batin Elyana.
Elyana kini tengah termenung di taman belakang. Dia sengaja menjauh saat tadi Excel mendekatinya dan berusaha mengajak Nada supaya bersama-sama bertiga.
"Kenapa dia tidak masuk kantor, dan berapa lama cutinya?"
"Tidak ada untungnya lagi aku bertahan. Tapi, bagaimana dengan Nada? Ya Allah, apa yang harus aku putuskan?" Elyana kembali bingung masalah Nada.
Di hari ke tiga, Elyana melihat Excel sudah berbaju seragam loreng. Ini saatnya dia beraksi. Elyana akan nekad untuk pergi, dia tidak bisa menahannya lagi.
"Aku pergi, ya. Tolong, jangan ke mana-mana. Titip ...."
"Titip Nada, bukan? Tidak perlu khawatir, selama ini aku sudah merawat anakku dengan baik. Yang penting bagimu Nada bukan? Sekalipun aku ibunya, kamu tidak pernah mengkhawatirkan aku," potong Elyana, untuk terakhir kalinya Elyana berbicara karena merasa sekalipun Excel tidak pernah menyebutnya, atau mengatakan baik-baik kalian di rumah. Excel hanya fokus Nada saja, tidak dengan dirinya.
Air mata itu mengalir semakin deras, sampai isakannya terdengar. Padahal Elyana berusaha menahannya.
"Elyana, maafkan aku," ucap Excel sembari memeluk Nada dan Elyana sekaligus. Dia seakan menyesali semua. Tapi, semua sia-sia, Elyana pun segera melepaskan tangan Excel.
"Papa pergi, Sayang. El, aku akan urus semua. Jadi, aku mohon, tetaplah di sini," ucapnya sebelum pergi.
"Papaaaa." Nada berteriak sembari melambaikan tangan pada Excel.