Hana tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang mahasiswi yang polos, ia terjebak dalam pusaran cinta yang rumit. Hatinya hancur saat memergoki Dion, pria yang seharusnya menjadi tunangannya, selingkuh. Dalam keterpurukan, ia bertemu Dominic, pria yang dua kali usianya, tetapi mampu membuatnya merasa dicintai seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dominic Lancaster bukan pria biasa. Kaya, berkuasa, dan memiliki masa lalu yang penuh rahasia. Namun, siapa sangka pria yang telah membuat Hana jatuh cinta ternyata adalah ayah kandung dari Dion, mantan kekasihnya?
Hubungan mereka ditentang habis-habisan. Keluarga Dominic melihat Hana hanya sebagai gadis muda yang terjebak dalam pesona seorang pria matang, sementara dunia menilai mereka dengan tatapan sinis. Apakah perbedaan usia dan takdir yang kejam akan memisahkan mereka? Ataukah cinta mereka cukup kuat untuk melawan semua rintangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lo gila!
Hana merasakan tubuhnya semakin lemas, bukan karena kelelahan, tetapi karena sesuatu yang aneh yang mulai merayap dalam dirinya. Sensasi panas yang membakar dari dalam, mengaburkan pikirannya, melemahkan kewaspadaannya.
"Hai sayang... butuh bantuan?" Dion meringsek masuk ke dalam kost Hana.
"Keluar!"
"Rawr! Makin galak gue malah makin suka!"
Namun, ketakutan dan kemarahan membuatnya tetap waspada.
"Lo kasih apa ke gue?!" bentaknya dengan napas tersengal, mencoba mendorong tubuh Dion yang kini berdiri di depannya dengan tatapan penuh kemenangan.
Dion menyeringai, tatapannya dingin dan penuh tipu daya. "Hanya sedikit bantuan biar lo sadar, Hana. Lo itu milik gue. Bukan milik lelaki tua itu!"
"Yang lo bilang lelaki tua itu ayah kandung lo sendiri!" Hana menggigit bibir, tangannya mencengkeram meja di belakangnya untuk menahan tubuhnya yang mulai melemah. Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena sensasi panas yang merayap, tetapi juga karena ketakutan dan jijik pada Dion.
"Daddy tolong aku...." batin Hana.
Dengan sisa tenaga yang ia punya, Hana meraih segelas air di meja dan melemparkannya ke wajah Dion.
BYUR!
Dion terkejut, matanya membelalak. "Sialan!"
Kesempatan itu dimanfaatkan Hana. Ia meraih ponselnya di atas kasur dan berusaha menghubungi Dominic, tetapi sebelum ia sempat menekan tombol panggilan, Dion sudah meraih pergelangan tangannya dan menariknya dengan kasar.
“Lo mau ngadu ke dia? Gue dulu yang lo pacarin, Hana! Gue yang lo tungguin selama ini!” Dion mencengkram dagunya, memaksa Hana menatapnya.
“Lo udah gila!” Hana berusaha menepis tangannya, tapi tubuhnya semakin melemah. Nafasnya tersengal, kakinya terasa gemetar.
Dion terkekeh.
"Gue kasih lo waktu buat mikir, Hana. Lo bisa nolak gue sekarang, tapi setelah efek itu makin kuat, kita lihat siapa yang lo panggil malam ini," bisiknya di telinga Hana dengan suara menjijikkan.
"Sinting, lo akan nyesel!" Hana mendorongnya sekuat tenaga, berhasil membuat Dion mundur beberapa langkah. Ia buru-buru meraih ponselnya dan berlari ke kamar mandi, mengunci diri di dalam.
"Please... angkat…" Tangan Hana gemetar ketika jari-jari ini kembali menekan nomor Dominic.
Nafasnya memburu, seolah dunia ini akan hancur jika ia tak segera menjawab.
"Daddy... aku mohon, angkat dong!" Hana hampir berteriak putus asa.
Sekali, dua kali, tidak ada jawaban.
"Daddy…" desah Hana pelan, penuh harapan yang hampir pupus.
Ketika akhirnya panggilan tersambung, suara Dominic terdengar dari seberang, tenang seperti biasa.
"Sayang?"
Hana tidak bisa menahan diri lebih lama. Suaranya pecah di tengah tangisan.
"Daddy… tolong aku…"
Ada jeda. Suaranya berubah, terdengar tegang.
"Kamu panggil aku apa?"
"Tolong aku!" jawab Hana cepat, suara penuh ketakutan.
Dominic terdengar mengubah nada suaranya. "Kamu di mana? Apa yang terjadi?"
Hana menggigit bibir bawahnya hingga hampir berdarah, mencoba mengendalikan isakan yang terasa seperti ledakan dalam dada.
"Dion… dia masuk ke kost aku… aku nggak tahu apa yang dia kasih di makananku… tapi aku ngerasa aneh… ngerasa…"
"Tunggu aku. Aku ke sana sekarang!" katanya tegas sebelum menutup telepon.
Hana mencoba menghirup udara sebanyak mungkin, namun tenggorokannya terasa begitu sempit. Ia melingkarkan tangan di tubuhnya sendiri, berusaha mencari perlindungan yang terasa sangat jauh dari jangkauan. Tapi suara Dion di luar kamar, tertawa kecil, menamparku seperti hantaman palu.
"Ngadu sama pacar tua lo? Kita lihat siapa yang datang lebih dulu, Hana." Suaranya terdengar mengejek, penuh nada kemenangan.
Hana ingin berteriak, tapi ketakutan terlalu pekat melingkupiku. Ia meringkuk di sudut kamar mandi, air mata panas terus mengalir.
Apakah Dominic akan sampai tepat waktu?
"Daddy… cepatlah…" batin Hana memohon tanpa suara.
"Dion! Pergi! Atau gue bakal teriak biar lo ditangkep!" Suara Hana memecah keheningan, menggema di kamar mandi yang sempit ini. Hatinya diliputi ketakutan yang kian membuncah, namun Dion tidak menunjukkan tanda-tanda akan mundur.
Pintu yang ia ganjal dengan tubuhku terus didorongnya dengan keras, membuat gagangnya bergetar seolah akan lepas.
"Jangan drama, Hana! Gue cuma mau ngobrol!" kata Dion, suaranya penuh obsesi dan nyaris seperti ancaman terselubung.
Jantungnya seolah mencelos. Apa yang dia inginkan? Kenapa dia tidak mau pergi? Napasnya semakin cepat, ia tahu ini bukan sekadar obrolan.
Tidak dengan caranya memaksa masuk seperti ini. Tidak dengan nada suaranya yang terdengar gila.
"Tolong, Daddy..." ucap Hana pelan, hampir seperti bisikan. Tubuhnya lemah, mulai kehilangan kekuatan.
Hana bisa merasakan keringat dingin yang membasahi pelipisnya, dan sesuatu dalam dirinya berteriak bahwa ini semua karena sesuatu yang dia paksa masuk ke dalam tubuh, sesuatu yang membuat Hana kehilangan kontrol.
Dengan tangan gemetar, Hana mencoba menghubungi Dominic lagi. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkannya saat ini.
Namun, saat jari-jariku hendak menekan tombol, sial, ponselnya tergelincir dari tangan dan jatuh ke lantai.
"Tidak, tidak!" Hana panik, berlutut untuk meraihnya, tapi sebelum tangannya mencapai ponsel itu, suara hantaman keras menghantam pintu.
"BRUK!"
Hana menjerit keras, setengah membeku. Dion benar-benar gila! Dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia mau. Ketakutan Hana berubah menjadi kemarahan.
Ia mencoba berteriak lagi untuk membuatnya menjauh, meskipun setengah sadar bahwa mungkin suaranya sia-sia.
"Dion, lo gila! Kalau lo berani macem-macem, gue bakal—" Kalimatnya terputus oleh suara
"BRAK!!" yang lebih keras dari sebelumnya.
Sepertinya pintu ini tidak akan bertahan lama, begitu pula kekuatan Hana yang semakin habis.
"Tuhan, tolong aku. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Pintu kamar mandi terbuka dengan paksa. Dion berhasil mendorongnya masuk, dan Hana langsung terhuyung ke belakang, menabrak wastafel.
"Dion! Jangan sentuh aku!" Hana kembali menjerit, suaranya bergetar ketakutan. Jantungnya berpacu seolah ingin meledak keluar dari dada.
Nafas Hana tersengal, tetapi ia tidak peduli. Ketakutan ini menguasai seluruh tubuh.
"Kita akan senang-senang, sayang!" Dia tertawa dingin, seringainya membuatku mual.
Hana merasakan tubuhnya gemetar hebat.
"Tolong!" Hana berusaha memanggil siapa saja yang bisa mendengar, namun suaranya seolah terperangkap di ruangan kecil ini.
Hana meronta, berharap bisa melepaskan diri dari cengkraman keji Dion.
"Jangan sok suci lo! Gue tau lo udah kasih service memuaskan buat ayah gue, kan?" Nadanya penuh penghinaan, menusuk di telinga seperti ribuan duri.
"Coba tunjukin gimana lo service dia. Apa sebagus Sarah?" seringaian menjijikkan itu terlihat jelas di wajahnya, membuat amarah dan jijik bercampur dengan ketakutan.
"Aku muak!" Hana ingin menjerit, ingin memaki dia lebih dari sekadar kata-kata yang tersangkut di tenggorokan.
Namun, saat ini Hana bahkan tidak punya kekuatan untuk berkata apa-apa selain, "Pergi, Dion! Jangan sentuh aku!" Hana meronta lagi.
Tubuhnya terasa lemah, tapi ia tidak mau menyerah.
"Siapapun! Aku hanya ingin seseorang datang dan menyelamatkan aku." Hana merasa tak berdaya, tetapi tetap berteriak. Ia tahu harus berteriak.
Namun ternyata, teriakan itu bukan hanya sebuah jeritan sia-sia.
"Nanti aja sayang teriaknya, lo mau kita satu ronde di kamar mandi?" seringai Dion.
"Lo gila! Tolong!"
"Hahaha! Teriaklah... Karna gue udah memastikan penghuni kost lo pada pergi termasuk ibu kost lo yang cerewet itu!"
"Tolong!" lirih Hana.
"Hana... Hana... Gak sabar gue mau nikamtin tubuh lo!"
"To-long..."
Terdengar suara gaduh dari luar kamar. Hatinya sedikit terangkat, sebuah harapan kecil muncul di tengah kepanikan ini.
"Hey! Ada apa ini?!"
Hanamendengar suara beberapa penghuni kost.
"Siapa sih!"
Mereka mengetuk pintu dengan keras, membuat Dion kehilangan keseimbangannya untuk sesaat.
"Hey! Kamu ngapain di kamar Hana?!" Suara bentakan lainnya menggema dari luar.
Tiba-tiba, "BRAK!" Pintu kamar Hana didobrak dengan keras. Matanya membelalak. Tubuhnya yang hampir menyerah kini mendapati dirinya berada dalam adrenalin baru.
Dan saat itu, suara berat seseorang bergema di dalam ruangan, membuat segalanya terasa berhenti sesaat.
"Sentuh dia, dan aku bakal habisin kamu, Dion."
Dominic.
Suaranya adalah ancaman murni, menggelegar memenuhi ruangan. Hana menoleh dengan mata berkaca-kaca, hampir tak percaya melihatnya berdiri di ambang pintu.
Sosok lelaki itu memandang dengan tatapan membunuh, rahangnya mengeras, dan kemarahan membara di matanya. Untuk pertama kalinya malam itu, Hana merasa bisa bernafas lagi, seolah keberadaannya saja cukup untuk menarik kembali dari jurang keputusasaan.
Dion membeku. "Ayah?! Hana yang coba godain aku, Yah!"
Dominic melangkah maju, tanpa ragu menarik Dion dari kamar mandi dan mendorongnya ke dinding dengan kasar.
"Ayah nggak sangka besarin anak seperti kamu, kalau kamu berani sentuh Hana lagi, Ayah sendiri yang hancurin hidup kamu!"
Dion tertawa sinis. "Ayah pikir lo bisa terus-terusan menang, hah? Ayah dah merebut semuanya dari aku. Ayah pikir Hana beneran cinta sama ayah?"
BRAK!
Dominic menarik kerah Dion dan mendorongnya lebih keras ke dinding. "Ayah nggak butuh omongan kamu. Kamu cuma pecundang yang nggak bisa menerima kenyataan."
Dion mendecakkan lidahnya, lalu menatap Hana yang masih berdiri dengan tubuh gemetar.
"Hana... lo lihat kan? Orang yang lo pilih. Lo pikir dia akan selalu ada buat lo? Percaya sama gue, lo cuma mainan buatnya."
"Keluar dari sini sebelum Ayah benar-benar hancurin kamu," suara Dominic bergetar menahan emosi.
Para penghuni kost semakin ramai berdatangan, dan salah satu dari mereka sudah menelepon keamanan.
Dion menyadari posisinya semakin terjepit. Dengan mendengus kesal, ia melepaskan diri dari cengkraman Dominic dan melangkah mundur.
"Ini belum selesai," katanya sebelum berbalik dan pergi.
Begitu Dion menghilang, Dominic langsung berlari ke arah Hana, menariknya ke dalam pelukan.
Hana tersedak isakannya. "Daddy..."
"Ssst... aku di sini," bisik Dominic sambil mengusap punggungnya lembut.
"Dia... dia hampir..." Hana mencengkeram kemejanya erat, tubuhnya masih gemetar.
Dominic mengepalkan tangan, matanya berkilat penuh kemarahan. "Aku janji, Hana. Dia nggak akan pernah bisa menyentuh kamu lagi. Aku nggak akan membiarkan itu terjadi."
Hana mengangguk kecil di dada Dominic, air matanya masih mengalir deras.
Dominic menunduk, mencium puncak kepalanya dengan penuh kasih. "Mulai sekarang, kamu tinggal sama aku. Aku nggak akan membiarkan kamu sendirian lagi."
Hana menggigit bibirnya, menatap Dominic dengan tatapan penuh ketakutan, sekaligus ketergantungan.
Dominic adalah satu-satunya tempatnya berpulang.
Bersambung...