Akibat kenakalan dari Raya dan selalu berbuat onar saat masih sekolah membuat kedua orangtuanya memasukkan Raya ke ponpes. setelah lulus sekolah.
Tiba disana, bukannya jadi santri seperti pada umumnya malah dijadikan istri kedua secara dadakan. Hal itu membuat orangtua Raya marah. Lalu apakah Raya benar-benar memilih atau menolak tawaran seperti orangtuanya?
Tingkah laku Raya yang bikin elus dada membuat Arsyad harus memiliki stok kesabaran yang banyak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pinkberryss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ungkapan rasa
Siang ini Inayah, Farah, Raya, dan Bu Sofiyah sedang membuat rujak buah. Buah beraneka macam ada di sana dan paling penting adalah mangga. Meski mangga dikebun sudah habis dan masih kecil-kecil tapi Raya memetik dari milik rumah terdekat lingkungan pondok. Sebelumnya memang sudah izin terlebih dahulu dan pemiliknya malah memberi sebanyak itu mangga muda ada juga yang sudah matang.
Farah dan Bu Sofiyah mengupas, mencuci juga mengiris-iris buah menjadi kecil. Sedangkan Inayah mengulek bumbu khas rujak dalam cobek berukuran besar. Jangan ditanya Raya sedang apa, dia juga membantu, membantu melihat.
Arsyad dan Malik baru saja balik dari sekolah karena ada jam mengajar. Mereka masuk ke dalam dan menemui suara banyak orang di dapur dan ternyata memang mereka sedang membuat sesuatu.
"Mau rujakan, umi?" tanya Malik meraih kursi duduk sambil melihat mereka sedang sibuk dengan kegiatannya.
"Iya, mumpung punya buah banyak, Raya katanya pengen rujak buah,"
"Cabai sebanyak itu?" kini Arsyad bersuara melihat banyaknya cabai rawit semangkok.
Bu sofiyah tersenyum melirik anaknya sebentar, "Iya Raya yang minta tapi katanya untuk dia saja nggak akan kecampur kok sama bumbunya, nanti hanya dikasih beberapa saja biar pedasnya pas." Arsyad melirik Raya yang duduk asyik memandangi Inayah mengulek bumbu.
Dia duduk disebelah Raya, dengan aksi jahilnya menoel noel pinggang Raya. Entah sejak kapan sikap Arsyad berubah begini, padahal seperti buatkan dirinya. Seakan lupa akan sikap dingin dan kakinya tapi kalau bersama dengan Raya istrinya. Kalau dengan orang lain tetap menunjukkan wibawanya sebagai seorang yang dingin dan tegas.
"Kenapa sih?" Raya bertanya, dia berbisik kepada suaminya.
"Nggak papa," lantas ia mengulanginya lagi yang membuat Raya jengkel.
"Ssshhhtt, diam mas Arsyad." dengan terpaksa Raya memanggil suaminya dengan lemah lembut sampai Arsyad terbuai dan tubuhnya tak bergerak seperti patung. Hatinya berdegup kencang saya Raya memanggilnya dengan sebutan 'mas' itu.
'Gini aja udah bikin diem, memang senjata paling ampuh' bangganya dalam hati Raya.
"Syad-" Malik melihat Arsyad melamun. Dia melambai-lambaikan tangannya didepan adiknya.
"Kesambet apaan melamun gitu, lagi mikirin strategi buat ngambil rujak ya? tuh udah jadi,"
"Eh nggak apaan sih. Ayo Raya ambilkan buat saya,"
"Oh tidak, maksudnya ambil yang banyak di wadah yang kamu bawa, jadi satu saja sama saya," imbuhnya membuat Raya mengangguk menyetujui ajakan Arsyad.
"Ini buat Abi yang tidak ada mangga mudanya," Inayah memberikan khusus untuk mertuanya ke Bu Sofiyah.
"Loh kenapa nggak dikasih mangga muda?" tanya Raya.
"Abi tidak bisa mengunyah makanan keras nak, dia juga tidak suka yang asam-asam,"
"Oh tapi umi bisa kan?" Bu Sofiyah juga menggeleng dia sama seperti pak Umar karena ingat usianya juga, dia hanya makan yang gampang saja.
"Kita makan diluar yuk!" ajak raya kepada Arsyad.
"di luar dimana, panas Raya."
"Mana ada panas orang di kursi luar yang adem itu!"
"Baiklah." Arsyad menyetujuinya. Dilihatnya jam menunjukkan pukul dua siang. Memang panas kalau cuaca cerah tapi tidak sepanas jam sebelas atau duabelas.
Seseorang menghampiri Raya dan Arsyad saat mereka tengah menikmati rujak buah tadi, dicelupkan dalam bumbu kacang pedas milik Raya.
Dia adalah Zalima, lagi dan lagi membuat suasana dan mood Raya buruk.
"Ada apa lagi?" tanya Raya dengan nada ketus.
"Maaf Ning mengganggu, saya hanya mengambilkan pulpen milik Gus Arsyad yang terjatuh." dia mengulurkan pulpen namun Arsyad tak mengambil.
"Taruh saja diatas meja, bisa kan. Lalu balik," bukan Arsyad menjawab tapi Raya.
"Mas Arsyad kenapa sih suka jatuh in barang atau benda begini? Jangan ceroboh mas!" perkataan Raya membuat Arsyad tersedak saat mengunyah buah apalagi ditambah sambal.
"Ya ampun ini minumnya pelan-pelan."
"Saya nggak butuh pulpen itu lagi, bukan karena terjatuh tapi memang saya buang, sayangnya tidak tepat tempat sampah," jelasnya membuat Zalima menahan malu.
"Oh maaf Gus saya kira masih bagus jadi-"
"Jadi nggak dilihat dulu gitu? Kan pulpennya warnanya bening jadi kelihatan isinya masih ada atau sudah habis," jawab Raya melirik sinis ke arah Zalima.
"I-iya m-maaf ning saya permisi."
"Dasar ya si Zalima itu kok bikin gedek sih bikin nggak mood makan!"
"Sabar," Arsyad mengelus punggung tangan Raya yang diatas meja.
"Sabar mulu udah sabar dari orok masih aja dibilangin buat sabar!" Raya beranjak pergi meninggalkan Arsyad sendirian. lalu tak lama dia mengikuti istrinya untuk ke dalam tak lupa membawa rujak yang masih tersisa.
Bu Sofiyah yang tengah duduk bersama suaminya di rumah menatap Raya dengan wajah cemberutnya, seperti ada sesuatu di antara mereka.
"Nggak ada apa-apa umi semuanya aman." ucap Arsyad yang tiba-tiba karena melihat uminya menatap horror kearahnya dan langsung saja konfirmasi supaya dia aman.
Memang ada-ada saja Arsyad ini kelakuannya.
"Ada apa umi?" tanya dengan nada berbisik pak Umar pada istrinya.
"Nggak tau, tanya saja anakmu." pak Umar menghela napas.
Sesampainya di dalam kamar Raya langsung merebahkan diri, kerudungnya dia lemparkan begitu saja dan terkena Arsyad menutupi wajahnya. Dia hanya geleng-geleng kepala kecil saat melihat kelakuan istrinya yang menurutnya tambah gemas. Sebenarnya sudah tahu bahwa Raya sedang cemburu namun tetap di sanggah tidak olehnya mungkin masih jual mahal.
Arsyad meletakkan rujak buah tadi diatas meja yang ada disana, dia lantas menaiki ranjang ikut berbaring samping Raya. Dia mengelus pelan punggung Raya yang tengkurap namun segera ditepis oleh Raya dan dia berbalik melihat Arsyad sedang menatapnya.
Lihatlah wajah Raya sangatlah kusut masih memendam rasa kesal pada orang yang membuatnya seperti ini. Tangan Arsyad terulur mengelus pipi halus Raya. Dia tersenyum hangat membuat Raya terpaku akan senyuman itu. dia menghadiahi Raya dengan sebuah kecupan hangat di dahinya.
"Masih kesal, hm?" siapa yang nggak meleleh mendengar suara lembut dari seorang pria kalau begini. itu yang dirasakan oleh Raya.
Arsyad menyingkirkan rambut dan menyembunyikan di belakang telinga. "Cantik sekali istriku." sudah stop Arsyad, gara-gara dirimu Raya menjadi bersemu merah di kedua pipi.
"Gus..." panggilnya pelan.
"Bisa diubah panggilan untukku?" kali ini Arsyad mengganti panggilan formal dari saya ke aku, tidak ada lagi rasa canggung.
"Ap-apa," dia sedikit tergagap karena gugup saat ditatap.
"Mas, panggil mas."
Tolong selamatkan jantung Raya yang berdetak sangat cepat dan kencang ini.
Rasanya seperti dia bermimpi di alam mimpi, tapi kalau dirasa dia tak mengantuk dan memang ini nyata.
"M-mas?" Arsyad mengangguk pelan.
"Mas Arsyad..." betapa senangnya hati Arsyad menjadi adem sekali saat Raya memanggilnya bukan lagi Gus yang siapa saja bisa panggil.
"Senang sekali mas dengar kamu ngomong begitu," dia meraih tangan Raya dan meletakkannya pada pipinya.
"Apa masih kesal? Marah? Mau melampiaskan? Ke mas saja," ayo Raya lampiaskan saja kalau dirasa butuh, coba pukul Arsyad tapi jangan sampai benjol ya. Hehehe. Kekuatan Raya jangan diragukan kalau soal berantem.
Mata Raya berembun menandakan akan turun hujan dari matanya, "Tau tidak, perasaan mas tumbuh untuk kamu sejak kapan? Sejak hari pertama kita bertemu tanpa sengaja di toko kue waktu itu. Memang terlihat konyol bukan? Tapi itu nyatanya."
"Tapi mas menampik bahwa itu hanyalah hal biasa, tapi malamnya malah terbayang sama wajah kamu. Bukan hanya itu tapi tiap hari bahkan saat mas banyak kerjaan dan merasa pusing malah teringat kamu lagi, dan anehnya pusing jadi hilang."
Raya tidak tahu harus berkata apa, dia hanya diam saja mencerna setiap cerita dari Arsyad.
"Hari ini akan mas katakan bahwa, mas sayang sama kamu Raya. Cinta mas untuk kamu tak terhingga saking besarnya. Bagaimana menurut kamu apa merasakan hal serupa?"
"Tapi kenapa milih Raya, ada banyak perempuan lain yang lebih baik-" ucapannya di stop Arsyad saat telunjuknya menutup bibir Raya.
"Kamu lebih dari mereka semua,"
"Dan tolong ubah kata gue dan lo, tidak pantas diucapkan sesama pasangan seperti kita yang menjadi suami istri." imbuhnya Arsyad meraih tangan Raya kembali dan dikecupnya dengan manis.
"Usia kamu masih muda daripada mas yang sudah berkepala empat. Mas sangat takut kalau tambah usia malah makin tua dan kamu terpikat sama yang muda," ucapnya sedih.
"Kenapa gitu? Memang cinta harus pandang usia ya, setahuku tidak deh," jawaban Raya semakin membuat Arsyad yakin bahwa Raya memiliki rasa kepadanya.
"Jadi, kamu juga cinta sama mas?" tanya Arsyad membuat Raya bungkam.
Tapi selanjutnya,
Raya mengangguk pelan.
Namun Arsyad yang kurang puas masih menunggu langsung keluar dari mulut Raya agar berbicara sendiri.
"Ngomong dong..." sabar Syad jangan dipaksa.
"Iya," jawabnya dengan malu.
"Iya apa?" masih saja tidak tahu, siapa yang kesal kalau begini.
"Iya Raya cinta sama mas Arsyad!" Arsyad dengan segera memeluk tubuh Raya ke dalam tubuhnya. Senangnya hati ini berbunga-bunga.
"Terimakasih sayang!"
Cup. Beberapa kali kecupan pada dahi, kedua pipi, dan bibir Raya.
•
•
•
Kalau sudah begini tinggal momen manisnya saja sih, kalian pada baper nggak?
Like dan follow author, makasih!