MONSTER KEJAM itulah yang Rahayu pikirkan tentang Andika, suaminya yang tampan namun red flag habis-habisan, tukang pukul kasar, dan ahli sandiwara. Ketika maut hampir saja merenggut nyawa Rahayu di sebuah puncak, Rahayu diselamatkan oleh seseorang yang akan membantunya membalas orang-orang yang selama ini menginjak-injak dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pak Rio Meninggal
Hening yang mencekam menyelimuti gudang bawah tanah itu setelah dentuman pintu besi mereda. Bau pengap dan amis darah terasa semakin menyesakkan. Di tengah kegelapan, hanya terdengar suara napas Pak Rio yang berat dan terputus-putus, seolah setiap tarikan oksigen adalah perjuangan melawan maut.
"Papa… Papa dengar Rahayu?" bisik Rahayu sambil merangkak perlahan, menyeret tubuhnya yang terikat ke arah sumber suara napas itu.
Pak Rio perlahan membuka matanya yang bengkak. Pandangannya kabur, kepalanya terasa seperti dihantam palu godam berulang kali. Namun, rasa sakit di fisiknya tidak sebanding dengan rasa sesak yang menghujam dadanya saat melihat bayangan samar putri tunggalnya wanita yang seharusnya ia lindungi kini meringkuk ketakutan dan hancur karena keputusannya di masa lalu.
"Ra... Rahayu..." suara Pak Rio serak, hampir tenggelam oleh cairan di tenggorokannya.
"Maafkan... Papa..."
Satu tetes air mata jatuh melintasi luka di pipi Pak Rio. Ingatannya kembali ke satu bulan lalu, saat ia dengan bangganya memperkenalkan Andika sebagai calon suami terbaik bagi Rahayu. Ia teringat bagaimana ia mengabaikan keraguan besar di mata Rahayu kala itu.
‘Bodoh! Aku adalah orang paling bodoh di dunia ini,’ batin Pak Rio menjerit. Ia yang selama ini dikenal sebagai singa bisnis yang tajam, ternyata telah membawa seekor serigala masuk ke dalam jantung rumahnya sendiri.
Ia tidak hanya memberikan harta, tapi ia menyerahkan nyawa dan kebahagiaan putrinya ke tangan seorang keluarga psikopat.
"Jangan minta maaf, Pa. Yang penting Papa bertahan. Kita harus keluar dari sini," isak Rahayu. Tangannya yang terikat akhirnya menyentuh lutut ayahnya yang gemetar.
"Tidak, Nak..." Pak Rio terbatuk, memuntahkan sisa darah.
"Papa udah salah menilai orang. Papa memberikanmu pada jeratan keluarga psikopat... karena kesombongan Papa yang merasa paling tahu apa yang terbaik untukmu. Seharusnya Papa mendengarkanmu... Seharusnya Papa melindungimu, bukan menjerumuskanmu ke neraka ini."
Rasa bersalah itu membakar jiwa Pak Rio lebih hebat dari rasa sakit di tulang rusuknya yang patah. Ia melihat tangan Rahayu yang memegang pulpen tadi tangan yang terpaksa menyerahkan segalanya demi nyawa seorang ayah yang gagal.
"Harta itu... biarlah hilang, Ra," bisik Pak Rio lagi, kali ini dengan nada yang penuh dendam yang baru menyala.
"Tapi Papa bersumpah... jika Papa bisa keluar dari gudang ini hidup-hidup, Papa sendiri yang akan mengirim mereka semua ke liang lahat. Andika, Citra... mereka tidak akan pernah tidur tenang."
Di balik kegelapan itu, sebuah transformasi terjadi. Pak Rio yang selama ini berpegang pada aturan dan martabat, kini kehilangan segalanya kecuali satu hal keinginan untuk membalas dendam demi putrinya. Namun Pak Rio sudah tidak sanggup lagi bertahan.
Hening yang tadinya mencekam seketika pecah oleh raungan histeris. Rahayu menjatuhkan kepalanya di atas pangkuan Pak Rio yang sudah tak lagi bergerak. Napas berat yang sedari tadi menjadi satu-satunya penanda kehidupan di ruangan itu telah hilang, digantikan oleh kesunyian abadi yang dingin.
"Papa! Bangun, Pa! Jangan tinggalkan Rahayu sendiri di sini!" teriak Rahayu dengan suara yang pecah.
Ia mengguncang bahu ayahnya yang mulai mendingin, mengabaikan rasa sakit pada pergelangan tangannya yang lecet akibat ikatan tali.
"PAPA!!"
Suara teriakan yang memekakkan telinga itu menggema ke seluruh penjuru gudang, menembus celah-celah pintu besi yang kokoh. Namun, bukannya mendapatkan pertolongan, suara itu justru mengundang langkah kaki yang ritmis dan santai dari arah tangga.
Kriet... BRAK!
Pintu besi itu terbuka lebar. Cahaya lampu
dari luar menyeruak masuk, menyilaukan mata Rahayu yang sembab. Dua bayangan berdiri tegak di sana, tampak kontras dengan kegelapan di dalam gudang.
"Aduh, berisik sekali sih, Sayang," suara lembut yang mematikan itu berasal dari Bu Citra. Ia melangkah masuk sambil mengibaskan kipas mahalnya, seolah-olah aroma amis darah di sana hanyalah bau parfum yang kurang sedap.
Andika berdiri di samping ibunya, merapikan kerah kemejanya yang licin. Senyum menyeringai menghiasi wajah tampannya yang kini terlihat seperti topeng iblis.
"Wah, lihat itu, Ma," Andika menunjuk ke arah tubuh kaku Pak Rio dengan ujung sepatunya yang mengkilap.
"Sepertinya 'Singa Bisnis' kita sudah menyerah. Akhirnya, dia berhenti bernapas juga."
"Kalian... kalian monster!" teriak Rahayu dengan mata menyala penuh kebencian.
"Kalian membunuhnya! Kalian menghancurkan segalanya!"
Bu Citra tertawa kecil, suara tawa yang terdengar sangat riang di tengah duka. Ia mendekat, lalu berjongkok di depan Rahayu, menjambak rambut menantunya itu agar mendongak menatapnya.
"Jangan menyalahkan kita, Rahayu manis," bisik Bu Citra dengan nada mengejek.
"Salahkan kesombongan papamu. Dia pikir dia bisa membeli kesetiaan kami dengan harta. Dia tidak tahu kalau kita tidak butuh 'pemberiannya'. Kita hanya perlu dia mati agar semua ini jatuh ke tangan kita secara utuh."
Andika melangkah maju, berlutut di samping ibunya dan menepuk pipi Pak Rio yang sudah pucat.
"Terima kasih untuk warisannya, Pa. Tenang saja, Rahayu akan aku 'jaga' dengan cara yang jauh lebih menyakitkan daripada ini."
Mereka berdua berdiri, saling berpandangan dengan binar mata yang penuh kemenangan. Di dalam gudang yang pengap itu, saat Rahayu hancur dalam duka, Andika dan Bu Citra justru merayakan kematian itu seolah-olah itu adalah hadiah terbaik yang pernah mereka terima.
Lalu Andika dan kelima preman membawa Rahayu ke sebuah tempat. Rahayu dimasukkan dan mulutnya dibekap di dalam bagasi mobil.
BEBERAPA JAM KEMUDIAN
Lampu neon yang berkedip di langit-langit villa tua itu memberikan suasana yang semakin mencekam. Rahayu dilemparkan ke lantai kayu yang dingin dan berdebu.
Tubuhnya sudah mati rasa, namun batinnya menjeritkan nama ayahnya berulang kali. Dendam itu kini bukan lagi sekadar bara, melainkan api yang menghanguskan seluruh rasa takutnya.
Andika melonggarkan dasinya, matanya berkilat menatap Rahayu yang terpuruk. Di belakangnya, lima preman bertubuh besar berdiri dengan seringai cabul dan tangan yang memegang berbagai bilah tajam serta botol cairan kimia.
"Jam dua dini hari, Rahayu. Waktu yang tepat untuk mengucapkan selamat tinggal pada dunia yang kejam ini," ujar Andika dingin.
"Tapi jangan khawatir, aku gak akan membiarkanmu mati dengan cepat. Itu terlalu membosankan."
Andika memberi isyarat kepada para preman itu. Salah satu dari mereka, yang paling besar dengan bekas luka di pipinya, maju sambil mengeluarkan sebilah pisau lipat.
"Bos, bolehkah kami bersenang-senang sedikit sebelum dia 'pergi'?" tanya preman itu dengan suara parau.
Andika tertawa, sebuah tawa yang terdengar sangat menjijikkan di telinga Rahayu.
"Silakan. Tapi jangan sampai wajahnya hancur dulu. Aku ingin dia melihat betapa tidak berdayanya dia di hadapanku sebelum napas terakhirnya."
Rahayu mencoba mundur, namun punggungnya membentur kaki meja kayu yang rapuh. Air matanya sudah kering, digantikan oleh tatapan kosong yang dalam.
Di dalam kepalanya, suara terakhir ayahnya bergema: “Papa sendiri yang akan mengirim mereka semua ke liang lahat.”
Papa... kalau Papa tidak bisa melakukannya, biarkan aku yang melakukannya, batin Rahayu.
Saat preman itu mendekat dan mulai merobek lengan bajunya, Rahayu tidak lagi berteriak. Ia hanya menatap kosong ke langit-langit villa dengan tatapan yang bisa membuat orang paling berani sekalipun merinding. Ia membiarkan kebencian itu meresap ke dalam sumsum tulangnya, mengubah kesedihan menjadi energi dendam yang dingin.
"Ayo, Rahayu! Menangis! Mohon padaku!" bentak Andika, merasa terganggu karena tidak melihat ketakutan yang ia harapkan.
Rahayu perlahan menoleh ke arah Andika. Sebuah senyum tipis sangat tipis dan mengerikan muncul di bibirnya yang pecah-pecah.
"Kamu pikir... ini akhir, Andika?" suara Rahayu terdengar sangat tenang, hampir seperti bisikan dari alam kubur.
Andika tersentak sesaat. Aura di ruangan itu tiba-tiba terasa jauh lebih dingin dari udara puncak yang menusuk. Namun, egonya menutupi rasa takut itu. Ia merampas pisau dari tangan premannya.
"Cukup omong kosongnya!" Andika menjambak rambut Rahayu dan menempelkan mata pisau yang dingin itu ke lehernya.
"Mari kita lihat apa kamu bisa bicara setelah pita suaramu terputus."
Tepat saat mata pisau itu mulai menekan kulit leher Rahayu, sebuah suara dentuman keras terdengar dari arah pintu depan villa tua, diikuti oleh suara langkah kaki yang terburu-buru dan teriakan yang tidak terduga.
BERSAMBUNG
jangan lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB🙏