Berry Aguelira adalah seorang wanita pembunuh bayaran yang sudah berumur 35 tahun.
Berry ingin pensiun dari pekerjaan gelap nya karena dia ingin menikmati sisa hidup nya untuk kegiatan normal. Seperti mencari kekasih dan menikah lalu hidup bahagia bersama anak-anak nya nanti.
Namun siapa sangka, keinginan sederhana nya itu harus hancur ketika musuh-musuh nya datang dan membunuh nya karena balas dendam.
Berry pun mati di tangan mereka tapi bukan nya mati dengan tenang. Wanita itu malah bertransmigrasi ke tubuh seorang anak SMA. Yang ternyata adalah seorang figuran dalam sebuah novel.
Berry pikir ini adalah kesempatan nya untuk menikmati hidup yang ia mau tapi sekali lagi ternyata dia salah. Tubuh figuran yang ia tempati ternyata memiliki banyak sekali masalah yang tidak dapat Berry bayangkan.
Apa yang harus dilakukan oleh seorang mantan pembunuh bayaran ditubuh seorang gadis SMA? Mampukah Berry menjalani hidup dengan baik atau malah menyerah??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilnaarifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Saat itu, Guntur menceritakan bagaimana penampilan gadis yang menyerang diri nya dan anggota Jupiter yang lain.
Secara detail karena itu Bagas dapat mengetahui seperti apa rupa Alice. Dia langsung mengenal Alice bahkan hanya
dengan sekali lihat dan Alice sendiri menyadari hal yang sama.
Aura yang di keluarkan Bagas berbeda dari murid-murid Lorence yang lain.
Dan dia langsung mendapat kan sinyal bahaya ketika mata nya bertemu dengan mata pemuda itu tadi. Tubuh nya segera melakukan penghindaran.
Bagas ingin menangkap tangan Alice, namun gadis itu melemparnya dengan kotak yang berisi serbuk cokelat bekas donat nya tadi.
Wajah Bagas seketika berubah warna menjadi cokelat, teman-teman nya juga terkejut melihat sikap Alice yang begitu berani dengan Bagas.
"Nggak usah macam-macam Lo, ini sekolah gue." Ucap Alice mengancam, gadis itu pun memelototi Bagas.
Enak sekali ingin menangkap diri nya, apa
pemuda itu tidak melihat situasi? Bagas menyodorkan tangannya pada pemuda yang memakai topi, dengan cepat pemuda itu memberikan sapu tangan untuk Bagas.
"Sesuai seperti yang di katakan sama anak buah gue, Lo gadis yang lincah." Ucap Bagas sambil mengelap muka nya dari serbuk cokelat.
Alice mendengus sinis, "Dan Lo, pemuda idiot." Umpat Alice kesal. Setelah mengatakan itu Alice tersenyum dan memberikan jari tengah nya pada Bagas, dengan cepat dia melarikan diri dari sana.
Bagas memperhatikan dalam diam ketika Alice berlari menjauh dari nya, tangan nya meremas kain yang ia pegang dengan kuat.
Dia ingin sekali memberikan pelajaran pada gadis itu, dia telah di permalukan secara langsung di depan anak buah nya. Harga diri nya tersentil.
"Lihat saja, Lo pasti bakalan gue dapat." Bisik Bagas dingin, dia melempar sapu tangan tadi pada si pemuda yang memakai topi.
Sebentar, waktu istirahat akan berakhir, dia harus mempersiapkan gadis-gadis sekolah nya.
Di sisi lain,
Alice masuk ke dalam ruang OSIS, itu tempat teraman yang dia tahu. Kebetulan ada Gama di dalam ruangan, pemuda itu seperti nya ingin keluar.
Terlihat dari tangan nya yang penuh dengan kertas-kertas. Gama terkejut melihat Alice yang tiba-tiba masuk ke ruangan OSIS, belum lagi keadaan gadis itu seperti baru saja di kejar mahluk.
"Lo kenapa?"Tanya nya heran. Gama meletakkan kembali barang bawaan nya dan mendekati Alice yang masih berdiri di depan pintu sambil menahan benda tersebut agar tidak ada yang masuk.
"Lo nggak akan percaya, gue tadi ketemu sama siapa!"Ucap Alice menggebu-gebu, ingat ya, dia bukan takut. Hanya tidak ingin menimbulkan keributan yang membuat nya terpaksa memperlihatkan keahlian nya, dalam hal membunuh.
Gama mendengus, dia menarik tangan gadis itu dari pintu.
"Malaikat maut?"Ucap Gama asal. Dia kembali membuka pintu dan segera terdengar Suara berisik dari luar.
Alice menatap kosong Gama, "Kok Lo bisa tahu?"Kata nya terkejut.
Gama terdiam dan menatap gadis itu aneh, ternyata benar-benar malaikat maut? Dia hanya asal sebut tadi.
"Yah, tidak secara spesifik sih..."Sambung Alice, dia mengusap tangan nya pelan.
"Ini ketua Jupiter, entah gimana cara nya,
dia bisa kenal sama gue, hahh..."
Gama mengerutkan kening nya, dia segera memeriksa keadaan Alice. Membalik tubuh gadis itu dan mengecek tangan dan kakinya.
"Apaan sih?"Tanya Alice bingung. Kepala nya pusing karena tubuh nya di putar-putar
oleh Gama.
"Lo nggak di apa-apain sama dia, kan?"Gama balik bertanya khawatir.
Alice segera menggelengkan kepala nya, "Enggak tapi hampir. Dia mau nangkap gue, tapi keburu gue lempar pakai kotak donat tadi." Jawab Alice merasa hebat.
Seharusnya, dia juga lempar pakai batu tadi ya. Gama menghela nafas lega ketika mendengar itu tapi mata nya menggelap. Berani sekali pemuda sialan itu ingin menyentuh Alice.
"Istirahat saja disini, gue mau keluar. Masih banyak yang harus gue kerjakan." Ucap Gama datar, dia berbalik dan mengambil kertas-kertas tadi.
Alice berjalan masuk, angan nya iseng melihat ini itu yang ada di atas meja.
"Kalau lapar, ada kulkas kecil di dalam ruangan gue, ambil aja cemilan nya." Lanjut pemuda itu lagi.
Alice berhenti setelah mendengar kata cemilan, hehe, dia memang tidak salah mencari tempat bersembunyi.
Dia berbalik dan segera memberi hormat pada Gama, pemuda itu menatap datar tingkah aneh Alice untuk kesekian kalinya.
"Tenang saja, ruangan Lo bakal aman di tangan gue." Kata gadis itu dengan posisi tubuh tegap.
Sudah seperti tentara saja, pikir Gama.
"Terserah." Balas Gama malas, dia pun berjalan keluar dari ruangan tersebut. Alice menatap pintu sebentar, dia berjalan dan ingin menutup nya tapi tiba-tiba Gama kembali muncul.
"Sialan!"Teriak Alice terkejut.
Dia memegang jantung nya yang berdegup kencang, kenapa sekarang dia jadi suka parno, ya?
Wajah Gama tidak berubah sama sekali, dia menatap gadis itu datar. "Jangan keluar, kecuali memang perlu." Ucapnya memperingati gadis itu.
Alice mengangguk malas, dia mengusir Gama dengan segera, "Cepat pergi sana."
Gama memutar mata malas, bagus sekarang dia yang di usir dari ruangan nya sendiri.
Pemuda itu pun kembali melanjutkan langkah nya menuju lapangan, tempat teman-teman OSIS lain nya menunggu. Alice dengan cepat menutup kembali pintu ruangan OSIS dan segera berbalik menuju ruangan Gama.
***
Setengah jam berlalu, tim Ruby memenangkan dua pertandingan putri melawan dua sekolah.
Setelah ini, sekolah Lorence akan bertanding dengan sekolah lain jika sekolah Lorence menang, maka tim Ruby akan bertanding melawan mereka.
Yang jadi masalah saat ini, mereka kekurangan pemain. Akibat dua pertandingan tadi, dua pemain nya cedera dan itu sudah termasuk pemain cadangan mereka.
Ruby cukup setres sekarang terlebih pertandingan lain sudah di mulai.
"Dimana kita mencari pemain pengganti?"Tanya Ruby dengan gelisah, dia sudah meminta bantuan pelatihnya namun pria itu mengatakan tidak ada pemain cadangan lagi. Mendengar itu, ingin sekali Ruby berteriak di depan pria tersebut.
Darrel melipat tangan nya sambil memperhatikan permainan dari sekolah Lorence.
Ternyata bukan hanya murid laki-laki yang suka bersikap bar-bar, murid perempuan mereka bahkan lebih mengerikan hanya saja permainan mereka lebih halus dan tidak terlihat jika tidak di perhatikan dengan detail.
Esa mengerutkan kening nya, saat salah satu pemain Lorence menabrak lawan nya dengan sengaja hingga terjatuh.
Dia melihat wasit dan tidak ada pelanggaran sama sekali.
"Ini gila." Ucap Esa kesal.
Noah mengangguk setuju, "Seperti biasa, bahkan sekolah kita kalah dari mereka dua tahun yang lalu." Timpal nya pahit.
Tubuh Ziva bergetar melihat cara bermain anak-anak Lorence, mereka unggul dengan cepat.
Bahkan sekolah lain tidak mencetak satu pun poin, dia sangat takut di sereng seperti itu oleh gadis-gadis mengerikan tersebut.
Ruby yang melihat itu menjadi tambah setres, bagus sekarang tim nya mendadak trauma bahkan sebelum pertandingan dimulai.
Ditri mengunyah cemilan nya sambil memutar otak, dia seperti mengingat seseorang yang cocok untuk menjadi pemain pengganti tim putri mereka.
"Gue punya ide." Ucap nya semangat, semua segera mengalihkan perhatian pada pemuda itu.
"Apa?"Kata Darrel.
Ditri sedikit ragu, dia melirik Ruby. "Gue nggak yakin ini ide yang bagus tapi hanya dia yang bisa membantu kita sekarang." Ucap pemuda itu mencoba tenang.
Esa memutar mata malas, "Cepat katakan, gue udah mulai muak lihat sekolah Lorence disini." Ujar nya sinis.
Ditri menelan makanan nya, "Ini Alice. Kalian nggak lupa kan, dia jago banget main basket? Bahkan, Ruby aja kalah dari dia." Ucap pemuda itu dengan cepat.
Semua nya terdiam mendengar itu, sedangkan Ruby, dia menatap Ditri dengan tajam seperti ingin menghancurkan kepala pemuda itu.
Ditri berpura-pura tidak melihat Ruby dan sibuk mengunyah makanan nya dengan wajah polos.
Mora merenung sebentar, "Meski gue benci sama gadis itu tapi saat ini memang hanya dia yang bisa bantu kita."
Saat ucapan itu keluar dari mulut Mora, Ziva ternganga.
"Gue akuin, dia memang hebat bermain basket. Dan cuman Alice yang bisa mengimbangi kegilaan anak-anak Lorence." Lanjut gadis itu lagi, setelah mengambil keputusan terberat dalam hidup nya.
Yaitu, memuji Alice.
"Pertanyaan nya, memang dia mau bantu kalian?"Ucap Noah tiba-tiba, Ditri menatap pemuda itu kesal.
Hei tolong, di saat-saat seperti ini jangan ada kata yang dapat membuat semangat para pemain turun. Noah bingung, dia salah apa memang nya?
Ziva menggaruk kepala nya yang tidak gatal,k "Benar sih, emang Alice mau bantu kita? Secara, dia dan Ruby sudah seperti musuh sekarang." Timpal nya mendadak ikut bingung.
Esa menipis kan bibir nya, "Minta bantuan Karla, gadis itu cukup dekat dengan Alice. Dan itu tugas Lo Darrel." Jedanya sesaat.
"Kalau Lo perduli sama tim basket kita." Lanjut nya sinis.
Disaat seperti ini, gadis yang sangat di hindari orang-orang bodoh ini lah yang dapat membantu mereka dari krisis.
Terkadang, sebaiknya tidak perlu bersikap terlalu berlebihan dalam menanggapi suatu hal.
Hanya saja, Darrel memiliki ego besar dan suka menganggap sepele perasaan orang lain, begitu juga dengan Ruby.
Ruby sedikit tidak senang dengan ide itu tapi, Esa menatapnya tajam. "Jangan egois, itu pun belum tentu Karla mau membantu kalian meski Darrel yang meminta bantuan nya."
Mulut Esa memang tidak bisa di lawan, pikir Ditri, Dia memberikan dua jempol pada pemuda itu karena berhasil membuat Darrel dan Ruby terdiam bodoh.
"Lebih baik kalian melakukannya sekarang, pertandingan akan selesai sebentar lagi." Ucap Noah datar.
Ruby menghela nafas pasrah, tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang. Darrel pun segera pergi mencari Karla dan di ikuti oleh teman-temannya.
Beberapa saat kemudian,
"Gue nggak bisa pastiin Alice bakalan mau ikut main bareng kalian." Ucap Karla dengan santai. Dia tadi sedang berjalan di sekitar stand makanan tapi tiba-tiba saja Darrel dan teman-teman nya datang menyerbu diri nya.
"Lo bisa bujuk dia kan? Gue butuh banget bantuan lo, sekolah kita juga." Ujar Darrel
pelan, Karla menatap pemuda itu dengan jijik.
"Nggak usah berlebihan, gue malah muak
lihat Lo kayak gini." Ucap gadis itu dengan sinis.
Darrel terdiam, Esa terkekeh melihat itu, mampus, pikir nya sarkas.
"Alice tidak terlihat sejak pagi, gue sempat ngajak dia buat nonton pertandingan nya. Tapi gadis itu tidak mau." Lanjut Karla lagi.
Semua nya semakin rumit jadinya, "Lo nggak tahu, dimana dia sekarang?"Tanya Noah penasaran.
Karla menggeleng, "Biasa nya dia ada di kelas tapi tadi gue cari kesana. Tuh anak malah nggak ada." Jawab Karla sambil mengangkat bahu nya acuh.
Disini sangat panas, bodoh nya mereka malah berdiskusi di tengah-tengah jalan. Yang mana, mereka di lewat oleh banyak murid.
"Kita mau nyari dia kemana lagi?"Tanya Ditri lemah, dia sungguh lelah dengan segala drama ini.
Hati nya mengutuk sekolah Lorence yang sangat suka membuat masalah bagi sekolah nya.
Mereka merenung sebentar bersama, memikirkan tentang bagaimana cara menemukan Alice disaat genting seperti ini.
"Kalian ngapain?"Tanya sebuah suara yang terdengar bingung dari samping.
Karla melirik sekilas, "Oh, kita lagi nyari
Alice." Jawab nya asal, dan kembali berpikir.
"Nyari Alice? Gue gitu maksud Lo?"Tanya suara itu lagi tambah kebingungan.
Semua segera mengalihkan perhatian nya pada sumber suara.
^^
tp yg baca ko dikit y..
yooo ramaikan hahhlah