Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta yang tak terbalas
Di dalam mobil saat perjalanan pulang, suasana agak hening. Melisa mulai mengantuk di kursi depan, meninggalkan Lily yang duduk di belakang bersama pikirannya sendiri. Ezra menatap Lily dari kaca spion dan bertanya dengan nada lembut, "Kamu baik-baik aja, Lil? Kelihatannya capek banget."
Lily hanya tersenyum tipis. "Iya, aku baik-baik aja. Mungkin cuma kecapekan."
"Kalau ada apa-apa, bilang aja ya. Kamu nggak harus tanggung semuanya sendiri."
Lily menunduk, merasa kembali terjebak dalam kebingungan hatinya. Kata-kata Ezra terus terngiang-ngiang di benaknya, membuatnya bertanya-tanya apakah perhatian Ezra hanya sekadar kepedulian sebagai teman, atau ada makna lain di baliknya.
Begitu sampai di rumah, Lily merasa lega akhirnya bisa kembali ke kamarnya yang nyaman. Tapi ketika ia duduk di atas ranjang, memandangi jendela yang mengarah ke rumah Melisa, perasaan itu kembali menyergap. Ia tidak bisa mengelak, semakin sulit untuk menjaga jarak dari Ezra.
Lily tahu bahwa ini bukan hal yang sederhana. Ia menyukai Ezra lebih dari yang ia ingin akui, namun Melisa sudah mengingatkannya bahwa Ezra selalu bersikap baik pada semua orang. Ditambah lagi, masih ada Nadia—wanita yang seolah-olah memiliki hubungan dekat dengan Ezra, meskipun status mereka masih belum jelas.
"Harus gimana aku bisa terus menahan perasaan ini?" gumam Lily pelan, sebelum akhirnya memejamkan mata, berharap bisa menyingkirkan kebingungan hatinya setidaknya untuk malam itu.
***
Nadia duduk di mejanya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Hari itu terasa berbeda. Dia sudah memikirkan hal ini selama berminggu-minggu, bahkan mungkin bertahun-tahun sejak pertama kali bertemu dengan Ezra. Sejak awal, Ezra selalu memperlakukannya dengan penuh perhatian dan kesopanan, membuat Nadia jatuh hati padanya. Mereka bekerja di kantor yang sama, sering menghabiskan waktu bersama, baik di dalam maupun di luar kantor. Nadia selalu merasa ada sesuatu di antara mereka sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.
Namun, selama ini, Ezra tidak pernah memberikan isyarat bahwa ia memiliki perasaan yang sama. Sebaliknya, dia selalu menunjukkan sikap yang sama kepada semua orang ramah, perhatian, tapi tetap menjaga jarak. Nadia tahu bahwa Ezra tidak mudah didekati dalam urusan asmara, tetapi hari ini ia memutuskan untuk mengambil risiko.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya lebih awal, Nadia berjalan menuju meja Ezra dengan hati berdebar. Ia melihatnya sedang fokus menatap layar laptop, terlihat tenang dan tidak menyadari kehadirannya.
"Ezra," panggil Nadia pelan, suaranya agak gemetar.
Ezra menoleh dan tersenyum, seperti biasa. "Eh, Nad! Ada apa?"
Nadia merasa dadanya semakin sesak. Ia mencoba tersenyum kembali, meski dalam hati merasa gugup. "Bisa kita bicara sebentar? Ada sesuatu yang aku mau omongin."
Ezra mengerutkan kening, tapi mengangguk. "Tentu, ayo duduk di kafe bawah aja. Sekalian ngopi."
Mereka berdua turun ke kafe di lantai bawah kantor. Ezra memesan kopi hitam seperti biasa, sementara Nadia hanya memesan air putih—dia tidak punya selera untuk yang lain. Setelah duduk, Nadia merasa keraguan mulai menghantuinya. Namun, dia sudah memutuskan, dan tidak bisa mundur lagi.
"Ezra..." Nadia membuka percakapan setelah beberapa saat hening. Ezra memandangnya dengan tatapan hangat, seperti biasa.
"Aku mau jujur sama kamu," lanjut Nadia dengan suara yang mulai gemetar. "Aku... aku suka sama kamu. Sejak lama. Aku selalu merasa nyaman saat bersama kamu, dan aku berharap perasaan ini bisa lebih dari sekadar teman."
Ezra terdiam sejenak. Ekspresinya berubah serius, namun tetap tenang. Ia menatap mata Nadia dengan penuh empati, tapi tidak ada kegembiraan atau antusiasme di sana. Setelah beberapa saat, Ezra menarik napas panjang.
"Nadia..." Ezra memulai, suaranya lembut namun tegas. "Kamu orang yang luar biasa, dan aku sangat menghargai perasaan kamu. Tapi aku tidak bisa membalas perasaan itu."
Nadia tertegun. Jantungnya serasa berhenti berdetak sesaat. Ia tahu bahwa ini mungkin saja terjadi, namun mendengarnya langsung dari Ezra terasa jauh lebih menyakitkan daripada yang ia bayangkan.
"Kenapa?" tanyanya, suaranya hampir berbisik. "Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"
Ezra menggeleng pelan, wajahnya penuh dengan rasa penyesalan. "Bukan karena kamu. Ini bukan soal apa yang kamu lakukan atau siapa kamu. Aku cuma... aku nggak punya perasaan romantis sama kamu. Kamu adalah teman baikku, dan aku ingin hubungan kita tetap seperti itu. Aku nggak mau memberi harapan palsu atau membuat semuanya jadi rumit."
Nadia merasa air matanya mulai menggenang, tapi ia mencoba menahan diri agar tidak menangis di depan Ezra. Ia sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan ini, namun rasanya tetap sulit diterima.
"Jadi... kita tetap cuma teman?" tanyanya dengan suara lirih.
Ezra mengangguk. "Aku harap begitu. Aku nggak mau kehilangan kamu sebagai teman, Nadia. Kamu sangat berarti buat aku, tapi tidak dengan cara yang kamu harapkan."
Nadia menunduk, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang ia rasakan. Ia ingin marah, tapi ia tahu Ezra jujur dan tidak pernah mencoba memanfaatkannya. Itu membuatnya semakin sulit untuk membenci situasi ini.
"Baiklah," jawab Nadia akhirnya, meski hatinya terasa hancur. "Aku ngerti, Ezra. Terima kasih sudah jujur sama aku."
Ezra menatap Nadia dengan penuh penyesalan, tapi ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang tepat. "Maaf, Nad. Aku benar-benar nggak ingin melukai kamu."
Nadia tersenyum lemah. "Kamu nggak perlu minta maaf. Aku yang seharusnya terima kenyataan ini."
Setelah pertemuan itu, mereka berdua duduk dalam hening untuk beberapa saat. Meskipun Nadia berusaha tersenyum dan bertingkah biasa, ada jarak yang tidak bisa ia hilangkan. Ia tahu bahwa hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi setelah pengakuan ini. Meski Ezra berusaha mempertahankan pertemanan, Nadia butuh waktu untuk menyembuhkan hatinya yang terluka.
Ketika mereka akhirnya berpisah di depan gedung kantor, Nadia berjalan pulang dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena akhirnya mengungkapkan perasaannya, tetapi di sisi lain, ia merasa hancur karena cinta yang selama ini ia pendam ternyata bertepuk sebelah tangan.
Namun, ia tahu bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Ia harus belajar menerima kenyataan dan mungkin, seiring waktu, perasaan itu akan memudar. Nadia bertekad untuk tetap kuat, meskipun untuk saat ini, hatinya terasa berat dan perih.
Sementara itu, Ezra berjalan kembali ke mobilnya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa Nadia pasti terluka, dan itu membuatnya merasa bersalah. Namun, ia juga sadar bahwa kejujurannya adalah pilihan terbaik. Perasaan dan hubungan tidak bisa dipaksakan, dan ia tidak ingin memberikan harapan yang tidak bisa ia penuhi.
Malam itu, Ezra teringat kembali pada pertemuannya dengan Lily. Meskipun ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, Lily terus muncul dalam pikirannya. Mungkin karena perhatian yang ia berikan padanya, atau mungkin ada sesuatu yang lebih dalam dirinya terhadap gadis itu, sesuatu yang belum ia sadari sepenuhnya.
Lily cpt move on syg, jgn brlarut larut dlm kesdihan bgkitlh fokus dgn kuliamu. aku do'akn smoga secepatnya tuhan mngirim laki" yg mncintai kmu dgn tulus. up lgi thor byk" 😍💪