NovelToon NovelToon
Black Parade

Black Parade

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Horror Thriller-Horror / Identitas Tersembunyi / Kutukan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Dendam Kesumat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Sad Rocinante

Nb : konten sensitif untuk usia 18 tahun ke atas !

Parade Hitam, wabah Menari.
Kisah kelam dalam hidup dan musik.
Tentang hati seorang anak manusia,
mencintai tapi membenci diri sendiri.
Sebuah kisah gambaran dunia yang berantakan ketika adanya larangan akan musik dan terjadinya wabah menari yang menewaskan banyak orang.

------------------------------------------------

Menceritakan tentang Psikopat Bisu yg mampu merasakan bentuk, aroma, bahkan rasa dari suatu bunyi maupun suara.

Dia adalah pribadi yang sangat mencintai musik, mencintai suara kerikil bergesekan, kayu terbakar, angin berhembus, air tenang, bahkan tembok bangunan tua.

Namun, sangat membenci satu hal.
Yaitu, "SUARA UMAT MANUSIA"

------------------------------------------------

Apa kau tahu usus Manusia bisa menghasilkan suara?
Apa kau tahu kulitnya bisa jadi seni indah?
Apa kau tahu rasa manis dari lemak dan ototnya?
Apa kau tahu yang belum kau tahu?
Hahahaha...

Apakah kau tetap mau menari bersamaku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sad Rocinante, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian III - The Secret.

Sudah empat jam Nyonya Way dan putranya tertidur nyeyak di dalam kereta kuda, tak sadar telah sampai di Kota Malisande.

Minette berbisik, "Maaf, Nyonya. Kita telah sampai."

Hmm ....

"Tolong berhenti di pasar sebentar, Minette. Saya ingin membeli buah tangan bagi Pendeta dan Istrinya." pinta Nyonya Way membuka sebelah matanya dan kembali tertidur.

"Baik, Nyonya. Pak Kusir, tolong berhenti sebantar di depan pasar!"

"Baik, Nona."

Kereta pun diarahkan sedikit ke utara, di mana pasar terbesar di kota sedang berlangsung.

"Telah sampai, Nona," ujar Sang Kusir.

"Baik. Nyonya, kita telah sampai."

Hmm ....

"Kalau begitu segera belikan sepatu dan gaun paling mahal seperti ukuran yang biasanya, serta belikan juga manisan dan buah-buahan." Nyonya Way mengipasi putranya yang masih tertidur pulas.

"Baik, Nyonya. Izinkanlah saya membawa seorang pengawal, Nyonya, untuk membantu saya membawakan barang."

"Ya, tentu. Bawa saja dua orang atau berapapun yang engkau inginkan."

"Terimakasih, Nyonya, kalau begitu saya akan membawa dua pengawal saja, karena menjaga keselamatan Nyonya dan Tuan muda adalah yang utama."

"Baiklah, terserah kau saja, Minette. Pergilah!"

"Baik, Nyonya." Minette membungkuk hormat. "Kami permisi sebentar, Nyonya," pamit Minette menuju ke arah pasar.

Tanpa memandang mereka, Nyonya menjawab, "Ya, silahkan."

Selagi Minette pergi berbelanja, Nyonya Way yang masih mengipasi putranya dengan lembut, melihat angin yang berhembus di antara rambut dan bulu mata putranya Lambat laun menumbuhkan prasangka bahwa dunia makin sempit saja, air mata menetes tak terasa, sesak membungkam paru-parunya.

Nyonya Way berbisik pelan, agar putranya tidak terbangun. "Kau sudah besar, putraku, aku sungguh egois terhadapmu dan terhadap hidupku sendiri. Tolong, tolong maafkan lah aku, anakku." Air matanya terus menetes. "Tapi, aku berjanji kepadamu dan kepada semesta untuk selalu melindungimu, bahkan menipu Tuhan pun bukanlah masalah bagiku. Aku berjanji, anakku."

Nyonya Way dengan terburu-buru menyeka air matanya karena Hutton telah terbangun.

"Kenapa engkau menangis, Mama?" tanya Hutton sembari memperbaiki posisi duduknya.

"Kau sudah terbangun, Nak? Tidak, tidak apa-apa, hanya debu saja," sangkal Nyonya Way, menenangkan Hutton.

"Oh ..., aku kira ada apa-apa."

"Tidak, tidak perlu kamu menghawatirkan Mama, Nak, mari Mama kipasi wajahmu karena kamu pasti sangat gerah, bukan?" ujar Nyonya Way yang langsung mencium kening Hutton.

"Terimakasih, Mama. Oh ya, kita sudah dimana?"

"Kita sudah di Kota Malisande, Nak, sebentar lagi kita sampai. Hanya menunggu Minette saja pulang dari membeli hadiah dari pasar, selanjutnya kita akan melanjutkan perjalanan dan akan segera tiba, Nak."

"Oh begitu, apakah nanti aku bisa keluar juga bersamamu, Mama?"

"Maaf, sayang, kamu belum bisa keluar bersama Mama. Kamu tinggal saja di kereta untuk sebentar ya ... nanti Minette akan menemanimu serta dia juga telah membawakan manisan dan buah, kamu makan saja nanti ya, anakku," bujuk Nyonya Way merayu.

"Kenapa, Mama? Kenapa aku harus selalu sembunyi?" tanya Hutton menyilangkan tangannya merasa kesal.

Merayu: Nyonya Way dengan menciumi Hutton. "Bukan begitu, Nak, jangan bersedih, ini hanya sampai tiba saatnya, jika segalanya telah selesai, kamu bisa pergi kemanapun sesuka hatimu."

"Baiklah, Mama."

Dalam pembicaraan mereka terlihat bahwa Nyonya Way sangat menyayangi putranya, dan dia menyembunyikan keberadaan putranya karena suatu alasan rahasia, yang pasti itu semua demi melindungi keselamatan putra tercintanya itu.

"Permisi, Nyonya, kami telah kembali." Nampak Minette dan pengawal sedang menunduk hormat di luar kereta.

"Ya, silahkan masuk, Minette."

"Terimakasih, Nyonya."

"Cepat kita langsung saja berangkat!" perintah Nyonya Way sembari menutup kipasnya.

"Baik, Nyonya. Pak Kusir, segera jalankan kereta!"

"Baik, Nona." Pak Kusir mengibaskan tali dan kereta pun kembali berjalan.

Hanya berjarak sekitar 20 menit, mereka telah tiba di depan gerbang Panti asuhan: Dupless John Home. Keadaan di luar panti nampak sepi dan muram seperti biasanya.

"Kita sudah sampai, Nyonya." Para Pengawal membuka pintu kereta.

"Baik, mari kita masuk, Pengawal."

"Baik, Nyonya."

"Perhatikan langkah Anda, Nyonya." ujar pengawal yang membukakan pintu, memberikan tangannya sebagai pegangan.

Melihat penawaran murahan itu, Nyonya jengkel bukan main.

"Tidak perlu! Lancang sekali kamu, wahai kamu yang rendah. Tanganmu tidak pantas menyentuh saya," tepisnya sinis.

Pengawal yang ketakutan langsung bersujud sampai kepalanya terpukul ke tanah. "Ma-maafkan hamba, Nyonya. Hamba tidak akan melakukannya lagi!"

"Sudah-sudah, menyingkirlah dari jalanku, dasar pengawal kotor!" sembur Nyonya Way, marah.

"Baik, Nyonya, maafkan saya."

Pengawal itu dengan cepat menyingkirkan dirinya untuk mengikuti pengawal lain berjalan di belakang Nyonya Way.

"Dasar!" hardik Nyonya. "Apakah harus saya yang membuka gerbangnya?" sindirnya lagi.

"Ma-maaf, Nyonya."

Salah seorang pengawal dengan sigap berlari untuk membuka gerbang serta membunyikan bell di depan pintu Dupless John.

Tingg ....

"Permisi ..., Nyonya Frances Pazzi Way, Duke dari Kota Geneva datang berkunjung, tolong buka pintunya. Permisi ...."

Sesaat setelah panggilan itu, terdengar suara teriakan dari dalam ruangan.

"Emilie ..., Emilie ..., cepat buka pintunya, lihat siapa yang datang!" teriak Madam Brielle dengan suara kerasnya yang khas—berdahak.

"Baik, Madam ...."

Emilie membuka pintu dan sedikit terkaget akan kedatangan tamu mereka, tamu yang merupakan orang penting yang sedari kemarin dibicarakan oleh Madam Brielle.

"Wah, selamat datang Nyonya Way yang terhormat. Madam ..., Nyonya Way datang berkunjung," teriak Emilie berusaha ramah.

Madam Brielle yang mendengarnya langsung berusaha bangkit dari kursinya dan hampir saja terjungkal ke belakang.

"Wah, senang rasanya jika panti asuhan sederhana kita ini didatangi oleh bangsawan secantik dan seterkenal Nyonya Way. Mari, mari masuk. Emilie ..., Emilie ..., cepat persilahkan tamu terhormat kita masuk."

"Baik, Madam. Mari, silahkan masuk Nyonya dan para tuan-tuan sekalian," ajak Emilie dengan senyum ramahnya yang terlatih.

Nyonya Way menjawab ketus, "Baik, terimakasih."

"Mari kita ke ruang tamu saja, Nyonya." Madam Brielle mempersilahkan tamunya dengan senyum berlemaknya. Berjalan memukul-mukul tongkat.

"Ya, mari, Madam."

Nyonya Way mengibaskan kipasnya untuk menghindari kepengapan dan bau keju busuk dari badan Madam Brielle, serta suara lemaknya yang sangat mengganggu itu.

"Silahkan duduk, Nyonya."

"Ya, terimakasih. Anda juga silahkan lah duduk, Madam Brielle."

"Baik, Nyonya Way." Madam merabah lengan kursi untuk memastikan kedudukannya.

Krekk ....

Si Gendut Brielle menimpa kursi dengan bokongnya yang besar.

Uhh ....

Dengan suara yang di usahakan seramah mungkin, Madam Brielle memanggil Emilie.

"Emilie ..., cepat panggilkan Bapa Pendeta dan antarkan makanannya kemari untuk tamu tercinta kita ini!"

"Baik, Madam ...."

"Tidak perlu repot-repot, Madam, saya hanya datang untuk berbisnis." Nyonya Way masih saja mengibaskan kipasnya.

"Oh ..., sama sekali tidak merepotkan, Nyonya, sudah sewajarnya tuan rumah melakukan hal seperti itu, apalagi terhadap tamu spesial seperti Anda."

Nyonya Way terlihat lebih serius. "Terserah Anda saja, Madam, yang pasti saya ingin mendapatkan manisan yang terbaik serta pengirimannya juga teratur. Saya tidak perduli dengan harganya, karena saya harus jadi May Quuen tahun ini lagi," potongnya.

"Ya, ya, tentu saja saya tahu pasti maksud dari kedatangan Anda. Saya juga hanya berusaha basa-basi layaknya seorang pedagang dengan pelanggannya, bukankah bisnis seharusnya begitu, Nyonya? hahaha ...." Madam Brielle memenuhi seisi ruangan dengan suara tawa berbaunya.

"Ya, memang begitulah seharusnya, dan saya sebagai pelanggan juga telah membawakan buah tangan untuk Anda dan Pendeta: seperti pelanggan yang seharusnya, bukankah begitu Madam?" sindir Nyonya Way kembali menghardik suara tawa Madam Brielle yang sangat mengganggu.

"Wah ..., terimakasih banyak, Nyonya Way, itulah yang membuat berbisnis dengan Anda merupakan hal yang menyenangkan, hahaha ...."

Selagi suara tawa Madam Brielle bergema lagi dan lagi, suara langkah kaki terdengar dari dalam pintu ruangan gelap.

Tak ... tuk ... tak ... tuk ....

"Shalom, Nyonya Way, yang terkasih. Tuhan beserta engkau!" sapa Bapa John yang datang bersama Emilie.

"Shalom, Bapa. Tuhan beserta engkah juga," Nyonya Way dan para pengawal turut memberi salam.

"Maaf jika saya telah membuat Anda lama menunggu, Nyonya."

"Oh, tidak perlu meminta maaf begitu, Bapa. Madam Brielle telah menjamu tamunya dengan sangat baik."

"Ayo, Emilie, letakkan suguhan sederhana kita agar tamu kita bisa menikmatinya."

"Baik, Bapa. Silahkan dinikmati, Nyonya dan Tuan-tuan sekalian." Emilie meletakkan keju camembert beserta menuangkan teh ke gelas Bapa dan para tamunya.

Merasa tidak tahan lagi berada di ruangan pengap bersama orang-orang berbau, membuat Nyonya Way segera memotong segala tetek bengek dan remeh temeh yang dilontarkan Bapa Pendeta dan Istrinya.

"Maaf, Bapa Pendeta, lebih baik kita kesampingkan dulu semua ini. Mari kita langsung saja ke pokok permasalahannya saja," lontarnya tegas.

"Wah ..., jiwa pebisnis dan orang sibuk memang berbeda, ya. Nyonya Way yang terkasih!" celetuk Bapa John.

"Baik, baiklah, mari kita langsung saja memulai transaksinya, serta bagi yang tidak berkepentingan silahkan meninggalkan ruangan. Bukankah begitu, Nyonya Way?" ujar Bapa John yang menatap halus ke arah para pengawal.

"Ya, tentu saja. Pengawal dan Nona Emilie, silahkan meninggalkan ruangan!" pinta Nyonya Way ketus.

"Baik, Nyonya."

Emilie dan para Pengawal pergi meninggalkan ruangan, sementara Nyonya Way dan Bapa John serta istrinya memulai pembicaraan rahasia mereka.

Lepas hampir satu jam pembicaraan, nampaknya transaksi telah mencapai kesepakatan yang baik. Bapa John, Madam Brielle serta Nyonya Way berjalan ke luar dari ruangan bersama wajah sumringah mereka.

"Tenang saja, Nyonya, segala hal akan berjalan lancar asalkan bayaran sesuai kesepakatan. Susu, madu, mentega, dan keju yang anda inginkan akan tersedia dengan kualitas terbaik. Mari kita melihat-lihat dulu ruangan anak-anak untuk menghilangkan kejenuhan Anda, Nyonya." bujuk rayu Bapa John dan istrinya kepada Nyonya Way selagi mereka berjalan menuju ruangan anak-anak.

Bapa John melanjutkan, "Nah ..., ini ruangan para bayi, Nyonya, semuanya nampak sehat dan kenyang minum bukan?"

"Ya, semuanya menggemaskan, saya suka." Nyonya tampak sumringah, telah terlepas dari sesaknya ruangan tadi.

"Selanjutnya yang di sana adalah ruangan mentega dan ruangan keju, tetapi mereka sedang bekerja sehingga tidak ada di ruangan masing-masing. Tapi jangan bersedih, mari kita keruangan spesial, yaitu ruangan anak-anak manis." Senyum di wajah Bapa John seperti menggambarkan sesuatu.

"Ya, mari kita kesana," jawab Nyonya Way merubah suasana wajahnya menjadi serius lagi.

Sesampainya di ruangan madu, Emilie yang berdiri di depan pintu menyapa mereka dengan senyuman, mempersilahkan Nyonya Way untuk masuk menemui anak-anak.

Suara langkah kaki dan kibasan kipas dari tangan Nyonya Way nampak telah diketahui juga oleh Mercury. Sewaktu Nyonya Way masuk ke dalam ruangan dan menunjukkan wajahnya, Mercury dengan lancang memberikan tatapan penuh arti dan senyum hangat palsu.

Dari sekian banyak anak yang Nyonya Way lihat, alam semesta seperti memaksanya terkagum akan keindahan mata biru Mercury: berkilau dan cemerlang.

Dia menyukainya karena semua hal yang berkilau adalah emas dan harus dia dapatkan.

Semakin dalam tatapannya, semakin terjatuh pula Nyonya Way dalam palung keheningan, suara bising anak-anak yang sedari tadi mengagumi kecantikannya dengan sekejap menjadi tak terdengar sedikit pun, alam semesta diam membeku akan satu titik tatapan biru.

Nyonya, Nyonya Way ....

Suara panggilan Emilie mengaketkan Nyonya Way dari hayalan semunya.

"Oh ..., ya, ada apa, Nona Emilie?" Nyonya nampak kebingungan.

Emilie menunduk ragu. "Maaf, Nyonya, kenapa anda terdiam?"

"Oh, tidak, saya hanya mengagumi anak-anak manis ini, dan siapakah anak lelaki bermata biru itu, Nona?" balas Nyonya Way.

Mendengar pertanyaan itu membuat Emilie sedikit terguncang, tetapi karena yang bertanya adalah pelanggan sepenting Nyonya Way, Emilie mencoba tenang dan bersikap normal.

"Anak itu bernama Mercury Saint-yosep, dia adalah anak yang bisu dengan penyakit cacar, Nyonya."

Mendengar penjelasan Emilie membuat Nyonya Way terbelalak seperti mendapati ilham berupa jalan keluar dari masalahnya.

"Kalau begitu, silahkan dilanjutkan menyapa anak-anak, Nyonya," lanjut Emilie menawarkan.

"Tidak perlu lagi, maaf saya baru ingat jikalau saya masih punya urusan lain bersama Bapa Pendeta," tepis Nyonya Way, keluar dari ruangan madu dengan wajah penuh ambisi, meninggalkan kebisingan suara anak-anak.

"Bapa John dan Madam Brielle, mari berbicara sebentar," ajak Nyonya Way mengarahkan ke sudut bangunan.

Bapa John setengah penasaran. "Ada apa, Nyonya? Apakah Anda telah menemukan pilihan Anda?"

"Ya, saya menginginkan si mata biru itu," tegas Nyonya Way.

"Si mata biru? Hmm ..., apakah Anda yakin?" Bapa john merasa itu pilihan buruk. "Saya tahu waktunya sudah dekat dan Anda tidak ingin kehilangan orang yang anda kasihi, tetapi alangkah baiknya memilih yang lebih baik wahai Nyonya," lanjutnya.

"Tidak, dari sekian lama saya mencari anak untuk diangkat, dialah yang paling sempurna untuk keinginan saya. Saya mohon jangan mengatakan hal lain lagi, Bapa John!" Nyonya Way mendesak.

"Baiklah, saya paham betul akan keinginan Nyonya, mari kita ke depan untuk membicarakannya, Nyonya."

"Baik." Nyonya Way tersenyum puas.

Setelah melewati beberapa kesepakatan, Nyonya Way yang tampak bahagia berpamitan dengan Bapa John dan Istrinya, serta memberikan bayaran sekantongan besar berisi kepingan franc.

"Terimakasih banyak atas kerja sama yang memuaskan ini, Bapa, dan untuk barang manisannya kirimkan saja ketika parade hitam ke tempat perjamuan kita."

"Sama-sama, Nyonya Way, Anda tenang saja, pelanggan adalah rajanya," jawab Bapa Joh dengan senyum sumringah.

"Baik, sampai jumpa lagi, Bapa John dan Madam Brielle."

"Sampai jumpa, Nyonya, Tuhan beserta engkau."

Nyonya Way memerintahkan pengawalnya untuk menjemput anak bermata biru dari ruangan madu.

"Segera bawa dan masukkan dia ke kereta kuda kalian, lakukan dengan cepat agar kita segera kembali."

"Baik, Nyonya."

Para pengawal menjemput Mercury dari ruangannya, walaupun merasa sedikit jijik, mereka menggendong mercury dengan sangat hati-hati seperti perintah dari Nyonya Way.

Anak-anak yang melihatnya merasa kebingungan sekaligus bahagia akan kepergian si anak monster untuk selamanya.

Sementara itu, Nyonya Way yang telah menaiki kereta nampak bahagia, kebahagiaan itu menghadirkan rasa ingin tahu yang besar di benak Minette, tetapi karena mengganggu keadaan hati Nyonya Way adalah pilihan yang kurang bijak, Minette memilih untuk menghiraukan rasa penasarannya serta tidak baik menimbulkan suara yang akan membangunkan Tuan muda Hutton dari tidurnya.

Saya senang sekali hari ini.

Kereta kuda dipacu menuju arah pulang, membawa Nyonya Way yang sedang gembira, dan menjemput Mercury yang tersenyum senang akan keberhasilannya keluar dari panti asuhan bodoh itu.

Sepertinya Mercury telah mendengar segalanya, dari bisikan-bisikan angin, ia mendapatkan apa yang dia mau. Rahasia Nyonya Way dan Panti asuhan Dupless, serta segala perbuatan mereka telah bocor ke telinga orang yang salah.

1
Sulis Tiani Lubis
negeri yang dibalik?
SAD MASQUITO: gimana? hahaha
total 1 replies
L'oreal ia
jadi bacaan cewek cocok, apalagi cowok.
pokoknya netral dah, baru kali ini ketemu novel klasik kayak novel terjemahan aja
Gregorius
thor, Lo gila kayak pas nulis ini
Anonymous
lupa waktu jadinya
hopitt
alur cerita penuh warna, tidak monoton, naik turun kayak mood gw wkwk
Kyo Miyamizu
cerita ini bikin segala macam perasaan muncul, dari senang sampai sedih. Gila!
SAD MASQUITO: terima kasih kawan atas kesediaannya membaca novel saya
SAD MASQUITO: terima kasih kawan atas kesediaannya membaca novel saya
total 2 replies
AmanteDelYaoi:3
Mendebarkan! 😮
SAD MASQUITO: terimakasih banyak, kakak pembaca pertama saya, akan saya ingat.
izin screenshot ya kak 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!