Kisah dua orang sahabat Mikhail dan Ashenda yang 'laksana bayangan' antara satu dan lainnya tak bisa terpisahkan. Namun orang bijak pernah berkata, tidak akan menjadi sahabat antara laki-laki dan perempuan melainkan akan tumbuh rasa yang lain, karena telah terlanjur merasa nyaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yunita Karim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Kartu Undangan
Bab 26.
.
" Udah selesai simulasinya?." Tanya Mikhail, ia langsung mengambil tempat di sisi Ashen yang menggolerkan kepalanya di atas meja.
" Udah." Jawab Ashen singkat dan hanya sekilas saja ia memandang ke arah Mikhail.
" Syukur kalo udah. Lo kenapa? Pusing?." Tanya Mikhail dengan lembut sambil mengusap kepala Ashen.
" Iya. Pusing mikirin suami yang asyik digodain sama cewek lain." Sahut Ashen sambil mendelik sewot ke arah Mikhail.
" Hmm ... Ngaco ah! Mana ada cewek yang berani godain gue. Mereka gak berani kok sama lo. Takut dilabrak." Mikhail masih sempatnya mencandai Ashen yang sedang dalam mode serius parah.
" Terus itu si Maura, berani banget dia godain kakak kelas. Dasar mura_han." Gumam Ashen dengan wajah kesal.
Mikhail menghela nafas panjang, sadar kini telah memiliki sistem spionase yang handal di belakangnya sejak menjadi seorang suami.
" Segitu cintanya ya sama gue, sampe bela-belain ngikutin gue diem-diem." Lagi-lagi Mikhail menggoda Ashen.
Ashen membuang muka. Ngambeg. Tapi Mikhail justru jadi geregetan melihat tingkah Ashen yang menampakkan sebuah kecemburuan yang tak terbendung. Meskipun Ashen seringkali bersikap cuek, sinis, bahkan kasar terhadapnya, itu semata-mata karena emosinya yang tidak bisa dikendalikan karena faktor hormonal. Namun jauh di lubuk hati Ashen menyimpan sebuah cinta yang agung untuk Mikhail.
" Ehem, senengnya yang udah balikan. Gue udah kayak lagi nonton drama romantis gitu. Ikutan baper deh." Marylin yang masih jomblo ikutan berkomentar. Ia betul-betul merasa iri terhadap pasangan itu yang romantis abis walaupun kadang diwarnai oleh berantem-berantem kecil.
" Sewot lo ah. Buruan cari cowok makanya." Ashen nyeletuk sambil mengangkat wajahnya.
" Belum ada yang cocok, shen. Lo sih enak sekali pacaran langsung cocok. Mikhail kayaknya perhatian dan sayang banget sama lo. Semoga ya suatu saat nanti gue juga dapet yang perhatian dan penyayang." Harap Marylin.
" Iya deh gue do'ain. Asal bukan Mikhail aja yang lo taksir." Ashen bercanda tapi tetap saja nada bicaranya sarkas.
Marylin mengusap dada mendengar sindiran Ashen barusan. Padahal ia tak sedikitpun berniat demikian.
" Sayang, jaga sikap dong jangan terlalu ekatrim kayak gitu. Entar yang ada mereka malah curiga sama kita lagi." Ujar Mikhail mengingatkan sambil berbisik di dekat telinga Ashen.
" Emangnya kenapa? Gue wajib dong pertahankan rumah tangga gue. " Ketus Ashen sembari melotot ke arah Mikhail.
" Hmm ... Iya deh iya." Mikhail mati kutu, tak bisa menjawab lagi.padahal diam-diam ia merasa bahagia.
***
Sampai di rumah, Ashen dan Mikhail sudah sepakat tidak akan saling mengganggu, karena keduanya berencana untuk tidur siang sepulang sekolah. Atau lebih tepatnya tidur sore, karena jam pulang mereka pas di jam tiga sore.
Ashen yang biasanya lebih jail, malah berbaring lebih dulu tanpa hiraukan Mikhail yang berbaring membelakangi dirinya. Namun sebenarnya, Ashen tak mengantuk, ia hanya berusaha memberi ruang bagi Mikhail untuk beristirahat karena menjadi duta edelweiss itu bukanlah hal yang mudah.
Ashen malah tidak bisa pejamkan mata. Entah kenapa ia merasakan hatinya gelisah. Dan kegelisahan itu lantas menuntunnya untuk memeriksa isi tas sekolah Mikhail.
Dan ternyata ia menemukan sesuatu di dalam lembaran buku Mikhail. Sebuah kartu manis dengan design cantik, undangan pesta ulang tahun dari Maura.
Amarah di kepala Ashen kembali meledak. Tanpa sempat bicara lagi ia menggunakan kakinya untuk menyingkirkan Mikhail dari atas ranjang. Mikhail yang mulai terlelap tentu terkejut bukan main mendapati dirinya yang telah berpindah alamat di lantai.
" Ada apa lagi siiihh, istriku yang cantik, baik dan ramah?." Sambil mengucek matanya Mikhail bangkit dan bermaksud kembali ke atas ranjang karena ia masih mengantuk.
" Ini apa? ." Ashen langsung menodong Mikhail sambil memperlihatkan kartu undangan tersebut.
Kedua bola mata Mikhail membelalak. Karena ia pun tak tau darimana asalnya benda di tangan Ashen tersebut.
" Gak usah akting deh lo. Gue gak nyangka lo udah berani main-main di belakang gue ..hiks." Ashen mulai menangis, ia lempar kartu undangan itu ke lantai.
" Maura ... Maura, ngerepotin banget sih lo. Pake acara nyelipin kartu undangan segala." Mikhail mengacak-acak rambutnya sendiri.
" Shen, percaya deh sama gue, itu dasar si Maura nya aja yang iseng. Dia pasti naro kartu itu diem-diem. Sumpah gue gak tau apa-apa soal ini." Mikhail membela dirinya yang memang tidak bersalah sama sekali. Ia raih kepala Ashen untuk bersandar di dadanya.
Ashen tak menjawab, masih menangis sesenggukan. Tapi ia tak berusaha menjauhi Mikhail, malah semakin dalam menenggelamkan diri di pelukan suami tampannya.
