Kisah gadis bernama Li Mei adalah putri raja dari Zheng-mi goo yang dikutuk memiliki umur panjang karena dituduh membakar istana selir ayahnya, dia melintasi waktu dari kejaran pengawal istana yang ingin menangkapnya sehingga Li Mei mengalami amnesia karena kecelakaan yang tak terduga. Dan bertemu Shaiming yang menjadi tunangannya.
Mampukah Shaiming membantu Li Mei mengingat semuanya, akankah ingatan Li Mei kembali ? Dan apakah mereka akan bersama dan bahagia ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 TUGAS BARU
"Apa !?"
Ucap Genji agak terkejut mendengar ucapan Leyu yang berada di satu ruangan dengannya di tempat latihan opera.
Genji menoleh ke arah Leyu lalu menatapnya lurus seraya bersandar pada jendela lebar di belakangnya.
"Apa yang kau maksud itu utusan Niu ?", ucapnya sekali lagi dengan pandangan serius ke arah Leyu.
Leyu hanya mengangguk pelan dari tempatnya dia duduk.
"Kita kemari bersama-sama karena tujuan kita satu, yaitu untuk melindungi kaisar langit kita serta memastikan dia selamat disini...", ucap Genji.
Pandangan Genji teralihkan ke arah luar jendela yang terbuka lebar yang ada di belakangnya.
Lantas Genji menghembuskan asap rokok dari mulutnya ke arah luar jendela.
"Kenapa aku harus berurusan dengan utusan dari Zheng-mi goo !? Dia bukan prioritas utama ku..., Leyu...", ucap Genji.
Leyu terdiam tanpa merespon ucapan dari Genji sedangkan sorot matanya lurus menatap serius ke arah Genji.
"Aku tidak berminat dengan utusan itu...", ucap Genji.
Genji kembali mengisap rokok di tangannya dalam-dalam.
Wanita berparas menawan yang mengenakan gaun qipao pendek ketat berwarna biru langit bermotif bunga itu terlihat sibuk dengan rokoknya.
Kedua kakinya yang jenjang terlihat terbuka mulus dengan sepasang sepatu warna senada, menyilang ke atas, memperlihatkan kedua pahanya yang putih polos.
"Untuk apa kamu menyuruh ku memata-matai pria aneh itu ?", ucap Genji.
Tampak Genji memainkan rokok di antara jari-jemari tangannya.
Tidak teihat serius menanggapi omongan dari Leyu yang menyebutkan tugas rahasia lainnya yang harus dia kerjakan dengan mengikuti utusan Niu.
"Lantas bayaran apa yang aku terima nantinya jika aku menuaikan tugas itu !?", sambungnya sambil melirik ke arah Leyu.
Leyu tersenyum tipis kemudian mengetukkan ujung jari tangannya pelan ke atas meja.
Tuk... Tuk... Tuk...
"Berapa yang kau inginkan untuk bayaran tugas mulia itu ?", tanya Leyu.
Genji menoleh ke arah Leyu yang duduk tak jauh darinya kemudian menatapnya serius.
"Tidak banyak...", sahutnya acuh.
"Tidak banyak tapi nada bicara mu menunjukkan bahwa kau menginginkan uang banyak untuk bayaran tugas itu", kata Leyu.
"Tidak juga...", ucapnya cuek.
"Katakan saja, berapa uang yang kamu inginkan ?", sahut Leyu.
Genji menghirup kembali rokok ditangannya lalu menghembuskan asapnya ke arah luar jendela.
Terlihat kepulan asap-asap yang membentuk bulatan-bulatan besar terbang ke arah luar ruangan.
"Tugas ini terlalu merepotkan ku karena aku harus menyamar menjadi orang lain agar aku tidak terlihat sebenarnya dan itu memuakkan...", lanjut Genji.
"Memang benar yang kau katakan itu tetapi seperti itulah tugas kita sebagai pengawal pribadi Shaiming", kata Leyu.
"Aku pikir jika kita melintasi waktu serta berubah identitas menjadi orang berbeda dan baru maka kehidupan kita akan berubah pula", ucap Genji.
"Jika kau menginginkan hal itu maka lakukanlah sesuai keinginan mu", sahut Leyu.
"Wajar !? Atau tidak wajar !?", sambung Genji.
"Wajar atau tidak tergantung dirimu karena aku hanya mengijinkannya bukan berarti aku mengatur seluruh hidupmu", sahut Leyu.
"Hanya saja terasa janggal ketika aku harus menyesuaikan diri di kehidupan baru ini...", kata Genji.
"Lumrah...", sahut Leyu.
"Kau sepertinya tidak terlalu serius menanggapi omongan ku", kata Genji.
"Dari awal aku sangat serius, Genji...", sahut Leyu.
"Dan aku juga demikian..., Leyu...", ucap Genji.
"Apa kau akan menerima tugas ini atau tidak, Genji ?", tanya Leyu dengan tatapan seriusnya.
"Tergantung cara sepakatan yang kita setujui karena aku bekerja pamrih bukan sukarela untuk tugas ini, Leyu", sahut Genji.
Tampak Genji masih sibuk dengan rokoknya saat berbicara dengan Leyu, atasannya.
Leyu terlihat bimbang ketika melihat respon dari Genji yang tidak terlalu serius menanggapi tugas yang diberikan olehnya.
"Berapa yang kau inginkan ?", tanya Leyu.
Genji mengalihkan pandangannya secara cepat ke arah Leyu, terdiam sejenak seraya berpikir.
Keduanya saling berpandangan serius meski tidak ada ucapan dari keduanya tetapi sorot keduanya mengartikan bahwa mereka sangat serius.
Genji kemudian menjawab.
"Seratus tail emas murni pada bayaran pertamanya karena aku akan menagih setengahnya lagi setelah tugas selesai", sahut Genji.
"Baiklah... Aku akan membayar mu tapi beri aku kurun waktu dalam dua hari lagi untuk mengumpulkan bayaran itu", ucap Leyu.
"Dua hari !?", kata Genji.
"Ya... ", sahut Leyu dengan anggukkan kepala. "Tunggu aku dua hari lagi karena aku masih harus mencari seratus tail emas utuh dalam waktu singkat, bukan perkara mudah", sambungnya kemudian.
Genji menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat lalu menyahut ucapan Leyu.
"Baiklah...", sahut Genji seraya membuang sisa puntung rokoknya ke arah luar jendela setelah dia mematikannya.
Pak ! Pak ! Pak !
Genji menghentakkan kedua kakinya ke arah lantai sambil mengibaskan gaunnya supaya rapi kembali.
Berdiri tegak, menghadap ke arah Leyu lalu memberi hormat padanya.
"Siap, menyelesaikan tugas ini ! Dalam waktu sehari informasi akan aku serahkan pada mu, Leyu !", ucap Genji.
"Sepakat !", sahut Leyu sembari tertawa kecil.
Leyu beranjak berdiri lalu melangkah pergi dari ruangan tempat latihan opera sedangkan Genji sudah tak terlihat lagi keberadaannya di sana.
Udara di luar terasa sejuk karena musim semi telah tiba pada bulan Februari ini, awal yang indah bagi sebagian orang di Beijing.
Tampak di sepanjang area jalan kota Beijing, bunga peony bermekaran indah, menghiasi jalan kota.
"Hai...", sapa seorang wanita cantik dengan rambut tergerai indahnya berjalan lenggak-lenggok di area jalan.
Wanita itu lalu berhenti tepat di depan kios penjual minuman kopi kemudian melambaikan tangannya kepada pemilik kios kopi dengan sangat ramahnya.
Tersenyum genit seraya mengulurkan tangannya untuk menyerahkan beberapa koin uang.
"Aku beli satu minuman hangat !", ucapnya sambil berkedip manja.
Seorang pria tua dengan topi rajutnya terlihat terkesima ketika dia melihat sosok cantik berdiri di hadapan kiosnya.
Tangan pemilik kios kopi itu gemetaran saat dia menerima uang dari wanita cantik nan seksi itu.
"Ba--baik...", ucapnya.
Pemilik kios penjual minuman kopi segera mempersiapkan pesanan yang diminta oleh wanita cantik meski kedua tangannya bergetar keras.
"Hai, tenanglah ! Aku tidak akan memakan mu, wahai pak tua !", ucap wanita itu.
"I--iya, nona...", sahut pemilik kios kopi seraya menyerahkan segelas minuman kopi kepada wanita seksi di hadapannya.
"Terimakasih... !" ucap wanita cantik itu.
Pemilik kios kopi masih berdiri tertegun saat wanita cantik berlalu pergi dari hadapannya, melangkah kembali sambil menggoyangkan pinggulnya saat dia berjalan.
Tap... !
Tap... !
Tap... !
Pandangan wanita cantik dengan gaun seksinya mengarah ke deretan barisan bunga peony yang bermekaran indah sepanjang jalan trotoar.
Menghirup aroma wangi kopi yang berasal dari segelas minumannya lalu menghela nafas pelan.
"Hufh... !? Dasar Leyu... Tidak ada kerjaan... Mengirim ku untuk tugas memata-matai seorang utusan raja yang naif...", gumamnya agak menggerutu.
Genji dalam penyamarannya tampak asyik dengan segelas minuman kopinya sambil terus memperhatikan arah jalan di sekitarnya.
Tak banyak orang pagi itu yang berjalan berlalu lalang di jalan trotoar.
Genji melirik ke arah bangku kayu yang kosong tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang.
"Sebaiknya aku duduk disana", ucap Genji.
Tampak Genji berjalan menuju ke arah sebuah bangku kosong dekat tanaman bunga peony yang bermekaran indah di atasnya.
SRET...
Genji lalu duduk sambil meminum segelas kopi di tangannya dengan terus memperhatikan arah jalan di depannya.
Duduk sembari menyilangkan kedua kakinya naik ke atas lalu bersandar pelan ke bahu bangku yang terasa dingin saat dia duduk di sana.