NovelToon NovelToon
Elegi Grilyanto

Elegi Grilyanto

Status: sedang berlangsung
Genre:Janda / Keluarga / Suami ideal / Istri ideal
Popularitas:566
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7

Grilyanto melangkah keluar dengan hati yang masih berdetak cepat. Senyum Sri masih membayang di matanya.

Meski singkat, pertemuan itu telah menjembatani jarak antara suara dan wajah, antara harapan dan kenyataan.

Di dalam rumah, Sri menutup pintu perlahan. Ia berjalan kembali ke ruang tamu, menatap gelas teh yang masih setengah terisi.

Sambil merapikan taplak meja, ia bergumam pelan—nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.

“Kecil sekali dia... tapi sepertinya baik.”

Sri tersenyum tipis, lalu duduk. Ia membuka bungkus kue yang dibawa Grilyanto, mengambil satu, dan mencicipinya perlahan.

“Lucu juga ya... dari sekian banyak suara di telepon, yang membuatku berdebar justru yang paling pelan.”

Hari itu ditutup dengan hening yang manis. Tidak ada janji apa-apa, tapi keduanya tahu—ini bukan pertemuan terakhir.

Keesokan paginya, suasana kantor Perumtel masih seperti biasa.

Para petugas bergantian menerima panggilan, suara tuts telepon saling bersahutan.

Grilyanto duduk di mejanya, masih menyisakan senyum dari pertemuan kemarin.

Tiba-tiba, seorang rekan kerja mendekat dengan ekspresi bingung campur penasaran.

"Gril, ada yang nyari kamu..."

Grilyanto mengangkat kepala. "Siapa?"

"Cewek. Manis. Katanya namanya Sri."

Jantung Grilyanto berdegup tak karuan. Ia berdiri cepat, merapikan kemejanya sekenanya, lalu berjalan menuju ruang tunggu depan.

Dan di sana, Sri duduk dengan tenang. Rambutnya di kuncir, mengenakan blus putih sederhana dan rok panjang.

Matanya langsung menatap Grilyanto begitu sosok itu muncul di ambang pintu.

“Pagi, Mas.” katanya singkat.

Grilyanto hampir tak percaya. “Mbak Sri? Ada apa? Kok ke sini?”

Sri berdiri pelan, tersenyum.

“Saya cuma pengen tahu... kantor tempat Mas Grilyanto kerja itu seperti apa.”

Grilyanto tertawa kecil, kikuk. “Yah... beginilah. Cuma meja, kursi, dan suara-suara telepon yang nggak pernah berhenti.”

Mereka duduk sebentar di bangku panjang depan kantor. Obrolan ringan mengalir—tentang perjalanan Sri ke kantor, tentang sarapan pagi ini, dan tentang kesan pertemuan kemarin.

“Saya penasaran aja... yang selalu menjawab ‘Selamat pagi, dengan Grilyanto di sini’ itu kerjanya di ruangan seperti apa.” Sri berkata sambil melirik ke dalam.

“Dan sekarang puas?” tanya Grilyanto.

Sri tersenyum. “Puas... dan senang.”

Sebelum pergi, Sri menyerahkan sebuah bungkusan kecil.

“Ini kue cucur. Buatan Ibu saya. Katanya, buat Mas Grilyanto yang kemarin bawa kue ke rumah.”

Grilyanto menerima dengan kedua tangan, matanya menatap Sri dalam-dalam.

“Terima kasih, Mbak... ini pagi yang paling menyenangkan sejak saya kerja di sini.”

Sri hanya menjawab dengan senyuman, lalu berjalan pergi. Langkahnya ringan, meninggalkan jejak manis di pagi hari Grilyanto.

Dan dari ruang 108, di tengah suara telepon dan kertas-kertas, hati Grilyanto terasa semakin penuh.

Sri berdiri pelan, membetulkan tas kecil yang disampirkan di pundaknya.

Mata mereka saling bertemu untuk beberapa detik, seolah enggan berpaling.

Dengan senyum hangat, Sri berkata:

“Saya pulang dulu, Mas Grilyanto.”

Grilyanto mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan rasa enggan di wajahnya.

“Hati-hati di jalan, Mbak Sri...” ucapnya lembut.

Sri melangkah pergi, perlahan. Tapi setiap langkahnya seakan menggoreskan makna di hati Grilyanto.

Ia tetap berdiri di tempat, menatap Sri hingga sosoknya menghilang di balik gerbang kantor. Di tangannya, bungkusan kue cucur terasa lebih hangat daripada pagi itu sendiri.

Dan di dalam hati Grilyanto, satu kalimat terpatri kuat:

"Jangan terlalu cepat pulang, Sri... aku belum siap kehilangan senyum itu

Malam itu, udara terasa sedikit lebih hangat dari biasanya.

Langit bersih, dihiasi bintang-bintang yang malu-malu.

Di sebuah gang kecil di sudut kota, suara langkah kaki pelan mendekat ke sebuah rumah bercat hijau muda.

Grilyanto berdiri di depan rumah Sri. Ia mengenakan pakaian metrik terbaik yang ia punya, kemeja motif batik kecil, celana kain hitam, dan sepatu kulit yang sudah dipoles dengan minyak kelapa. Wajahnya tampak gugup, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.

Ia mengetuk pintu perlahan.

Tak lama, pintu dibuka. Sri muncul, mengenakan baju terusan biru tua dengan pita kecil di rambutnya. Matanya membulat kaget melihat Grilyanto.

"Mas Grilyanto? Malam-malam gini?"

Grilyanto menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Malam Minggu, Mbak... saya pikir, kalau Mbak Sri belum ada acara, mungkin kita bisa jalan-jalan sebentar."

Sri tertawa pelan. "Masih pake kata 'mungkin' segala." Ia menoleh ke dalam sebentar, lalu berkata, "Tunggu ya, saya ambil tas."

Beberapa menit kemudian, mereka sudah berjalan berdampingan di sepanjang trotoar kota.

Jalanan tidak terlalu ramai, hanya suara motor dan pedagang kaki lima yang sesekali terdengar.

Mereka berhenti di sebuah warung angkringan. Duduk berdampingan di bangku kayu, mereka memesan sate telur puyuh, gorengan, dan dua gelas teh panas.

"Jadi, ini malam Minggu pertama Mas ngajak perempuan jalan?" tanya Sri sambil menyeruput teh.

Grilyanto mengangguk jujur. "Iya. Dan mungkin terakhir juga, kalau yang diajaknya bukan kamu."

Sri tertawa kecil, pipinya memerah.

Obrolan mengalir, tawa bersahutan, dan malam terasa terlalu cepat berlalu.

Di ujung jalan saat mengantar pulang, Grilyanto menunduk sebentar.

"Sri..." katanya pelan, tak lagi memakai embel-embel ‘Mbak’. "Boleh saya mulai memanggil kamu tanpa jarak?"

Sri menatapnya. Senyum itu muncul lagi—hangat, lembut, dan tidak dibuat-buat.

"Sejak tadi malam, saya juga ingin memanggil kamu tanpa ragu..."

Dan sejak malam itu, "aku" dan "kamu" menggantikan "saya" dan "Mbak". Sesuatu telah berubah—perlahan, pasti, dan tanpa paksaan.

"Mas Gril, sepertinya saya sudah mulai mencintai Mas Gril." ucap Sri.

"Aku juga Sri..."

Sri menatap wajah Grilyanto dengan tatapan mata yang heran.

"Kalau Mas Gril mencintai saya, kenapa kok tadi tidak diutarakan saja?" tanya Sri

"Karena sudah aku Selatan kan, Sri." jawab Grilyanto.

Sri langsung mencubit pinggang Grilyanto dan mereka berdua tertawa terbahak-bahak.

"Utarakan Mas, kenapa jadi selatan kan." Sri masih tertawa terbahak-bahak

"Sri, masih ada satu lagi."

"Apa Mas?"

"Perikanan dan Perikiri."

Sri kembali tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Grilyanto yang lucu.

Setelah menikmati sate dan teh hangat di angkringan, Grilyanto menggenggam tangan Sri dengan lembut. Mata mereka bertemu, dan tanpa kata, keduanya merasa nyaman dalam keheningan yang hangat.

“Mas, ada film India yang bagus malam ini,” kata Sri dengan mata berbinar, “judulnya Puja. Aku dengar ceritanya menarik sekali.”

Grilyanto tersenyum lebar. “Kalau begitu, ayo kita nonton bareng. Aku sudah lama ingin nonton film India, tapi belum pernah ada teman.”

Sri mengangguk antusias. Mereka pun berjalan beriringan menuju bioskop kecil di pusat kota. Suasana malam semakin hidup dengan lampu-lampu jalan yang berkelap-kelip.

Di dalam bioskop, layar besar menampilkan lagu dan tarian khas India yang memukau. Grilyanto dan Sri duduk berdampingan, tangan mereka masih saling menggenggam erat, merasakan kehangatan yang tumbuh di antara mereka.

Film Puja bercerita tentang cinta, pengorbanan, dan harapan—tema yang seolah mengiringi kisah mereka sendiri.

Saat lampu bioskop menyala kembali, Grilyanto menatap Sri dan berkata, “Terima kasih sudah ikut malam ini. Aku merasa malam ini spesial.”

Sri tersenyum malu, “Aku juga, Mas. Puja malam ini bukan cuma di layar, tapi di hati kita.”

Malam itu, dengan judul film yang sama dengan nama Puja, mereka mengukir kenangan pertama yang tak akan terlupakan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!