Dia terjerat dalam sebatas ingatan dimana sebuah rantai membelenggunya, perlakuan manis yang perlahan menjeratnya semakin dalam dan menyiksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hal Yang Sama
Setelah hari itu Mario tak kembali dan sudah tujuh malam terhitung pria itu tak menampakkan diri. Valeri merasa lega sekaligus khawatir. Lega sebab dalam dua hari itu Valeri bebas dari hukuman Mario dan khawatir tentang keadaan pria itu. Apa kah Mario baik- baik saja? Pasalnya tak ada kabar sama sekali. Entah kenapa pemikiran itu terlintas, padahal Valeri tahu banyak bodyguard yang melindunginya. Atau Rey yang akan memperhatikan kesehatannya.
Prang!
Valeri terbangun saat mendengar suara benda jatuh. Memastikan pandangannya Valeri segera bangun saat melihat Mario berjalan dengan sempoyongan memasuki kamar.
"Kau pulang?" Valeri mengeryit saat melihat wajah pucat Mario. Pria itu melepas dasinya lalu jas yang tersampir di bahunya.
"Kau baik- baik saja?" Valeri menahan tubuh Mario saat akan terjatuh.
Valeri mengendus tubuh Mario, ada jejak aroma minuman disana. "Kau mabuk?" tanyanya tak yakin. Valeri merasa ada hawa panas di tubuh Mario.
"Menyingkir!" Mario mendorong Valeri menghiraukannya dan hanya memegang kepalanya.
Valeri berdecak saat lagi- lagi Mario akan terjatuh. Valeri menahannya dan membawa Mario ke arah ranjang untuk membaringkannya.
Valeri menatap Mario yang bergeming dan memejamkan mata, tangannya terangkat menyentuh dahi Mario, dan benar saja pria itu demam. "Benar- benar panas," ucapnya. Rasa khawatir tak bisa dia sembunyikan. Valeri pergi ke luar kamar untuk memanggil Hilda dan memintanya segera menghubungi dokter.
Dokter datang bertepatan dengan Rey yang memasuki kamar. Wajahnya tak kalah panik dari Hilda.
"Ada apa Rey? Kenapa Tuanmu bisa sakit?" jelas saja Valeri bertanya. Sebab satu minggu ini Mario pasti di temani Rey.
"Tuan kelelahan, beberapa hari ini mengabaikan tubuhnya, dan hanya minum alkohol." Valeri menatap pada Mario yang tengah di periksa dokter.
.....
"Berikan obat ini, setelah Tuan makan lebih dulu. Anda juga bisa membantu dengan mengompres. Jika panasnya belum turun hingga pagi kita bisa bawa ke rumah sakit untuk penanganan."
Setelah mengantar Dokter pergi, Valeri meminta pelayan membawakan handuk kecil dan juga air untuk mengompres Mario. Dengan raut wajah yang tidak berubah Valeri meletakan handuk kecil yang sudah dia celupkan kedalam air hangat di atas dahi Mario.
Sepanjang malam Valeri menunggu dan mengecek kondisi Mario. Namun setelah dua jam panas di tubuh Mario tidak berkurang meski sudah diberi obat penurun panas. Valeri bahkan harus memaksa Mario makan saat pria itu bergumam agar bisa meminum obat yang di berikan dokter.
Valeri mulai panik sebab tubuh Mario juga mulai menggigil. "Apa yang harus aku lakukan," ucapnya.
Valeri melipat bibirnya mengingat ucapan dokter. Jika panasnya tidak reda dia harus membawa Mario ke rumah sakit.
Valeri terus mengganti handuk yang dia gunakan untuk mengompres, kali ini bukan hanya satu Valeri juga menggunakan beberapa handuk untuk mengompres beberapa titik agar panas di tubuh Mario reda.
....
Mario...
Mario membuka matanya lalu menunduk saat merasakan seseorang menggeliat di pelukannya.
Mario mengeryit melihat Valeri ada di pelukannya.
Valeri mengerjapkan matanya lalu bangun saat menyadari jika dia sudah bangun lebih dulu. "Sudah bangun. Bagaimana perasaanmu?"
"Sudah reda," ucapnya dengan menyentuh dahi Mario. "Syukurlah." Valeri bahkan menghela nafasnya lega.
"Aku akan minta Hilda buatkan bubur setelah itu kamu harus minum obat." Valeri beringsut turun dari ranjang dan keluar dari kamar.
Mario menatap kepergian Valeri dengan dahi mengeryit. Namun saat melihat baskom berisi air dan kain Mario mengerti apa yang sedang terjadi.
Dia sakit.
Semalam dia memang merasa tubuhnya lemas. Bukan, bahkan sejak beberapa hari lalu Mario merasa tubuhnya tak baik- baik saja. Bahkan sejak dia keluar dari rumah terakhir kali.
Pikirannya kacau dan berakhir pada kesehatannya.
Sial. Ini gara- gara gadis itu.
Entah kenapa Mario merasa terganggu dengan apa yang Valeri lakukan kemarin.
Bukan. Lagi- lagi Mario meralat.
Bahkan sejak sebelumnya, sebelumnya dan sebelumnya lagi, dia sudah merasa terganggu dengan tingkah Valeri. Raut wajahnya, cara menatapnya, bahkan senyum miris yang gadis itu tampakkan seperti melukai hatinya.
Mario merasa dia mulai membelot dari niat awalnya yang akan membuat gadis itu menderita dengan berada di sekitarnya.
Dia bahkan menyetujui keinginan Valeri untuk tidak menyiksa bahkan memaksanya lagi.
Brengsek! Apa dia sudah mulai tertarik dengan gadis itu?
Tidak! Tidak ada yang bisa menggantikan Jasmine dihatinya sampai kapan pun. Sejak dulu, bahkan meski dia sering bermain dengan para jalang, dihatinya hanya ada Jasmine. Sama seperti sekarang adanya Valeri tidak akan mengubah rasa cintanya. Baginya Valeri hanya sebentuk nyawa yang ia gunakan untuk membalas rasa sakit yang dilakukan orang tuanya karena merenggut nyawa Jasmine.
Mario menoleh saat mendengar langkah kaki mendekat. Valeri datang dengan nampan di tangannya.
"Ayo makan." Valeri mengaduk buburnya sebentar lalu menyodorkannya pada Mario setelah dia tiup lebih dulu dan memastikan bubur tidak panas.
Mario hanya diam dan justru mendengus. "Kenapa? Tidak mau?" Mario memejamkan matanya acuh tak acuh.
"Mario, kalau kamu mati karena sakit itu tidak lucu." Mario membuka matanya lalu menatap Valeri dengan tajam.
"Nah itu. Kalau kamu terbaring begitu tidak akan menakutkan. Tidak peduli kamu menatapku tajam seperti itu."
Valeri meletakan mangkuknya di nampan dengan kesal, lalu memaksa Mario agar duduk. "Kau sedang merawatku?"
"Ya." Valeri kembali mengambil mangkuknya. "Mau aku suapi?" Valeri kembali menyodorkan sendok, lalu tersenyum saat Mario membuka mulutnya. "Anak pintar," ucap Valeri dengan mengusap rambut Mario.
Mario tertegun, namun dengan cepat rahangnya mengeras. "Kau! Jangan berpikir setelah merawatku aku akan peduli padamu."
Valeri masih tersenyum tak peduli dengan Mario yang terus menatapnya dengan tajam. "Aku melakukannya untuk suamiku. Bukan untuk pria lain yang masih mencintai kekasihnya. Jadi, aku tidak peduli apa yang akan pria jahat itu lakukan."
Mario mengepalkan tangannya erat. Entah kenapa lagi- lagi perkataan Valeri membuat hatinya terganggu, apalagi Valeri mengucapkannya dengan tersenyum seolah tanpa beban.
Setelah memakan beberapa suap, Mario meminta berhenti dan Valeri mengambil obat untuk dia serahkan pada Mario. "Sekarang minum obatmu."
"Sepertinya kamu benar-benar lupa dengan statusmu." Mario menatap obat yang di berikan Valeri dengan wajah meremehkan.
Valeri berdecak. "Kenapa lagi? Mau aku bantu?" Valeri memasukan obat itu kedalam mulutnya, lalu dia naik ke ranjang tepat di pangkuan Mario dan memiringkan wajahnya untuk meraih bibir Mario dan mendorong obat tersebut dengan lidahnya. Sama seperti yang dilakukan Mario saat memaksa Valeri p minum obat.
Kejadian itu begitu cepat hingga Mario tidak menyadarinya. Bahkan saat Valeri meminum air dan melakukan hal yang sama agar Mario bisa mengalirkan obat di dalam mulutnya.
mario jangan sampai kau terluka karna kau harus menyembuhkan luka batinnya valeri 🥺
hemm 🤔🤔
#ngelunjak..🤭
ngga sabar nunggu kelanjutannya...
makin rame ceritanya ..
semangat up ya Kaka author....💪🤗
yakin pasti nyesel bgt 🤭