Saran author, sebelum membaca novel ini sebaiknya baca dulu "Gadis Bayaran Tuan Duren" ya kak. Biar ceritanya nyambung.
Novel ini menceritakan tentang kehidupan putra dari Arhan Airlangga dan Aina Cecilia yaitu King Aksa Airlangga dan keempat adiknya.
Sejak tamat SMP, Aksa melanjutkan studinya di Korea karena satu kesalahan yang sudah dia lakukan. Di sana dia tinggal bersama Opa dan Oma nya. Sambil menyelesaikan kuliahnya, Aksa sempat membantu Airlangga mengurusi perusahaan mereka yang ada di sana.
Tak disangka sebelum dia kembali, sesuatu terjadi pada adiknya hingga menyebabkan sebuah perselisihan yang akhirnya membuat mereka berdua terjebak diantara perasaan yang seharusnya tidak ada.
Bagaimanakah kelanjutan ceritanya?
Jangan lupa dukungannya ya kak!
Semoga cerita ini berkenan di hati kakak semua.
Lope lope taroroh untuk kalian semua 😍😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPTG BAB 26.
Hari berganti hari minggu berganti minggu. Tak terasa sudah satu bulan saja Aksa menjadi dirinya sendiri di hadapan Inara. Meski keduanya selalu bertengkar seperti anjing dan kucing tapi hubungan mereka berdua mulai terlihat sedikit membaik.
Hari ini adalah hari terakhir Inara magang dan besok mereka berdua sudah akan kembali ke Jakarta. Begitulah yang diucapkan Aksa saat menurunkan Inara di depan gerbang rumah sakit itu.
Setelah Inara masuk ke dalam rumah sakit, Aksa segera melajukan mobilnya menuju novotel untuk mengembalikan mobil itu dan melunasi sisa tagihan yang ada. Setelah semuanya beres, Aksa pulang ke kontrakan menggunakan jasa ojek online.
Di rumah sakit, Inara melakukan aktivitasnya seperti biasa. Mulai dari menyusun berkas pasien, memeriksa mereka dan memberikan laporan harian kepada dokter Melia.
"Senang ya, akhirnya magang ini selesai juga." goda dokter Melia sambil tersenyum kepada Inara.
"Senang dong Dok, tapi sedih juga karena harus meninggalkan rumah sakit ini dan kota ini. Banyak kenangan yang akan terlupakan setelah ini." lirih Inara dengan tatapan sendu. Apalagi mengingat kenangannya bersama Akbar yang tidak akan mungkin terlupakan.
"Hm... Begitulah hidup, suka tidak suka harus dijalani. Kalau kamu rindu, main-mainlah ke sini!" pinta dokter Melia.
"Pasti Dok. Saya sebenarnya belum puas mengitari kota ini, masih banyak tempat yang belum saya kunjungi. Mungkin lain kali saat libur sudah tiba, saya akan membawa keluarga saya berlibur ke sini." jelas Inara.
"Ide yang bagus, sayang sekali kalau dilewatkan." Dokter Melia kembali tersenyum meski sebenarnya dia merasa berat melepaskan Inara.
Inara adalah sosok wanita pekerja keras. Selain cantik dia juga baik dan sopan, semua orang yang ada di rumah sakit menyukainya karena keceriaan gadis itu yang selalu mampu menghangatkan suasana. Wajar kalau dokter Melia merasa sedih melepas kepergiannya.
Sore hari, Inara meninggalkan rumah sakit setelah berpamitan dan mengambil dokumen yang diberikan dokter Melia padanya. Dengan menggunakan jasa ojek online, Inara sampai di kontrakan sekitar pukul empat.
"Sudah pulang?" sapa Aksa yang tengah duduk di teras rumah ditemani secangkir kopi hitam.
"Hm..." gumam Inara, lalu melengos pergi memasuki rumah dan duduk di sofa ruang tengah.
Aksa yang melihat itu hanya tersenyum dan menyusul masuk ke dalam rumah, lalu duduk di samping Inara.
"Bagaimana? Apa dokumennya sudah selesai?" tanya Aksa mencari tau.
"Sudah," lirih Inara dengan tatapan sendu.
"Kalau sudah, kenapa wajahmu terlihat sedih begitu? Harusnya kau senang karena besok kita sudah kembali ke Jakarta dan bertemu lagi dengan semua keluarga. Apa kau tidak bahagia bertemu mereka?" tanya Aksa lagi.
"Tentu saja aku bahagia, tapi aku juga sedih karena harus meninggalkan kota ini. Banyak kenangan yang akan tertinggal di rumah ini."
Inara menghela nafas berat dan membuangnya dengan kasar. Lagi-lagi sosok Akbar menjelma di ingatannya. Bagaimana jika pria itu kembali dan tidak menemukannya di sana? Padahal Inara ingin sekali membawanya pulang ke Jakarta dan mengenalkannya pada seluruh anggota keluarga.
"Maksudmu kenangan bersamaku?" Aksa mengerutkan keningnya sambil menilik manik mata Inara dengan intim.
"Tidak, aku dan kau tidak memiliki kenangan apapun. Hubungan kita hanya sebatas adik dan kakak saja tapi kalau pun ada, itu tidak ada artinya sama sekali bagiku." jelas Inara, lalu memilih bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu kamar.
Aksa lagi-lagi mengerutkan keningnya, bahkan matanya ikut menyipit menatap punggung Inara. "Apa kau masih memikirkan pria itu? Apa yang kau harapkan darinya? Ingat Inara, dia sudah meninggalkanmu tanpa sebab yang jelas!"
Seringai tipis melengkung di sudut bibir Inara saat mendengar itu, dia kemudian berbalik dan berkata. "Setidaknya dia jauh lebih baik darimu. Aku yakin suatu hari nanti dia akan kembali padaku, aku tau dia sangat mencintaiku. Aku akan menunggunya karena dialah satu-satunya orang yang aku inginkan."
Selepas mengatakan itu, Inara kembali melanjutkan langkahnya hingga benar-benar menghilang dari pandangan Aksa.
Setibanya di dalam kamar, Inara menaruh dokumen yang dia bawa di atas meja lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan berdiri tepat di depan jendela.
Inara kembali menghubungi Akbar, berharap kali ini pria itu mau menjawab panggilannya.
Saat Aksa baru saja menginjakkan kakinya di dalam kamar, telinganya langsung mendengar suara getaran yang berasal dari atas meja. Segera Aksa mengambil ponselnya dan melihat ada tiga panggilan tak terjawab.
Ketika Aksa ingin menghubunginya lagi, ponsel itu kembali bergetar hingga Aksa tak ada pilihan lagi selain menjawabnya.
"Halo Ra..."
"Deg!"
Inara yang mendengar suara itu langsung terhenyak di atas kasur. Jantungnya berdegup kencang bak tengah lari maraton. Akhirnya Akbar mau menjawab panggilannya, itu artinya Akbar tidak melupakannya sama sekali. Benar kan?
"Akbar..." lirih Inara dengan suara serak mengandung tangisan.
"Iya Ra, ini aku. Ada apa Ra?" tanya Aksa dari kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Inara.
"Masih berani bertanya, hiks..." Akhirnya bongkahan bening itu tumpah membasahi pipi Inara.
"Maaf, aku-"
"Kamu jahat Akbar, kamu menyakitiku. Kenapa memberiku harapan jika akhirnya meninggalkan aku seperti ini? Sudah satu bulan tapi kamu tidak pernah menghubungiku, apa aku tidak berarti untukmu? Apa salahku padamu? Kenapa mempermainkan hatiku?" Tangisan Inara pecah mengisi kehampaan kamar itu.
"Ra, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Bukankah ini sudah menjadi kesepakatan kita? Aku pergi lebih awal karena takut kamu meninggalkan aku. Sekali lagi maafkan aku, aku harap kamu bisa melupakan aku. Mulailah hidupmu yang baru! Ada pria lain yang sangat mencintaimu, belajarlah menerima dia!"
"Siapa? Aku tidak pernah dekat dengan pria manapun selain kamu. Kembalilah Akbar, aku sangat merindukanmu!" pinta Inara terisak.
"Sekali lagi maafkan aku Ra, aku tidak bisa kembali karena urusanku masih banyak di sini. Cobalah perhatikan di sekelilingmu! Seseorang sedang menunggumu, dia mengharapkan balasan cinta darimu." ungkap Aksa.
"Tapi aku tidak mau Akbar, aku hanya ingin cinta darimu. Kembalilah, aku mohon!" pinta Inara lagi.
"Aku benar-benar tidak bisa Ra. Cintaku tidak sebesar cinta pria itu, aku pasti kalah. Lihat dia, tatap matanya, kamu pasti akan menemukan cinta yang begitu besar di dalam dirinya. Kamu hanya perlu waktu untuk melihat cinta yang dia punya." jelas Aksa.
"Tapi Akbar-"
"Ra, dengarkan aku! Kita tidak akan bisa bersama. Kamu akan bahagia jika bersama pria itu, dia jauh lebih baik dariku." imbuh Aksa.
"Tidak ada pria lain Akbar, aku-"
"Ada Ra, ada. Pria itu sangat dekat dengan kamu, kamu saja yang tidak pernah melihat dia. Tidak ada cinta yang lebih besar dari cinta yang dia miliki untukmu, buka hatimu untuknya!" potong Aksa.
"Tapi siapa? Aku benar-benar tidak mengerti maksud ucapanmu." lirih Inara.
"Lupakan aku! Setelah itu, kamu pasti mengerti maksud ucapanku."
"Tut Tut"
Tiba-tiba panggilan itu terputus hingga membuat Inara merasa sangat terpukul.
Kenapa Akbar begitu tega menyuruh Inara melupakannya dan membuka hati untuk pria lain? Apa Akbar sudah gila?
Bersambung...