Bagaimana perasaanmu jika jadi aku? Menjadi istri pegawai kantoran di sudut kota kecil, dengan penghasilan yang lumayan, namun kamu hanya di beri uang lima puluh ribu untuk satu minggu. Dengan kebutuhan dapur yang serba mahal dan tiga orang anak yang masih kecil.
Itulah yang aku jalani kini. Aku tak pernah protes apalagi meminta hal lebih dari suamiku. Aku menerima keadaan ini dengan hati yang lapang. Namun, semua berubah ketika aku menemukan sebuah benda yang entah milik siapa, tapi benda itu terdapat di tas kerja suamiku.
Benda itulah yang membuat hubungan rumah tangga kami tak sehat seperti dulu.
Mampukah aku bertahan dengan suamiku ketika keretakan di rumah tangga kami mulai nampak nyata?
Jika aku pergi, bisakah aku menghidupi ke tiga anakku?
Ikuti perjalanan rumah tangga ku di sini. .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Dipermalukan Lagi
Setelah beberapa saat saling tatap dalam diam, Rifki membalikkan badan dan izin pulang. Tak lupa mulutnya bergumam pelan. Aku hanya menahan senyum jika melihat Rifki seperti itu.
Setelah kepergian Rifki, Dara berlari ke arahku.
"Siapa, sih mbak? Ngeselin banget orangnya."
"Sahabat, mbak. Memang begitu orangnya, jangankan sama kamu, sama mbak aja dia ngeselin kok. Ada apa? Tumben masih pagi udah keluyuran?"
"Abang ngomel mulu sama aku, sebel aku jadinya," kata Dara cemberut.
"Tumben, biasanya juga udah berangkat kerja, kan?"
"Lagi nggak enak badan, masuk angin katanya."
"Memang kamu ada salah apa kok diomelin?"
Belum sempat Dara menjawab, ponsel yang di tangannya bergetar pendek-pendek. Gadis itu melihat siapa si pengirim pesan. Di detik berikutnya, dia celingukan di jalan.
"Ada apa?"
"Pesan dari Abang, ngomel lagi. Katanya kalau aku curhat soal dia, uang jajan aku dikurangi. Apa dia barusan lewat sini ya, mbak?"
"Kalau dia ngomel dalam hal baik, ya itu artinya dia sayang sama kamu, Dar. Nggak boleh begitu. Ngomong-ngomong, abang kamu kerjanya apa, sih? Kok berangkat pagi pulang malam?"
"Supir taksi online. Dia kerja keras buat kita semua mbak, anak kembarnya, ibu, aku. Kuliah aku kan juga butuh biaya mahal. Sebenernya aku mau bantuin kerja, tapi di larang sama dia. Suruh fokus aja sama kuliah. Kadang aku kasian lihat dia pulang malam, wajahnya cape banget, tapi dia ngomel mulu."
"Dia begitu karena sayang, Dar. Dia kan kepala keluarga, jadi dia mau yang terbaik buat semuanya. Kalau kamu cari uang sendiri, mbak bisa bantu. Jualan aja kayak, mbak. Nggak akan nyita waktu kamu. Tinggal posting-posting aja, nanti biar mbak yang urus pengiriman."
"Jualan produk yang sering mbak jual itu?"
"Iya, tapi kamu bantu posting aja, jangan cari untung lagi. Yang cari untung biar mbak aja, nanti hasilnya kita bagi dua."
"Boleh." Tanpa ada pertanyaan lagi, Dara langsung mengiyakan apa yang aku tawarkan.
"Kamu nggak nanya berapa keuntungan aku dan nanti dibagi menjadi berapa persen? Langsung iya aja? Nanti kalau mbak tipu, gimana?"
"Kata abang, kita nggak boleh pilih-pilih kerja. Selagi pekerjaan kita halal, jangan ditanya gaji, bonus dan yang lainnya. Fokus sama pekerjaannya dulu, lalu cintai jadi nanti kita kerja nggak berasa kerja. Berasa melakukan hobi aja. Jadi sekarang aku mau praktekkan apa yang selalu di bilang sama abang."
Aku hanya manggut-manggut membenarkan apa kata orang yang selalu dipanggil abang oleh Dara. Mesti hingga kini aku tak tahu bagaimana bentuk dan rupanya. Tapi jika mendengar cerita dari Dara dan bu Lin, aku merasa laki-laki itu laki-laki yang baik dan tanggung jawab. Hanya saja dia sama sepertiku, kurang beruntung dalam hal percintaan.
Setelah ngobrol ngalor ngidul, Dara pamit pulang. Tak lupa dia menculik Anin dari pangkuanku. Dia selalu begitu saat kuliahnya sedang libur. Mengambil salah satu dari anakku untuk dia bawa pulang, bahkan terkadang ketiganya.
*
Hari ini adalah hari terakhir aku mediasi. Aku berharap mediasi kedua ini berjalan lancar dan sesuai dengan apa yang aku inginkan. Meskipun sebenarnya aku tak siap bertemu dengan Anang lagi setelah mendengar cerita dari Rifki kemarin.
Seperti biasa, setelah aku menitipkan anak-anak pada bu Lin terlebih dahulu sebelum pergi.
"Hati-hati, Yu." Kata itu tak pernah terlupakan oleh bu Lin.
Di antara penduduk kompleks yang tak besar ini, aku paling akrab dengan bu Lin. Selain beliau sering aku titipin anak, beliau adalah sosok wanita penyayang. Sangat terlihat dari beliau yang memperlakukan aku seperti anaknya sendiri. Aku merasakan punya ibu setelah tiga puluh tahun hidup.
Setelah setengah jam perjalanan, aku sudah sampai di tempat mediasi. Kali ini aku datang lebih awal. Setelah beberapa saat menungu, akhirnya Anang datang juga.
Aku sedikit tercengang, rupanya yang dikatakan Rifki kemarin benar. Anang nampak pucat dan semakin kurus saja. Padahal baru seminggu yang lalu aku bertemu dengannya, tapi nampaknya berat badan Anang semakin mengecil.
Mediasipun dimulai. Mediasi kali ini berjalan lebih cepat, karena Anang tak membeberkan keinginannya untuk kembali. Dengan begitu, permintaanku untuk pisahpun di kabulkan.
Aku keluar lebih dulu dari ruangan, di susul Anang berjalan di belakangku.
"Yu," panggilnya.
Aku berhenti berjalan tanpa menjawab. Pandanganku pun lurus ke arah jalan.
"Aku boleh ketemu anak-anak, kan? Biar bagaimanpun, mereka anak-anakku."
Sungguh tak kuat hati ini mendengar kata-kata melas darinya. Berkali-kali aku bergumam dalam hati untuk mengingatkan diri sendiri bahwa dia sudah sangat menyakiti hatiku.
"Boleh, kamu boleh ketemu sama mereka kapanpun kamu mau. Akan aku catatkan untuk alamat rumah yang baru, ya." Aku mengambil secarik kertas dan bolpoin yang memang selalu aku bawa kemana-mana.
Aku menyerahkan padanya setelah itu.
"Makasih, ya. Akan aku usahakan untuk menyempakan waktuku untuk anak-anak. Untuk nafkah anak-anak, tetap aku akan tanggung jawab."
"Nggak perlu. Aku bisa mencukupi kebutuhan anak-anak. Aku akan minta ke kamu jika memang aku lagi nggak ada uang. Anak istri mu yang lain juga perlu uang kamu, apalagi kamu juga menanggung kehidupan ibu dan adik kamu. Aku pamit, ya."
Tanpa mendengar jawaban darinya, aku pergi dari sana. Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja ibu Anang menghampiriku dan memukul pipiku dengan sekeras-kerasnya. Aku yang mendapat serangan mendadak tentu saja tak bisa menghindar.
"Dasar, perempuan tidak tahu diri kamu, kurang ajar sekali menggadaikan rumah orang sembarangan. Kamu pikir kamu siapa?" tanyanya dengan lantang yang membuat beberapa orang di sekeliling kami menjadi melihat kearahku.
Belum sempat aku menjawab, Anang sudah datang menghampiri kami. Sementara aku masih sedikit tertegun sambil memegang pipi yang terasa memanas.
"Ibu, apa-apaan, sih. Malu dilihat orang banyak. Lagian ibu bagaimana bisa sampai sini, sih bu. Ayo kita pulang!" ajak Anang menggeret ibunya pelan.
"Kali ini kamu selamat, Ayu. Lihat saja nanti, saya sendiri yang akan membuat kamu menderita karena sudah merusak hidup anak saya." Ibu Anang berjalan sambil berteriak.
Aku diam dengan tangan yang masih menempel di pipi. Tak terasa mataku berembun.
Merusak hidup anaknya? Bukan aku yang merusak, dia sendiri yang merusak hidupnya dengan menyakitiku. Itulah balasan dari Tuhan, itulah yang disebut dengan karma.
Aku menghapus air mata yang terjun tanpa parmisi. Aku melanjutkan langkah dengan anggun dan percaya diri meski orang-orang yang di sana melihatku dengan tatapan dingin. Aku membiarkannya, wajar jika mereka menatapku seperti itu, karena yang mereka tahu, aku sudah kurang ajar dengan menggadaikan rumah laki-laki yang akan jadi mantan suamiku. Tapi mereka tak tahu apa alasan aku melakukan itu. Ah, biarkan saja.
ceritanya sperti di dunianya nyata.