NovelToon NovelToon
Pernikahan Tanpa Pilihan

Pernikahan Tanpa Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Cinta Paksa
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.

Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.

Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PTP Episode 14

"Sampai kapan kau seperti ini terus Vin." Ucap Ny. Lisna.

Memandang anaknya, Calvin yang terus murung, pandangan kosong, setelah pernikahannya batal karena pengantin wanita telah berpulang ke rahmatullah.

Calvin tidak menjawab. Ia hanya duduk di tepi ranjang, menatap lantai dengan tatapan kosong. Sejak hari itu, hari di mana seharusnya ia mengucapkan janji suci di depan altar, dunianya seakan runtuh. Yang ada hanya kehampaan.

Ny. Lisna menghela napas pelan, mencoba menahan air matanya sendiri. Melihat putranya hancur seperti ini membuat hatinya pedih. Dulu, Calvin adalah pria yang penuh semangat, penuh rencana dan impian untuk masa depannya bersama wanita yang dicintainya.

Namun kini, ia seperti bayangan dari dirinya yang dulu. Hidup, tetapi seolah tidak benar-benar ada.

"Vin, Ibu tahu ini sulit. Kehilangan seseorang yang kita cintai… tidak pernah mudah," ucapnya lembut, duduk di samping Calvin dan menyentuh tangannya.

Calvin tetap diam, tetapi rahangnya mengeras.

"Tapi Nak, sampai kapan kamu akan terus seperti ini?" lanjut Ny. Lisna, suaranya bergetar. "Dia pasti tidak ingin melihatmu seperti ini. Kamu tahu itu, kan?"

Calvin mengepalkan tangannya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia mengangkat wajahnya, menatap ibunya dengan mata yang memerah dan sayu.

"Aku tidak tahu, Bu…" suaranya serak. "Aku tidak tahu bagaimana caranya melanjutkan hidup tanpa dia."

Ny. Lisna mengusap punggung tangan anaknya dengan lembut. "Kamu tidak perlu melupakannya, Vin. Cinta itu tidak hilang begitu saja. Tapi kamu harus belajar berdamai dengan kepergiannya."

Air mata Calvin akhirnya jatuh. Dadanya sesak, rasa sakit itu begitu dalam, seolah tidak ada akhirnya.

"Tidak semudah itu, Bu…" bisiknya.

"Ibu tahu," jawab Ny. Lisna, menggenggam tangannya lebih erat. "Tapi kamu tidak sendiri, Nak. Ibu di sini. Keluargamu di sini. Jangan biarkan rasa kehilangan ini menghancurkanmu."

Calvin menutup matanya, membiarkan air matanya mengalir lebih deras. Ia tahu ibunya benar. Tapi bagaimana ia bisa berjalan lagi, ketika separuh jiwanya telah pergi?

"Sekarang, aku mohon. Tinggal aku sendiri, Bu."

Ny. Lisna menatap putranya dengan perih. Ia ingin membantunya, ingin menariknya keluar dari jurang kesedihan yang semakin dalam. Tapi jika Calvin sendiri tidak mau mengulurkan tangan, apa yang bisa ia lakukan?

Ia menghela napas berat, lalu berdiri perlahan. "Baiklah, Vin. Ibu tidak akan memaksa," suaranya lirih, penuh kepasrahan. "Tapi tolong, jangan terlalu lama tenggelam dalam kesedihan ini. Hidupmu masih panjang, Nak."

Calvin tidak menjawab. Matanya tetap tertuju ke lantai, seakan dunia di sekelilingnya tidak lagi berarti.

Ny. Lisna menahan air mata yang hampir jatuh. Ia ingin memeluk putranya, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi ia tahu, saat ini, kata-kata tidak akan mengubah apa pun.

Dengan langkah berat, ia meninggalkan kamar, membiarkan Calvin sendirian seperti yang ia minta.

Saat pintu tertutup, keheningan kembali menyelimuti ruangan. Calvin menatap kosong ke arah jendela, melihat hujan gerimis yang turun perlahan. Rasanya seperti hatinya. Dingin, suram, dan tak berujung.

Ia menarik napas dalam, lalu berbisik pelan, hampir tak terdengar.

"Apa gunanya hidup, kalau tanpa dia…?"

Ny. Lisna menutup pintu dengan wajah sendu. Di depan pintu, suaminya, Tuan Bastian, sudah berdiri menunggunya. Pria itu menatapnya dengan cemas.

"Bagaimana dia?" tanyanya pelan.

Ny. Lisna menggeleng lemah, matanya berkaca-kaca. "Masih sama. Dia bahkan tidak menatapku, hanya diam dan menatap kosong."

Tuan Bastian menghela napas berat. Ia sudah menduga jawabannya, tetapi tetap saja, hatinya sesak melihat putranya hancur seperti ini.

"Sudah hampir tiga bulan, Bastian…" suara Ny. Lisna bergetar. "Aku takut dia tidak akan pernah bisa bangkit lagi."

Tuan Bastian meremas bahu istrinya dengan lembut, mencoba menenangkannya meski hatinya sendiri ikut hancur. "Kita harus sabar, Lisna. Setiap orang punya cara masing-masing untuk menghadapi kehilangan."

"Tapi sampai kapan?" Ny. Lisna menatap suaminya, air mata mulai jatuh ke pipinya. "Aku takut dia menyerah. Aku takut kehilangan dia juga…"

Tuan Bastian mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ia tahu betul bagaimana rasa kehilangan bisa mengubah seseorang. Ia sendiri pernah merasakannya di masa lalu. Tapi Calvin… putranya itu masih terlalu muda untuk menyerah pada hidup.

"Aku akan bicara dengannya," katanya akhirnya.

Ny. Lisna menatapnya ragu. "Kau yakin dia akan mendengarkanmu?"

Tuan Bastian tidak langsung menjawab. Ia menoleh ke pintu kamar Calvin, menarik napas dalam, lalu mengangguk. "Dia harus mendengarkan. Aku tidak akan membiarkan anak kita terus seperti ini."

Dengan langkah mantap, ia mengetuk pintu kamar Calvin.

"Vin, ini Ayah. Boleh Ayah masuk?"

Tidak ada jawaban dari dalam kamar.

Tuan Bastian menunggu sejenak, berharap setidaknya ada reaksi dari Calvin. Namun, yang terdengar hanya keheningan.

Ia menatap Ny. Lisna sekilas sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka pintu perlahan.

Di dalam, Calvin duduk di tepi ranjang, tubuhnya sedikit membungkuk, pandangannya kosong ke arah lantai. Rambutnya berantakan, dan lingkaran hitam di bawah matanya menandakan betapa sedikitnya ia tidur dalam beberapa minggu terakhir.

Tuan Bastian melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum duduk di kursi di dekat ranjang Calvin.

"Vin," panggilnya pelan.

Calvin tetap diam, seolah tidak mendengar.

Tuan Bastian menatap putranya dengan perasaan campur aduk. Sedih, kecewa, tetapi juga penuh kasih sayang. Ia tahu kata-kata tidak akan dengan mudah menembus dinding yang telah Calvin bangun di sekelilingnya. Namun, ia tidak bisa hanya diam dan membiarkan anaknya larut dalam kesedihan seperti ini.

"Ayah tahu ini sulit untukmu," lanjutnya. "Kami semua tahu. Kehilangan seseorang yang kau cintai… itu menyakitkan."

Masih tidak ada respons.

Tuan Bastian menghela napas, mencoba pendekatan lain. "Tapi kau tidak sendiri, Vin. Ibu sangat mengkhawatirkanmu. Kami semua mencintaimu. Kami tidak ingin kehilanganmu juga."

Calvin akhirnya menggerakkan kepalanya sedikit, tetapi matanya tetap terpaku pada lantai.

"Ayah tahu, saat ini mungkin semua terasa hampa bagimu," suara Tuan Bastian melembut.

"Tapi hidup tidak berhenti hanya karena seseorang pergi. Kau masih di sini, Vin. Dan ada banyak orang yang masih membutuhkanmu."

Calvin mengepalkan tangannya, tetapi tetap tidak berbicara.

Tuan Bastian menatapnya dengan penuh kesabaran. "Tidak apa-apa kalau kau butuh waktu. Tapi jangan menutup dirimu selamanya."

Setelah beberapa saat, Calvin akhirnya menghela napas, meskipun sangat pelan. Itu bukan jawaban, tetapi setidaknya itu reaksi.

Tuan Bastian tahu, ini akan menjadi proses yang panjang. Tetapi melihat Calvin sedikit saja bereaksi, itu cukup baginya untuk saat ini.

Ia berdiri, menepuk bahu putranya dengan lembut. "Kami ada di sini, Vin. Saat kau siap bicara, kapan pun itu, kami akan mendengarkan."

Tanpa menunggu jawaban, Tuan Bastian keluar dari kamar, meninggalkan Calvin sendirian.

Di luar, Ny. Lisna menatap suaminya dengan penuh tanya.

"Ada perubahan?" tanyanya penuh harap.

Tuan Bastian menghela napas, lalu mengangguk pelan. "Sedikit. Tapi aku rasa, itu awal yang baik."

Ny. Lisna mengangguk, matanya kembali berkaca-kaca. "Semoga dia bisa kembali pada dirinya yang dulu..."

Tuan Bastian merangkul istrinya, menatap pintu kamar Calvin dengan perasaan yang sama. Mereka hanya bisa berharap dan terus berada di sisinya.

******

Ny. Lisna duduk di ruang keluarga, menatap foto pernikahan Calvin dan Hazel yang batal terlaksana. Matanya menerawang, pikirannya dipenuhi rasa khawatir.

Ia tidak tahan melihat putranya terus terpuruk dalam kesedihan. Sudah berbulan-bulan berlalu sejak kepergian Hazel, tetapi Calvin masih menutup diri. Ia hampir tidak pernah keluar kamar, tidak berbicara banyak, dan seolah kehilangan semangat hidup.

Sebagai seorang ibu, Ny. Lisna tidak ingin Calvin hidup dalam bayang-bayang masa lalu selamanya. Ia ingin putranya bangkit, kembali menjalani hidup, dan... menemukan seseorang yang bisa mengisi kekosongan di hatinya.

Seseorang yang bisa menggantikan Hazel.

"Apa yang sedang Ibu pikirkan?" tanya Tuan Bastian yang baru saja duduk di sampingnya.

Ny. Lisna menghela napas. "Aku hanya khawatir tentang Calvin. Sampai kapan dia akan seperti ini? Aku takut kalau dia terus terpuruk, dia tidak akan pernah bisa move on."

Tuan Bastian mengangguk pelan, memahami kekhawatiran istrinya. "Dia hanya butuh waktu."

"Berapa lama lagi?" suara Ny. Lisna terdengar lirih. "Aku tidak ingin dia hidup sendiri selamanya. Aku ingin dia menemukan kebahagiaannya lagi."

Tuan Bastian menatap istrinya dengan penuh perhatian. "Apa yang kau maksud?"

Ny. Lisna menggenggam tangannya erat-erat. "Aku berpikir... mungkin sudah waktunya Calvin bertemu seseorang yang baru. Seseorang yang bisa membantunya melupakan Hazel dan membuka hatinya lagi."

Tuan Bastian menghela napas panjang. "Lisna, kita tidak bisa memaksanya. Perasaan tidak bisa dipaksakan begitu saja."

"Aku tahu," Ny. Lisna mengangguk, lalu menatap suaminya dengan serius. "Tapi jika kita tidak melakukan sesuatu, dia akan terus seperti ini. Aku hanya ingin melihatnya bahagia lagi."

Tuan Bastian terdiam sejenak. Ia mengerti maksud istrinya, tetapi ia juga tahu bahwa Calvin bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta lagi setelah kehilangan seseorang yang begitu berarti baginya.

Namun, ia juga tidak ingin melihat putranya terpuruk lebih lama.

"Apa kau sudah memiliki seseorang dalam pikiran?" tanyanya akhirnya.

Ny. Lisna tersenyum tipis. "Belum, tapi aku akan mencari seseorang yang tepat untuk Calvin. Aku yakin masih ada wanita baik di luar sana yang bisa membuatnya bangkit lagi."

Tuan Bastian menatap istrinya dengan ragu. "Kau yakin ini yang terbaik? Calvin masih berduka, Lisna. Bagaimana jika dia merasa kau terlalu memaksanya?"

Ny. Lisna menghela napas, menatap foto Calvin dan Hazel yang masih terpasang di dinding. "Aku tahu ini tidak mudah. Aku hanya ingin dia memiliki seseorang yang bisa mendampinginya, membantunya melewati semua ini."

Tuan Bastian mengangguk pelan. "Kalau begitu, kita harus melakukannya dengan hati-hati. Jangan sampai Calvin merasa kita mencoba menggantikan Hazel begitu saja."

"Aku tahu," Ny. Lisna menatap suaminya dengan penuh keyakinan. "Aku hanya ingin melihatnya bahagia lagi. Itu saja."

Di dalam kamar, Calvin duduk di tepi ranjangnya, menatap kosong ke luar jendela. Ia bisa mendengar suara orang tuanya berbicara di ruang tamu, meski tidak bisa menangkap semua kata-kata mereka.

Tapi ia tahu apa yang mereka bicarakan.

Mereka ingin dia melanjutkan hidup.

Mereka ingin dia menemukan seseorang yang baru.

Namun, bagi Calvin, tidak semudah itu. Hazel bukan sekadar tunangan, dia adalah rumah, tempat di mana hatinya berlabuh. Kehilangannya bukan sesuatu yang bisa ia lupakan begitu saja.

Tapi... sampai kapan ia akan terus seperti ini?

Calvin memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Mungkin orang tuanya benar. Mungkin sudah saatnya ia belajar menerima kenyataan, meski hatinya belum sepenuhnya siap.

1
atik
lanjut thor, semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!