NovelToon NovelToon
Mantan Calon Istri Yang Kamu Buang Kini Jadi Jutawan

Mantan Calon Istri Yang Kamu Buang Kini Jadi Jutawan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Bepergian untuk menjadi kaya / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Balas Dendam
Popularitas:836
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Satu surat pemecatan. Satu undangan pernikahan mantan. Dan satu warung makan yang hampir mati.

​Hidup Maya di Jakarta hancur dalam semalam. Jabatan manajer yang ia kejar mati-matian hilang begitu saja, tepat saat ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan teman lama sekaligus rekan sekantornya. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halaman—sebuah langkah yang dianggap "kekalahan total" oleh orang-orang di kampungnya.

​Di kampung, ia tidak disambut pelukan hangat, melainkan tumpukan utang dan warung makan ibunya yang sepi pelanggan. Maya diremehkan, dianggap sebagai "produk gagal" yang hanya bisa menghabiskan nasi.

​Namun, Maya tidak pulang untuk menyerah.

​Berbekal pisau dapur dan insting bisnisnya, Maya memutuskan untuk mengubah warung kumuh itu menjadi katering kelas atas.

​​Hingga suatu hari, sebuah pesanan besar datang. Pesanan katering untuk acara pernikahan paling megah di kota itu. Pernikahan mantan tunangannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 4: Pelanggan Pertama dan Harapan Baru

​"Bahan yang tersisa cuma ini, Arlan. Kamu nggak keberatan makan menu seadanya?"

​Maya berdiri di depan meja Arlan, tangannya sibuk mengelap nampan kayu tua. Dia baru saja memeriksa isi kulkas kecil yang nyaris kosong. Hanya ada sisa nasi, sedikit suwiran ikan cakalang pedas yang dimasak ibunya tadi pagi, dan selembar daun pisang yang masih cukup segar di pojok lemari makan.

​Arlan mendongak, matanya yang tajam tampak meredup karena rasa kantuk dan lapar yang luar biasa. "Asal bukan batu, saya makan. Saya benar-benar butuh tenaga untuk mikir kenapa mobil semahal itu bisa mogok di tengah desa seperti ini."

​"Mobil mahal bukan jaminan nggak bisa ngambek, apalagi kalau yang punya hobi telat servis," sahut Maya santai sambil berbalik menuju dapur.

​"Eh? Kamu tahu dari mana saya telat servis?" Arlan sedikit terkejut, suaranya naik satu nada.

​"Suara mesinnya tadi kedengaran kering. Kayak tenggorokan yang dipaksa teriak tanpa minum," jawab Maya tanpa menoleh. Dia mulai menyalakan kompor.

​Maya bekerja dengan lincah. Dia mencampur nasi dengan bumbu rempah kuning yang dia ulek kilat. 

Wangi kunyit, serai, dan daun jeruk langsung menyeruak, bertarung dengan udara malam yang dingin. Dia membungkus nasi itu dengan daun pisang, menyisipkan suwiran cakalang pedas di tengahnya, lalu membakarnya di atas panggangan arang kecil yang masih menyala.

​Aroma daun pisang yang terbakar menciptakan bau asap yang sangat menggoda selera, sebuah aroma tradisional yang tidak akan pernah ditemukan Arlan di restoran mewah Jakarta.

​"Ini namanya Nasi Bakar Cakalang. Hati-hati, pedasnya bisa bikin kamu lupa jalan pulang," ucap Maya sambil menyajikan bungkusan daun pisang yang masih berasap di depan Arlan.

​Arlan tidak banyak bicara lagi. Dia membuka bungkusan itu, uap panas langsung menerpa wajahnya.

 Dia mengambil suapan pertama. Matanya terpejam seketika. Kunyahan pertama membuatnya terdiam cukup lama.

​"Gimana? Terlalu kampung rasanya?" tanya Maya sambil bersandar di etalase warung.

​Arlan menelan makanannya, lalu menatap Maya dengan serius. "Kamu... kamu belajar masak di mana? Ini gila. Saya sering makan di restoran bintang lima di pusat kota, tapi rasanya nggak ada yang seberani ini. Rempahnya pas, ikannya gurih, dan ada sensasi asap yang... ini luar biasa."

​"Rahasia dapur. Lagipula, orang lapar biasanya memang merasa semua makanan itu enak," Maya mencoba merendah, tapi hatinya merasa sedikit terbang mendengar pujian tulus itu.

​"Enggak, ini beda. Kamu punya bakat," Arlan kembali menyuap dengan lahap, seolah lupa dengan setelan jas mahalnya yang kini sedikit terkena remah nasi.

​Tepat saat Arlan sedang asyik menikmati suapan terakhirnya, suara pintu depan yang tidak tertutup rapat didorong dengan kasar.

​"Mbak Sum! Duh, Mbak Sum! Ibumu sudah tidur, May?"

​Tante Rosa masuk dengan daster macan tutul andalannya, rambutnya masih terbungkus handuk. Dia membawa sebuah panci kecil di tangannya. 

Matanya yang hobi mencari masalah itu langsung membelalak lebar saat melihat mobil mewah parkir di depan dan ada seorang pria tampan duduk di dalam warung kakaknya yang kumuh.

​"Oalah! Ada tamu toh? Kok nggak bilang-bilang?" Tante Rosa langsung mengubah suaranya jadi manis yang dibuat-buat, sambil membetulkan letak emas di tangannya agar berkilauan kena lampu.

​"Mau apa, Tante? Sudah malam," suara Maya dingin. Dia tidak bergerak dari posisinya.

​"Ini lho, Tante mau pinjam panci presto yang besar. Mau buat bandeng besok. Punya Tante lagi dipinjam tetangga sebelah," Tante Rosa bicara tapi matanya melirik Arlan terus-menerus. "Eh, ini siapa, May? Teman kantor dari Jakarta? Duh, ganteng tenan ya, kayak bintang film."

​Arlan hanya mengangguk sopan tanpa suara, lalu kembali fokus pada piringnya.

​"Pancinya mau dipakai Ibu. Lagian tumben amat pinjam ke sini, biasanya Tante bilang barang-barang di warung Ibu itu barang loakan yang sudah nggak layak pakai," sindir Maya telak.

​Wajah Tante Rosa memerah sesaat, tapi dia belum mau menyerah. "Duh, Maya, kamu ini kalau ngomong suka sembarangan. Tante kan cuma mau bantu promosiin warung ibumu. Mas, jangan dengerin dia ya. Mas ini pengusaha ya? Mobilnya bagus banget, beli di mana? Keponakan saya ini memang agak ketus sejak dipecat dari kantornya, maklumi aja ya."

​Maya merasakan dadanya memanas. Tante Rosa benar-benar tidak punya urusan selain merendahkan orang lain.

​"Tante, mending Tante pulang sekarang. Arlan ini lagi butuh ketenangan, bukan siaran radio rusak," kata Maya tanpa ekspresi.

​"Lho! Kamu berani ngusir Tante sendiri? Tante ini mau pinjam panci!"

​"Nggak ada panci buat Tante. Dan jangan ganggu pelanggan saya. Keluar sekarang atau saya panggil warga kalau ada orang asing masuk rumah malam-malam tanpa izin pemiliknya," Maya melangkah mendekati Tante Rosa, matanya menatap tajam.

​Tante Rosa mencibir, wajahnya kesal luar biasa. "Sombong ya kamu sekarang! Mentang-mentang ada tamu kota! Awas ya, kalau nanti warung ini disita bank, jangan nangis-nangis di depan rumah Tante!"

​Dengan hentakan kaki yang keras, Tante Rosa pergi sambil mengomel tidak jelas. Suasana kembali hening, hanya ada suara detak jam dinding tua.

​Arlan membersihkan mulutnya dengan tisu, lalu tertawa kecil. "Keluargamu unik juga."

​"Unik itu kata halus buat menyebalkan," sahut Maya sambil mengambil piring kotor Arlan.

​Arlan berdiri, dia merogoh dompet kulitnya yang tebal. Dia mengeluarkan selembar uang seratus ribu, lalu menambahkannya lagi sampai ada lima lembar. Lima ratus ribu rupiah diletakkan di atas meja.

​"Eh, Arlan! Kebanyakan! Harganya cuma tiga puluh ribu," Maya kaget, mencoba mengembalikan uang itu.

​"Simpan saja. Buat ganti rasa nggak enak karena harus dengerin tantemu tadi. Dan untuk nasi bakar yang bisa bikin saya bangun lagi setelah hari yang buruk," Arlan tersenyum tipis. "Oh, mesin mobil saya sepertinya sudah mulai dingin. Montir saya juga sudah di depan."

​Arlan berjalan menuju pintu, tapi kemudian dia berhenti. Dia merogoh saku jasnya, mengeluarkan sebuah kartu nama berwarna hitam elegan dengan tulisan emas timbul: Arlan Dirgantara - CEO Dirgantara Utama Group.

​"Maya," panggilnya.

​Maya menoleh, masih memegang uang lima ratus ribu itu dengan bingung. "Ya?"

​Arlan menatap warung yang berdebu itu, lalu menatap Maya yang terlihat lelah tapi punya binar kuat di matanya. "Saya punya acara di kantor cabang saya di kota kabupaten besok. Sebenarnya saya sudah pesan katering, tapi setelah makan nasi bakarmu, saya rasa katering langganan saya rasanya kayak hambar semua."

​Maya menahan napas. Dia punya firasat arah pembicaraan ini.

​"Saya butuh katering untuk makan siang kantor saya besok. 50 kotak. Menunya terserah kamu, asal standarnya sama dengan yang saya makan tadi. Bisa?" Arlan memberikan kartu namanya ke tangan Maya.

​Maya tertegun. Jantungnya berdegup kencang. Ini adalah kesempatan emas untuk membayar bunga bank ibunya yang ditagih Bang Jago. Tapi di saat yang sama, otaknya langsung menghitung cepat. 50 kotak katering butuh modal besar. Dia butuh ayam, daging, sayuran segar, kemasan yang layak, dan transportasi.

​Uang lima ratus ribu dari Arlan barusan bahkan tidak akan cukup untuk membeli dagingnya saja. Dompet Maya kosong melompong.

​"Besok jam berapa?" suara Maya bergetar.

​"Jam dua belas siang tepat. Jangan telat, karena itu rapat penting," jawab Arlan sambil melangkah menuju mobilnya yang sudah mulai menyala. "Saya tunggu, Maya. Jangan kecewakan saya."

​Mobil mewah itu meluncur pergi, meninggalkan debu yang berterbangan di depan warung. Maya berdiri mematung di teras, memegang kartu nama Arlan di tangan kanan dan uang lima ratus ribu di tangan kiri. Dia punya pesanan besar, dia punya harapan, tapi dia tidak punya cukup modal untuk belanja besok pagi.

​Ibu keluar dari kamar dengan wajah cemas. "Maya? Ibu dengar ada pesanan katering?"

​Maya menoleh ke arah ibunya, mencoba tersenyum meskipun keringat dingin mulai membasahi punggungnya. "Iya, Bu. 50 kotak. Tapi..."

​"Tapi apa, Nak?"

​Maya menatap dompetnya yang tergeletak di meja. "Maya nggak tahu gimana cara belanjanya, Bu. Uang kita nggak cukup."

1
Ma Em
Semangat Maya semoga masalah yg Maya alami cepat selesai dan usaha kateringnya tambah sukses .
Savana Liora: terimakasih udah mampir ya kk
total 1 replies
macha
kak semangat💪💪
Savana Liora: hi kak. makasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!