Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.
Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.
Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25: DARYON TETAP MENYENTUH ALVIONA MESKI HAMIL
#
Seminggu berlalu sejak kunjungan Kireina yang mengerikan itu.
Seminggu Alviona hidup dalam ketakutan konstan—setiap suara langkah membuat jantungnya berdebar, setiap ketukan pintu membuat tubuhnya tegang, setiap bayangan di koridor membuat napasnya tertahan.
Tapi yang paling menakutkan bukan ancaman dari luar.
Yang paling menakutkan... adalah ancaman dari dalam rumah ini sendiri.
---
Malam itu, Alviona sudah tidur—atau lebih tepatnya, mencoba tidur—di kamarnya yang gelap. Tangannya seperti biasa berada di perut, mengelus lembut bayinya yang sekarang berusia hampir 10 minggu.
"Selamat malam, sayang," bisiknya pelan pada perutnya. "Besok ibu akan coba makan lebih banyak ya, biar kamu tumbuh sehat dan kuat..."
Rutinitas malam yang sudah jadi kebiasaan—berbisik pada bayinya sebelum tidur, memberikan kehangatan lewat kata-kata yang tidak pernah dia dapatkan dari ayah sang bayi.
Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama.
Pukul 11 malam, pintu kamarnya terbuka.
Tanpa ketukan.
Tanpa permisi.
Hanya suara handle pintu yang berputar, lalu cahaya koridor yang masuk, menyinari siluet yang Alviona kenali dengan tubuh yang langsung menegang.
Daryon.
Dia berdiri di ambang pintu dengan kemeja kantor yang sudah setengah dibuka, dasi hilang, rambut sedikit berantakan. Matanya menatap Alviona di ranjang dengan tatapan yang... Alviona sudah terlalu kenal.
Tatapan lapar.
Tatapan yang tidak peduli dengan apa yang Alviona mau atau tidak mau.
"Daryon..." Alviona berbisik, duduk di ranjang dengan cepat, tangannya reflek meraih selimut untuk menutupi tubuhnya—seolah kain tipis itu bisa melindunginya. "Aku... aku sudah tidur..."
Daryon menutup pintu di belakangnya.
Klik.
Suara kunci yang membuat Alviona ingin menangis setiap kali mendengarnya.
"Bangun," ucapnya datar—bukan permintaan, perintah.
"Tapi... tapi aku hamil..." Alviona mencoba alasan yang dia pikir akan berhasil—alasan yang seharusnya membuat suami normal peduli, hati-hati. "Aku... aku tidak boleh terlalu—"
"Aku tahu kau hamil." Daryon berjalan mendekati ranjang dengan langkah yang steady, controlled—yang justru lebih menakutkan dari langkah marah. "Dan aku sudah cek dengan dokter."
Dia berhenti di tepi ranjang, menatap Alviona dari atas dengan tatapan yang dingin.
"Dokter bilang masih aman sampai trimester kedua."
Kata-kata itu jatuh seperti vonis.
Alviona merasakan dadanya sesak. "Tapi... tapi aku—"
"Kau tetap istriku," potong Daryon dingin. "Dan aku punya hak."
"Kumohon..." Alviona mundur di ranjang sampai punggungnya menyentuh headboard, tangannya meraih perut dengan protektif. "Kumohon lebih lembut... demi bayi... demi anakmu..."
Sesuatu berkilat di mata Daryon—sangat cepat sampai Alviona hampir tidak melihatnya—tapi kemudian hilang, digantikan tatapan dingin yang sama.
"Aku akan... berusaha." Kata-kata itu keluar tanpa emosi, tanpa janji nyata.
Tapi "berusaha" Daryon dan "lembut" yang Alviona harapkan adalah dua hal yang sangat berbeda.
---
**[Menggunakan teknik "implied" untuk keamanan platform - fokus pada dampak emosional]**
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Daryon mengambil apa yang dia anggap "haknya."
Alviona mencoba—benar-benar mencoba—untuk tidak melawan terlalu keras, takut gerakan kasar akan menyakiti bayi. Tapi setiap sentuhan terasa seperti pengkhianatan pada janin kecil di perutnya.
Setiap kali tubuhnya diguncang, pikirannya berteriak: *Bayi! Bayiku!*
Setiap kali ada rasa sakit yang tajam, tangannya ingin meraih perut tapi tertahan karena Daryon mencengkeram pergelangan tangannya.
"Daryon... kumohon... pelan..." suaranya keluar parau, bergetar, air mata mengalir di pipi.
Tapi Daryon seperti tidak mendengar.
Atau lebih tepatnya... tidak peduli.
Yang dia lihat bukan istri yang hamil anaknya.
Yang dia lihat hanya... objek untuk melampiaskan kebutuhan fisiknya.
Dan ketika semuanya selesai—ketika Daryon bangkit dari ranjang, merapikan celana, berjalan keluar tanpa sepatah kata—Alviona tergeletak lemas dengan tubuh yang gemetar dan hati yang remuk.
Pintu ditutup.
Meninggalkan Alviona sendirian di kegelapan.
---
Alviona tidak bergerak untuk beberapa menit.
Hanya berbaring dengan mata terbuka lebar, menatap langit-langit yang gelap, napas pendek-pendek, tubuh masih gemetar dari shock dan trauma.
Tapi yang paling menakutkan bukan rasa sakit di tubuhnya.
Yang paling menakutkan adalah ketakutan yang menghantui pikirannya:
*Apakah bayiku baik-baik saja?*
*Apakah aku... apakah aku baru saja menyakiti bayiku sendiri dengan tidak bisa melindunginya?*
Dengan gerakan yang sangat hati-hati—seolah tubuhnya terbuat dari kaca yang bisa pecah kapan saja—Alviona duduk perlahan.
Setiap gerakan membuat tubuhnya meringis kesakitan.
Tangannya langsung meraih perut—meraba dengan lembut, mencari... entah apa. Tanda bahwa bayinya masih oke. Tanda bahwa dia tidak gagal sebagai ibu.
"Sayang..." bisiknya dengan suara parau, air mata mengalir deras sekarang. "Sayang kumohon... kumohon jawab ibu... kamu baik-baik saja kan?"
Tentu saja tidak ada jawaban.
Bayi masih terlalu kecil untuk bergerak. Terlalu kecil untuk memberi tanda.
Dan ketidaktahuan itu membuat Alviona lebih takut dari apapun.
"Maafkan ibu..." isak tangisnya pecah sekarang, tubuhnya meringkuk di ranjang, memeluk perutnya dengan sangat erat tapi hati-hati. "Maafkan ibu tidak bisa melindungimu... maafkan ibu lemah..."
Dia menangis—menangis dengan suara yang dipaksakan pelan agar tidak ada yang dengar, tapi tangisan yang datang dari tempat paling dalam hatinya.
Tangisan seorang ibu yang merasa gagal melindungi anaknya.
---
Malam itu, Alviona tidak tidur sama sekali.
Dia hanya berbaring dengan posisi miring—posisi yang katanya paling aman untuk ibu hamil menurut buku yang dia baca—dengan tangan terus mengelus perut, berbisik pada bayinya tanpa henti.
"Ibu minta maaf, sayang..."
"Bertahanlah... kumohon bertahanlah..."
"Jangan tinggalkan ibu... kamu satu-satunya yang ibu punya..."
"Ibu janji akan lebih kuat... ibu janji akan cari cara melindungimu..."
Kata-kata itu dia ulang berkali-kali—seperti mantra, seperti doa, seperti janji yang dia buat pada kehidupan kecil yang bergantung padanya.
Cahaya fajar mulai masuk dari celah tirai ketika Alviona akhirnya merasakan mata mulai berat.
Tapi sebelum tertidur, tangannya masih di perut, dan bibirnya masih berbisik:
"Bertahanlah, sayang. Kumohon bertahanlah."
---
Pagi itu, Alviona bangun dengan tubuh yang sakit di mana-mana.
Tapi yang pertama dia lakukan bukan meringis kesakitan.
Yang pertama dia lakukan adalah... mengecek.
Tangannya langsung ke perut—meraba, merasakan—apakah ada yang aneh? Apakah ada kram? Apakah ada darah?
Dia menarik selimut dengan napas tertahan.
Tidak ada darah.
Tidak ada kram yang aneh.
Napas lega keluar dari mulutnya—napas yang bergetar tapi lega.
*Bayi masih aman. Untuk sekarang.*
Tapi relief itu tidak bertahan lama.
Karena dia tahu... malam ini bisa terulang lagi.
Dan malam setelahnya.
Dan malam setelahnya.
Sampai kapan bayinya bisa bertahan?
---
Siang itu, Alviona duduk di kamar dengan buku panduan kehamilan terbuka di halaman "Hubungan Seksual Saat Hamil."
Matanya membaca dengan serius—sangat serius—seolah ini ujian hidup mati.
*"Hubungan seksual umumnya aman selama kehamilan jika tidak ada komplikasi. Namun, posisi dan intensitas harus disesuaikan..."*
*"Hindari tekanan pada perut..."*
*"Komunikasi dengan pasangan sangat penting..."*
*"Jika ada rasa sakit yang tidak normal atau perdarahan setelah hubungan, segera hubungi dokter..."*
Alviona menutup buku itu perlahan.
Komunikasi dengan pasangan.
Kata-kata itu terdengar seperti lelucon kejam.
Bagaimana dia bisa "berkomunikasi" dengan pasangan yang tidak pernah mendengarnya? Yang melihatnya hanya sebagai objek?
Tapi dia harus mencoba.
Untuk bayinya.
Dia harus mencoba.
---
Sore itu, dengan keberanian yang dikumpulkan sepanjang hari, Alviona keluar dari kamarnya.
Langkahnya pelan, hati-hati—masih sakit dari semalam—tapi determined.
Dia turun tangga dengan tangan di pegangan, setiap langkah calculated.
Daryon ada di ruang kerja—pintu terbuka, dia duduk di meja kerja dengan laptop.
Alviona berdiri di ambang pintu, mengetuk pelan.
"Daryon..."
Daryon tidak mengangkat kepala dari layar. "Apa."
Nada datar yang biasa. Nada yang mengatakan dia sibuk dan ini interupsi yang tidak diinginkan.
"Aku... aku perlu bicara..."
"Cepat."
Alviona mengambil napas dalam—napas untuk keberanian.
"Tentang... tentang semalam..."
Daryon akhirnya mengangkat kepala—tatapannya datar, annoyed.
"Ada apa dengan semalam?"
"Aku..." Alviona memasuki ruangan dengan langkah kecil-kecil. "Aku tahu... aku tahu aku tetap istrimu... dan kamu punya... hak... tapi..."
Kata-kata itu sangat sulit keluar—setiap kata terasa seperti menelan pecahan kaca.
"Tapi aku hamil... dan bayi... bayi kita butuh... butuh perlakuan yang lebih hati-hati..."
Daryon bersandar di kursinya, melipat tangan, menatap Alviona dengan tatapan yang membuat Alviona ingin kabur.
"Aku sudah bilang. Dokter bilang aman."
"Tapi... tapi tidak seperti itu, Daryon..." Alviona melanjutkan dengan suara bergetar. "Kalau terlalu kasar... kalau terlalu—"
"Kau bilang aku kasar?" Daryon memotong—suaranya turun, berbahaya.
"Bukan... bukan seperti itu..." Alviona langsung panik, mundur selangkah. "Aku cuma... aku cuma minta tolong... tolong lebih lembut... demi bayi kita..."
Keheningan.
Daryon menatapnya lama—tatapan yang membuat Alviona tidak bisa bernapas.
Lalu dia berdiri.
Berjalan mendekati Alviona dengan langkah lambat.
Alviona ingin mundur tapi punggungnya sudah menyentuh dinding.
Daryon berhenti di depannya—sangat dekat—menatap dari atas dengan tatapan yang... unreadable.
"Kau minta aku lebih lembut?" tanyanya pelan.
Alviona mengangguk kecil, air matanya mulai berkumpul.
"Untuk bayi?"
Anggukan lagi.
Daryon diam sebentar.
Lalu—tanpa ekspresi—dia menjawab:
"Aku akan... pertimbangkan."
Bukan "iya."
Bukan "aku janji."
Cuma "akan pertimbangkan."
Kata-kata yang tidak memberi jaminan apapun.
Dan dengan itu, dia berbalik, kembali ke meja kerjanya, kembali fokus pada laptopnya.
Percakapan selesai.
Alviona berdiri di sana—terhina, diabaikan, tapi tidak berani protes lebih jauh.
Dia berbalik dan keluar dengan langkah gontai, air mata yang mulai jatuh.
Karena dia tahu...
"Akan pertimbangkan" dari Daryon berarti... tidak ada yang akan berubah.
---
**Malam itu, di kamarnya, Alviona duduk di tepi ranjang dengan ponsel di tangan. Dia membuka chat dengan Nayla—mengetik pesan tapi menghapus. Mengetik lagi, menghapus lagi. Bagaimana dia bisa cerita tentang ini? Bagaimana dia bisa bilang pada temannya bahwa suaminya tetap menyentuhnya dengan kasar walau dia hamil? Bahwa dia takut bayinya akan terluka? Bahwa dia merasa gagal sebagai ibu bahkan sebelum bayinya lahir? Terlalu memalukan. Terlalu menyakitkan. Jadi dia menutup ponsel. Memeluk bantal. Dan menangis diam-diam sambil berbisik pada perutnya: "Maafkan ibu, sayang. Maafkan ibu..."**
**Apakah bayi Alviona bisa bertahan di tengah semua ini? Atau trauma fisik dan emosional ini akan berdampak pada kehamilan? Dan apakah ada yang akan menyadari penderitaan Alviona sebelum sesuatu yang buruk terjadi—pada dirinya atau bayinya?**
---