(Mohon jangan boomlike) Pernikahan Zoya dan Zada yang sudah berjalan tiga tahun ini tampak rukun dan bahagia.
Namun siapa sangka, Zada yang tipekal suami setia tiba-tiba membawa pulang wanita lain ke rumah Zoya dan Zada.
Bagai tertusuk seribu sembilu, Zoya begitu kecewa dengan Zada yang diam-diam sudah menikah lagi tanpa persetujuan darinya.
Zoya meminta talak, namun Zada menolaknya. "Aku tidak akan pernah menjatuhkan talak untukmu. aku masih mencintaimu, Zoya." Begitulah alasan yang selalu terucap dari bibir suaminya.
"Tidak masalah aku di madu asalkan, aku tidak tinggal satu atap dengan maduku," lirih Zoya penuh luka dan nyeri di hatinya.
Biarlah Zoya menerima semuanya. Karena tanpa Zada ketahui, Zoya sedang mengandung anak yang selama ini di nanti-nantikan.
Biarlah Zoya menerima surganya, walau surga itu telah menorehkan luka dan lara yang mendalam.
Mampukah Zoya tetap bertahan ketika melihat suaminya bersanding dengan wanit
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Rela karena terbiasa
Mata Zoya terbuka perlahan saat merasakan ada cahaya yang masuk menembus retinanya. Zoya masih bisa merasakan pening namun, sudah tidak sepening kemarin. Mata Zoya memicing, memindai sekeliling.
"Dimana aku?" monolog Zoya saat menyadari dirinya tidak berada di rumahnya. Zoya ingin mengangkat tubuhnya untuk duduk namun, perut bagian bawahnya terasa sakit.
Deg.
Zoya langsung teringat apa yang sudah terjadi pada dirinya. Dia meraba-raba perutnya dan saat menyadari, anaknya sudah tidak ada dalam rahimnya. Dada Zoya merasakan sesak hingga kesulitan untuk bernafas.
Tanpa permisi, air matanya jatuh membasahi wajah pucatnya. "Kamu kemana, Nak? Jangan tinggalkan Bunda ... Kenapa kamu juga ninggalin Bunda seperti ayahmu ...."
Zoya menangis sesenggukan. "Bunda lupa ... Ini bukan salahmu. Ini salah Bunda sendiri ... Bunda tidak bisa menjagamu dengan baik. Maafkan Bunda, Sayang ...."
Zoya semakin tak terkendali. Rasa sesak, sedih, kecewa, terluka, seakan sudah menyatu dan menyerang dada Zoya. Zoya tidak pernah merasakan kehilangan sampai seperti ini. Rasanya sangat menyakitkan kehilangan anak yang sudah dirinya nanti-nanti selama bertahun-tahun namun, dia pergi sebelum di lahirkan.
Tidak berapa lama, Zoya mendengar pintu di buka dari luar. Zoya mendongak dan melihat Zaky masuk membawa plastik kresek di tangannya. "Pak Zaky, apa yang terjadi padaku? Kenapa aku disini? Lalu ... Kemana anakku? Kenapa dia tidak ada di perutku?" terdengar pilu mengiris kalbu.
Zaky terdiam, dadanya seakan merasakan sesak melihat Zoya yang keadaanya terbilang kurang baik. Zaky mengerti, Zoya pasti sangat terguncang. "Aku panggil dokter dulu ya, Mbak. Maaf, aku nggak tahu kalau Mbak Zoya sudah sadar,"
Zaky berjalan ke samping brankar dan menekan tombol darurat. Tanpa di duga, Zoya langsung memeluk pinggang Zaky dan membuat tubuh Zaky membeku di tempat. "Pak ... Kemana anakku?" tanya Zoya masih terisak.
Zaky terdiam untuk menetralisir degup jantungnya yang tidak beraturan. Zaky melepaskan pelukan Zoya dan duduk di sampingnya, tepatnya di pinggiran ranjang. Baru setelah itu, Zaky bisa menjawab pertanyaan Zoya. "Mbak Zoya tenang dulu ya ... Mbak Zoya makan dulu karena, Mbak sudah satu hari tidak sadarkan diri. Pasti tenaganya sudah habis. Mbak Zoya isi dulu ya?"
Zaky meminta dengan halus dan lembut hingga membuat Zoya mengangguk patuh. Memang, Zoya merasa sangat lemas. "Nah gitu dong ... Kan mengahadapi kenyataan butuh tenaga," ucap Zaky melucu.
Zoya terkekeh pelan. Dia tidak menampik bahwa menghadapi kenyataan memang butuh tenaga. Setelah itu, Zaky membuka kantong kresek yang dia bawa. Dia mengeluarkan isinya. "Ini, Mbak Zoya. Makan bubur dulu. Walau sedikit, itu lebih baik daripada tidak sama sekali,"
Zoya mengangguk patuh. Setelah dirinya makan, mungkin Zoya akan menanyakan semuanya. Belum ada setengah bubur itu habis, Zoya sudah tidak sanggup dan menghentikan makannya. "Aku udah nggak sanggup lagi, Pak. Buat nanti aja ya? Udah lumayan banyak tadi kok,"
Zaky tersenyum dan mengangguk. Dia menerima bubur yang di bungkus menggunakan seterofom dari tangan Zoya. Setelah itu, Zaky segera menghabiskan buburnya. Dia terpaksa libur lagi demi menemani Zoya.
Sebenarnya, Zaky bisa menghubungi suami Zoya atau mertuanya tapi, Zaky takut salah langkah dan membuat Zoya semakin tertekan. "Udah mendingan kan, Mbak?" tanya Zaky perhatian.
Zoya yang sedang menunduk pun mendongak. "Alhamdulillah sudah. Kalau boleh, jangan panggil Mbak Zoya bisa nggak? Panggil aja Zoya. Terdengar kurang enak aja," pinta Zoya halus.
Zaky mengangguk, bukan masalah baginya hanya memanggil dengan sebutan nama. "Baiklah, Zoya." Zoya tersenyum tipis, itu terdengar lebih baik.
"Pak?"
"Aku juga boleh protes kan? Jangan panggil 'pak'. Panggil nama aja,"
Zoya mencebikkan bibirnya. "Nggak sopan lah. Aku panggil 'mas' aja kalau begitu," Zaky tersenyum lebar. "Itu lebih baik. Kenapa jadi bahas nama panggilan ya?" Zaky terkekeh dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Zoya hanya tersenyum sendu. Dia sedang tidak ingin untuk bercanda. "Maaf, Zoya. Aku akan jelaskan semuanya tentang kondisi kamu. Jadi begini ...."
Kemudian, Zaky menceritakan keadaan Zoya dari awal hingga akhir tanpa ada yang di tutup-tutupi. Termasuk bahwa, Zaky belum memberitahukan kondisi Zoya pada keluarganya. "Jadi begitu, Zoya,"
Bahu Zoya merosot. Memang akhir-akhir ini dirinya terlalu banyak pikiran. Apalagi jika bukan karena suaminya. Zoya menyesal telah menangisi seseorang seperti suaminya. Seketika Zoya teringat bahwa kemarin pagi dirinya akan mengatakan sesuatu pada suaminya itu.
Zoya tidak menyalahkan siapapun karena yang bersalah adalah dirinya. Dirinya yang tidak bisa menjaga anaknya dengan baik. Harusnya, Zoya tetap makan walau sedang tidak berselera. "Maafkan Bunda, Nak. Ini semua salah Bunda," monolog Zoya menyesal.
Zaky menepuk pelan punggung Zoya. "Jangan menyalahkan diri sendiri. Kita harus percaya bahwa apa yang sudah Allah gariskan pasti yang terbaik untuk hambaNya. Semua sudah takdir, Zoy. Coba ikhlaskan walau ikhlas itu nggak mudah," uajr Zaky menyemangati.
Mata Zoya berkaca-kaca. Dia pikir, tidak ada lagi yang peduli dengannya. Namun Zoya salah, masih ada orang-orang yang peduli dengan keadaanya. "Terima kasih ya, Mas. Sudah mau membantu dan membawaku ke rumah sakit. Kalau tidak, aku juga ikut pergi bersama anakku,"
"Huush ... Jangan bicara seperti itu. Allah masih kasih kesempatan kamu untuk hidup pasti bukan tanpa alasan. Jadi, hiduplah dengan baik, Zoya," ucap Zada menasihati.
Zoya mengangguk menyetujui. Tiba-tiba Zoya teringat sesuatu. "Apa Mas Zaky tahu? Dimana ponselku? Aku harus menghubungi keluargaku," tanya Zoya lalu mengedarkan pandangannya.
"Sebentar ...."
"Ini ponsel kamu," ucap Zaky setelah membuka nakas di pinggir brankar dan mengambil ponsel dari dalamnya. "Terima kasih, Mas." Setelah itu, Zoya segera menghubungi suaminya. Dia meminta Zada datang ke rumah sakit bersama Ghaida.
Siap tidak siap, Zoya harus mengakhirinya. Mengakhiri hubungan yang menyakitkan dan menyedihkan itu. "Assalamualaikum, Mas. Kamu dimana? Bisa datang ke Rumah Sakit Medika Mesra? Aku dirawat di sini. Aku mohon cepat ya, Mas. Karena ada suatu hal yang harus aku beritahu,"
Tanpa menunggu jawaban Zada, Zoya memutus panggilan sepihak. Zoya masih sakit hati pada suaminya. Sehingga, hanya mendengar suaranya saja Zoya sudah muak. "Mbak Zoya—?"
"Aku harus mengakhiri semuanya, Mas. Aku sudah tidak sanggup lagi. Ini terlalu berat untukku. Biarlah aku kehilangan semuanya dan memulai lembaran baruku. Aku harus bangkit dan memperbaiki diri agar anakku yang ada disana juga merasa bahagia. Aku harus bahagia ...." ucap Zoya menggebu-gebu.
Ya, Zoya sudah bertekad untuk meninggalkan Zada. Dia sudah tidak sanggup lagi hidup bersama suaminya. Zoya menyerah dan memilih berhenti. Zoya tidak merasa kalah, karena bisa lepas dari suaminya merupakan kemenangan bagi Zoya.
Kemenangan untuk ketenangan batinnya. Zoya tidak mau batinnya terluka lagi. Cintanya pada Zada memang masih sangat besar. Namun, melihat Zada bahagia bersama Ghaida, Zoya tidak sanggup.
Zoya sadar, bahagianya Zada bukanlah karena dirinya lagi. "Aku akan biarkan hidup mas Zada bahagia. Aku akan berusaha rela melepaskannya. Karena tidak ada yang bisa rela jika belum terbiasa dan aku akan membiasakannya,"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
yaaah... akhirnya Zoya sadar juga ya ...😅
yuk komennya ...
like nya juga..
jangan lupa vote dan hadiahnya hehe
biar aku makin semangat.😘😘
terima kasih yang sudah dukung dan kasih hadiahnya ya😘
lope kalian semua😘😘