Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.
Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.
Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.
Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.
“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.
Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 3. Tantangan Pertama Dr.Arslan
Suasana di kafe sore itu mulai sedikit ramai. Musik instrumental dari speaker plafon terdengar samar, berpadu aroma kopi yang menguar lembut.
Tari Nayaka mengunyah pelan, matanya masih sempat melirik pengunjung lain yang lalu-lalang, sebelum akhirnya kembali fokus pada laki-laki di depannya.
Arslan mengatur letak sendok dengan presisi, lalu mengangkat wajah. “Mulai besok kamu pindah ke rumah sakit milik ayahku,” ujarnya pelan namun tegas. “Jam tujuh pagi aku tunggu. Statusmu perawat sekaligus asistenku.”
Nayaka nyaris tersedak teh manis yang baru disesapnya. Ia mendelik, lalu tertawa pendek. “Langsung ditempatin di bawah tanganmu? Gak ada seleksi dulu gitu?” katanya dengan nada geli.
Arslan menggeleng tipis. “Aku sudah tahu semua rekam kerja kamu. Nilai evaluasimu, laporan magang, bahkan catatan kepala ruangan,” imbuhnya tanpa basa-basi.
“Waduh,” Nayaka bersandar ke kursi, mengangkat satu tangan. “Jangan-jangan kamu juga tahu warna sprei kamarku.”
“Putih polos,” jawab Arslan cepat. “Ada bercak tinta di pojok kiri.”
Nayaka membelalak. “Itu… kamu serius?”
“Aku tidak asal bicara,” ucapnya datar.
Perempuan itu memejamkan mata sejenak, mencoba memproses fakta bahwa laki-laki super serius ini mungkin telah memata-matai hidupnya tanpa ia sadari.
“Aku ngerti kamu perfeksionis. Tapi kamu sadar kan, kerja sama kayak gitu nggak gampang?” katanya sambil memainkan sedotan plastik.
Arslan menatapnya lurus. “Justru karena itu kamu yang kupilih. Kamu keras kepala, tidak mudah dikendalikan, tapi punya cara berpikir cepat. Aku butuh seseorang yang bisa bergerak sebelum aku selesai bicara.”
“Kamu yakin aku bukan malah bikin kamu stres?” Nayaka menyeringai, setengah main, setengah ngetes.
“Aku dokter bedah. Kalau bisa potong manusia dalam keadaan sadar, ngatur kamu seharusnya tidak lebih rumit,” jawabnya dingin.
“Wah, pernyataan menakutkan tapi agak seksi juga,” celetuk Nayaka sambil terkekeh.
Arslan hanya mengangkat alis. Matanya tetap tenang, namun sorotnya seperti sedang mengukur nyali.
“Kamu bisa tolak tawaranku. Tapi kalau kamu terima, aku tidak suka main-main. Jam masuk harus tepat. Baju harus rapi. Tugas harus selesai sebelum kubuka mulut. Dan satu lagi…” ucapnya, lalu berhenti sebentar.
“Apa?” tanya Nayaka cepat.
“Jangan pernah anggap aku pasien yang butuh dikasihani.”
Nayaka tak langsung menjawab. Ia menatap Arslan dalam, lalu mengangguk pelan.
“Aku nggak tertarik kasihanin siapa pun. Tapi aku tertarik kalau kamu mau dilurusin caranya lihat hidup,” ucapnya jujur.
Arslan menyipitkan mata. “Kamu merasa bisa mengubah cara pikirku?”
“Aku nggak janji bisa ubah, tapi aku bisa tunjukin banyak hal yang mungkin belum pernah kamu sentuh sebelumnya,” katanya sambil tersenyum kecil.
Arslan meneguk kopinya yang kini sudah suam. Dalam hatinya, ia tahu hari ini ia tidak hanya menemukan rekan kerja. Tapi juga seseorang yang, untuk pertama kalinya, tidak menghindar dari sisi gelapnya.
Dan Nayaka, dengan caranya yang sembarangan namun jujur, sudah melangkah lebih dalam dari siapa pun sebelumnya.
Arslan baru saja meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja ketika tiba-tiba suara Nayaka memecah keheningan yang mulai menggantung.
"Jadi kita tetap melanjutkan perjodohan ini, dokter impoten?" ucapnya santai, tapi jelas terdengar seluruh isi kalimatnya.
Beberapa kepala di meja sebelah sontak menoleh. Arslan membeku di tempat, matanya perlahan naik, menatap perempuan di hadapannya dengan wajah datar tapi napasnya terdengar lebih berat.
“Nayaka…” ucapnya peringatan, suaranya nyaris seperti bisikan.
Perempuan itu tak menunjukkan rasa bersalah. Ia hanya mengangkat bahu dan menyeruput minumannya sambil berkata ringan, “Tenang, aku nggak ngomong soal itu buat nyindir. Aku cuma ingin tahu sejauh mana kamu siap menghadapi ini sebagai realitas.”
Arslan mengusap pelipis, menunduk sebentar, lalu menjawab pelan, “Kalau kamu datang hanya untuk mempermalukan, lebih baik kita akhiri saja sekarang.”
“Aku datang karena diminta. Tapi aku tetap di sini karena penasaran,” katanya jujur.
Arslan menatapnya lagi, kali ini tanpa kemarahan. Hanya kelelahan yang samar-samar tampak di sorot matanya.
“Aku tidak mau jadi proyek sosial siapa pun,” tegasnya.
“Aku juga nggak pernah berniat menyelamatkan siapa pun,” imbuh Nayaka cepat. “Tapi kalau kita berdua sama-sama tahu posisi masing-masing, kenapa tidak kita mulai dengan jujur dan apa adanya?”
Ia bersandar ke kursi, menatap Arslan lurus-lurus, tanpa ragu.
“Aku tahu ini kedengaran aneh. Tapi mungkin perjodohan ini bukan ide paling buruk kalau kamu cukup waras untuk nggak lari dari diri sendiri,” katanya pelan.
Arslan tidak langsung merespons. Ia hanya duduk diam selama beberapa detik, lalu mengangguk kecil.
“Baik. Kita lanjut tapi tanpa ilusi,” ujarnya akhirnya.
Nayaka tersenyum simpul. “Setuju. Nggak ada drama, nggak ada kepura-puraan.”
Ia menjulurkan tangan ke tengah meja. “Deal?”
Arslan menatap tangan itu beberapa detik sebelum akhirnya menjabatnya.
“Deal,” balasnya pelan.
Dan di antara dua tangan yang bersentuhan di atas meja kafe sore itu, mungkin sedang tercipta awal dari sesuatu yang tak direncanakan siapa pun tapi terasa sangat hidup.
Dokter Arslan bangkit dari kursi, merapikan jam tangannya yang sejak tadi tak pernah benar-benar ia lirik. Tanpa banyak kata, ia mengangguk singkat ke arah Nayaka lalu beranjak pergi. Langkahnya mantap, tapi jelas ada sesuatu yang tertinggal di meja entah kepercayaan, atau sekadar kebingungan.
Nayaka menatap punggung laki-laki itu hingga menghilang di pintu kafe. Ia belum sempat mengambil napas panjang ketika suara pelan tapi tajam muncul dari sisi kanan.
“Apa kalian jadi tunangan dan menikah?” tanya seseorang.
Nayaka menoleh cepat. Di sana, duduk dengan anggun dan penuh misteri, Aylara.kakaknya yang sedari tadi ternyata berada di kursi dekat jendela, setengah tertutup tanaman hias dan pilar kayu. Senyumnya tipis, tatapannya dalam.
“Kakak dari kapan duduk di situ?” tanya Nayaka, setengah kaget setengah kagum.
“Dari kamu nyebut nama skripsinya,” jawab Aylara tenang. “Dan ya, aku dengar semuanya. Termasuk kata 'dokter impoten' yang kamu ucapkan dengan volume tidak manusiawi.”
Nayaka mendengus. Ia memutar sedotan di gelasnya, lalu berkata, “Aku nggak tahu ini namanya jadi tunangan atau ditarik masuk ke ruang eksperimen psikologis si dokter robot itu.”
Aylara mengangkat alis. “Tapi kamu tidak menolak?”
Nayaka menghela napas, menunduk sebentar sebelum menatap kakaknya. “Aku tidak tahu ini gila atau cerdas, tapi untuk pertama kalinya aku merasa tertantang bukan karena laki-laki itu ganteng, tapi karena dia jujur dengan kelemahannya.”
“Jujur bukan berarti siap dicintai, Nayaka,” kata Aylara pelan.
“Tapi jujur itu titik awal dari semua yang sehat, Kak,” ucap Nayaka tanpa ragu. “Dan aku bukan anak kecil yang butuh cerita manis. Kalau aku akhirnya jatuh, setidaknya itu di tempat yang aku pilih sendiri.”
Aylara menatap adiknya beberapa detik, lalu tersenyum. “Kamu tetap Nayaka yang keras kepala, ya.”
“Dan Kakak tetap Aylara yang muncul di akhir adegan buat jadi komentator,” balasnya cepat.
Mereka tertawa pelan. Kafe mulai sepi, cahaya matahari mulai condong, tapi di antara dua saudara perempuan itu terbentang keputusan yang bisa jadi akan mengubah banyak hal.
Termasuk masa depan seseorang bernama Dokter Arslan Han Mahardika.
Aylara masih memandangi adiknya yang kini terlihat lebih kalem walau cuma di permukaan. Matanya menyorot tajam seperti biasa, tapi ada rasa penasaran yang tidak bisa ia sembunyikan.
Nayaka menyender ke sandaran kursi, lalu menoleh sambil tersenyum miring. “Kan Kakak yang nolak dijodohin sama dokter impoten, jadi aku yang jadi tumbalnya,” ujarnya sambil mencolek tangan Aylara, setengah bercanda, setengah menyindir.
Aylara mendecak pelan. “Aku menolak bukan karena itu,” katanya hati-hati.
“Oh iya?” Nayaka menaikkan alis, senyumnya masih terpasang. “Terus karena apa? Nggak cocok rambut? Atau takut diajak tinggal di ruang operasi?”
Aylara menggeleng pelan. “Karena aku tahu aku bukan orang yang bisa hadapi dia.”
“Dan menurut Kakak aku bisa?” sahut Nayaka cepat.
“Entah kenapa,” ucap Aylara sambil menarik napas, “aku rasa kamu justru satu-satunya yang bisa bikin dia berhenti jadi tembok es berjalan.”
Nayaka tertawa ringan, tapi tidak menampik. Ia memainkan sendok di piringnya sambil berkata pelan, “Aku nggak tahu ini akan kemana, tapi aku juga nggak mau hidup setengah-setengah. Kalau akhirnya harus mundur, setidaknya aku udah nyoba.”
“Dan kalau berhasil?” tanya Aylara pelan.
Nayaka menatap lurus ke arah jendela, matanya tampak lebih serius kali ini.
“Kalau berhasil mungkin ini bukan tentang perjodohan lagi. Tapi tentang dua orang rusak yang saling ngajarin cara sembuh.”
Aylara tak menjawab. Hanya menatap adiknya dengan perasaan yang campur aduk antara bangga, khawatir, dan sedikit iri.
Karena Nayaka, dengan segala kelakuan bar-barnya, kadang lebih berani mengambil langkah yang Aylara sendiri terlalu takut untuk mulai.
Nayaka meneguk sisa jus di gelasnya, lalu menoleh santai ke arah kakaknya yang masih diam termenung. Dengan gaya sok serius, ia bertanya sambil menyipitkan mata,
“Ngomong-ngomong... Kaisar kapan datang melamar? Kakak kan katanya udah ngomong sama Mama bakal dilamar bulan ini?”
Aylara langsung menoleh, ekspresinya berubah kaku. “Itu masih dibicarakan,” jawabnya cepat.
“Masih dibicarakan?” Nayaka memiringkan kepala, pura-pura bingung. “Bukannya udah dua kali ulang tahun Kaisar ngucapin janji nikah sama Kakak tapi nggak jadi-jadi?”
“Nayaka...” Aylara mengerucutkan bibir, nada suaranya mulai serius.
“Aku cuma nanya loh. Soalnya Kakak rajin banget ngingetin aku buat seriusin hubungan, sementara Kakak sendiri masih digantung kaya baju lebaran yang belum kering,” sahut Nayaka santai sambil bersedekap.
Aylara mendengus pelan. “Kaisar itu beda.”
“Beda gimana? Dia bukan dokter, dia bukan anak orang kaya, bukan juga spiritual healer. Jadi Kakak nungguin dia karena apa? Karena udah lama pacaran?”
“Aku sayang sama dia.”
Nayaka mendadak diam. Lalu ia tersenyum tipis, kali ini tanpa sarkas.
“Kadang sayang aja nggak cukup, Kak,” ucapnya pelan. “Tapi semoga Kaisar bukan cuma janji doang. Soalnya Mama udah mulai nanya-nanya, loh.”
Aylara menatap adiknya dalam diam. Tak membalas. Mungkin karena dalam hati kecilnya, ia pun takut jangan-jangan Nayaka benar. Bahwa ia menunggu seseorang yang tidak pernah benar-benar siap datang.