NovelToon NovelToon
Kontrak Pacar Pura-Pura

Kontrak Pacar Pura-Pura

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua / Kekasih misterius / Perjodohan
Popularitas:152
Nilai: 5
Nama Author: SineenArena

Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2 - Dinding Bernama UKT

Yuni menyandarkan kepalanya di kaca jendela bus.

Dingin. Dan bergetar.

Kaca itu berembun tipis oleh napas para penumpang.

Getarannya merambat ke tulang pipinya, membuatnya sedikit mati rasa.

Lampu neon dari toko-toko di pinggir jalan menari di wajahnya.

Warna-warni palsu yang menjanjikan kebahagiaan. Merah, hijau, biru.

Janji yang tidak pernah untuk orang sepertinya.

Bus kota ini penuh sesak.

Jam pulang kerja.

Aroma keringat, parfum murah, dan asap knalpot bercampur jadi satu.

Yuni sudah terbiasa. Dia menahan napasnya tanpa sadar.

Seorang pria berjaket kulit imitasi di sebelahnya tertidur dengan mulut sedikit terbuka.

Seorang ibu di depannya mengipasi anaknya yang rewel dengan selembar brosur.

Semua orang tampak lelah.

Dia menarik kerah jaket denimnya yang sudah sedikit usang lebih erat.

Jahitan di pergelangan tangannya sudah mulai terlepas.

Jauh berbeda dari dunia yang baru saja dia tinggalkan.

Bukan, dia tidak meninggalkan dunia Juan. Dia bahkan tidak tahu dunia Juan itu ada.

Dia baru saja meninggalkan perpustakaan pusat.

Bentengnya.

Tempat paling sunyi dan paling aman yang dia tahu.

Aroma buku-buku tua dan kayu yang dipernis.

Di sana, dia bukan Yuni si mahasiswi miskin. Dia adalah peneliti. Pemikir.

Dia baru saja selesai shift jaga.

Bukan, bukan shift berbayar. Dia sukarelawan di sana.

Membantunya mendapat akses ke buku-buku langka yang tidak mungkin dia beli.

Dan yang terpenting, memberinya alasan untuk tidak cepat pulang ke kamar sempitnya.

Perpustakaan tutup jam delapan.

Sekarang jam setengah sembilan malam.

Pulangnya selalu begini. Berdesakan di jam sibuk.

Dia sudah menghitung sisa uang di sakunya.

Cukup untuk bus besok pagi. Tapi mungkin tidak untuk pulang.

Dia harus berjalan kaki besok sore. Tidak masalah.

Ponsel di saku tasnya bergetar.

Dia mengabaikannya.

Mungkin dari Sarah, teman satu-satunya di fakultas.

Mengajak belajar bersama.

Lagi.

Yuni terlalu lelah untuk bersosialisasi.

Sarah orang baik. Tapi Sarah tidak mengerti.

Sarah mentraktirnya kopi minggu lalu. Yuni masih memikirkan cara menggantinya tanpa terlihat menyedihkan.

Sarah tidak perlu menghitung sisa koin untuk ongkos bus besok.

Bus berhenti di halte yang sudah dikenalnya.

Bunyi remnya memekakkan telinga.

Dia turun, berjalan cepat menyusuri gang sempit.

Aroma got dan masakan warung tenda menyambutnya.

Bau cabai ditumis dan minyak jelantah.

Kamar kosnya ada di lantai tiga sebuah bangunan tua.

Tangga kayunya berderit di setiap langkah.

Dia harus berhati-hati agar tidak menginjak paku yang menonjol di anak tangga kelima.

Bunyi musik dangdut terdengar dari kamar sebelah. Keras.

Bunyi pertengkaran dari kamar di seberangnya. "Uang! Uang lagi!"

Yuni mempercepat langkahnya.

Dia tidak mau terlibat. Dia hanya ingin sampai di kamarnya.

Yuni membuka kunci kamarnya.

Kuncinya sedikit seret. Dia harus menggoyangnya tiga kali.

Kamarnya sempit. Tiga kali tiga meter.

Tapi rapi. Sangat rapi.

Buku tertata di rak-rak kayu murah.

Novel sastra klasik pinjaman. Buku-buku teori linguistik.

Semuanya diatur berdasarkan abjad penulis.

Sebuah laptop tua menyala di meja belajar.

Layar menampilkan tugas esai tentang "Pergeseran Makna dalam Sastra Kontemporer".

Baru dua paragraf.

Dia benci esai ini.

Apa gunanya membahas 'Pergeseran Makna' ketika makna 'uang' begitu mencekik?

Yuni meletakkan tasnya.

Dia meregangkan lehernya yang kaku.

Dia menyalakan teko listrik untuk membuat teh.

Teh tubruk. Yang paling murah di warung.

Hanya itu kemewahan yang dia punya.

Ponselnya bergetar lagi. Kali ini di atas meja.

Getarannya membuat tumpukan kertas di sebelahnya bergeser.

Nama "Ibu" muncul di layar.

Yuni tersenyum. Senyum tulus pertama hari ini.

Dia selalu punya waktu untuk Ibu.

"Halo, Bu?"

Senyumnya langsung pudar.

Terdengar suara isak tangis di seberang. Bukan tangisan keras. Isak tertahan.

Suara yang membuat perut Yuni melilit.

"Yuni..."

Jantung Yuni serasa berhenti berdetak.

"Ibu kenapa? Bapak baik-baik saja? Dika?"

"Bapak baik. Bapakmu di masjid..." Bohong. Yuni tahu ayahnya ada di sana.

"Ini... ini soal Dika."

Dika. Adiknya.

Kebanggaan keluarga. Satu-satunya yang berhasil masuk fakultas kedokteran.

"Dika kenapa, Bu?"

"Suratnya datang lagi. Dari kampus."

Yuni terduduk di tepi ranjangnya. Spreinya sudah sedikit luntur.

"UKT lagi?"

"Mereka bilang ini peringatan terakhir."

"Dika sudah coba minta keringanan. Tidak bisa. Katanya data kita sudah tidak masuk kategori miskin."

Yuni mendengus. Sejak kapan?

"Kalau tidak dibayar minggu depan, Dika tidak bisa ikut ujian."

Isak tangi Ibunya semakin jelas.

"Artinya, dia harus cuti, Nduk."

Cuti.

Bagi mahasiswa kedokteran, cuti berarti mengulang satu tahun.

Membuang waktu. Membuang biaya.

Yuni memejamkan mata.

Dia tahu betapa hancurnya Dika jika itu terjadi. Adiknya itu sedang di puncak semangatnya.

"Berapa?"

Ibunya menyebutkan angka.

Angka dua digit.

Angka yang mustahil.

Bagi mereka.

Angka itu setara dengan biaya sewa kos Yuni selama dua tahun.

"Yuni, Ibu tidak tahu lagi harus bagaimana..."

"Tabungan Ibu sudah dipakai semua untuk panen kemarin. Gagal."

"Diserang hama," lanjut Ibunya. "Wereng."

"Semuanya habis. Bapakmu diam saja di kamar. Malu katanya."

"Yuni, tolong..."

Dia mendengar suara Ayahnya di latar belakang. "Sudah, Bu. Jangan bebani Kakakmu."

Yuni menarik napas dalam.

Dia harus kuat.

"Ibu tenang saja," katanya, mencoba membuat suaranya stabil.

"Biar Yuni yang urus."

"Tapi bagaimana, Nduk? Itu uang besar."

"Yuni yang urus, Bu. Dika pasti ujian."

"Kamu jangan aneh-aneh ya, Nduk. Jangan pinjam yang tidak-tidak."

"Nggak, Bu. Yuni... Yuni ada sedikit tabungan."

Bohong.

Kebohongan terbesar hari ini.

"Ya sudah. Ibu tunggu kabarnya. Jaga diri baik-baik."

Telepon ditutup.

Hening.

Hanya suara teko listrik yang mendidih.

Yuni menatap dinding kamarnya yang bercat kusam.

Ada retakan yang membentuk seperti peta pulau yang aneh.

Tabungan.

Dia membuka aplikasi bank di ponselnya.

Saldonya: 750.000 rupiah.

Sewa kos bulan depan 500.000.

Sisa 250.000 untuk makan tiga puluh hari.

Yuni tertawa. Tawa kering tanpa humor.

Tabungan.

Dia menatap layar laptopnya.

Tugas esai.

Dia membuka file lain. Folder "Kerjaan".

Dia bekerja paruh waktu sebagai penerjemah lepas untuk artikel-artikel akademis.

Bayarannya 500 perak per kata.

Dia butuh menerjemahkan novel Perang dan Damai lima kali untuk membayar UKT Dika.

Dan proyek berikutnya baru datang minggu depan.

Angka yang ibunya sebutkan.

Dia butuh minggu depan.

Dinding bernama UKT itu terasa begitu tinggi.

Dia merasa gagal.

Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri. Dia bisa mandiri di kota ini.

Dia bisa sukses dengan beasiswanya.

Tapi beasiswa tidak menanggung biaya hidup adiknya.

Pinjam teman?

Sarah? Temannya itu sama saja. Anak beasiswa.

Pinjaman online?

Yuni bergidik. Dia terlalu sering membaca berita buruk soal itu.

Bunga yang mencekik. Teror penagih utang.

Dia tidak mau menambah masalah Ibunya.

Dia membuka laci.

Hanya ada beberapa lembar uang puluhan ribu. Dan setumpuk kuitansi.

Dia ingat pemandangan di kampus siangnya.

Kantin fakultas teknik.

Dia ke sana untuk mengantar dokumen titipan dosen sastranya ke dosen teknik.

Kolaborasi antar fakultas, katanya.

Suasananya berbeda.

Sangat berbeda dari kantin sastra yang tenang dan penuh diskusi buku.

Kantin teknik berisik. Penuh energi.

Mahasiswa di sana terlihat... santai.

Mereka tertawa sambil memegang smartphone terbaru.

Meja mereka penuh.

Bukan dengan buku, tapi dengan nampan berisi steak, kentang goreng, kopi susu kekinian.

Dia ingat melihat sekilas kerumunan besar.

Di tengahnya, ada laki-laki itu.

Dia tidak kenal namanya. Tapi dia tahu wajah itu.

Wajah yang selalu muncul di poster-poster acara kampus.

Ketua himpunan. Pemenang kompetisi robot. Entahlah.

Populer. Kaya. Tanpa beban.

Laki-laki itu sedang tertawa. Lepas.

Juan.

Yuni tahu namanya karena Sarah pernah menunjukkannya di majalah kampus.

"Gila, ya. Udah kayak artis," kata Sarah waktu itu.

Yuni hanya mengangguk. Tidak tertarik.

Dunia mereka terlalu berbeda.

Laki-laki itu tertawa seolah UKT adalah kata dari bahasa planet lain.

Yuni hanya menunduk, menyerahkan dokumen ke sekretaris dosen, dan pergi.

Dia merasa seperti hantu dari dunia lain.

Dunia mereka terbuat dari uang. Dunianya terbuat dari utang.

Yuni mendengus.

Kenapa dia jadi memikirkan laki-laki itu?

Dika.

Fokusnya harus ke Dika.

Dika tidak boleh berhenti kuliah.

Adiknya adalah harapan keluarga.

Lebih pintar darinya. Dika adalah masa depan.

Yuni rela melakukan apa saja.

Tapi apa?

Dia kembali menatap laptopnya.

Dia membuka satu website lagi.

Forum lowongan kerja paruh waktu kampus.

"Dicari: Jaga Stand Pameran." - Sudah penuh.

"Dicari: Asisten Peneliti." - Butuh IPK di atas 3.8. IPK Yuni 3.75. Sial.

"Dicari: Barista paruh waktu." - Wawancara besok. Tapi butuh pengalaman.

"Dicari: Jasa Joki Tugas Akhir." - Ilegal. Dia tidak akan.

Dia scroll ke bawah. Putus asa.

"Dicari: Tutor privat Fisika." - Dia anak sastra.

"Dicari: Admin media sosial." - Harus punya iPhone. Dia tertawa lagi.

Halaman kedua. Halaman ketiga.

Nihil.

Semua pekerjaan itu hanya akan memberinya uang receh.

Dia butuh... lompatan.

Dia refresh halaman itu. Sekali lagi.

Lalu, matanya berhenti.

Sebuah postingan baru. Ditandai "URGENT".

10 menit yang lalu.

Judulnya aneh.

"Dicari: Partner Akting Jangka Pendek."

Bukan "Teman Kencan Pesta". Terdengar lebih profesional.

Dia mengkliknya.

"Dicari: Wanita. Mahasiswi."

"Syarat: Cerdas, bisa beradaptasi, bisa menjaga rahasia."

Yuni membaca lebih lanjut.

"Pekerjaan: Berpura-pura menjadi pacar untuk acara keluarga."

Jantungnya berdebar sedikit.

"Durasi: Sekitar satu bulan. Puncak acara di akhir pekan."

"Persyaratan: Penampilan rapi (tidak harus mewah, bisa diatur), pandai berbicara, akting yang meyakinkan."

"Diutamakan dari fakultas non-bisnis/teknik agar tidak ada koneksi."

Yuni merasa iklan itu memanggilnya.

Dia anak sastra. Akting? Itu bagian dari analisis karakter.

Pandai berbicara? Dia bisa berdebat soal semiotika.

Menjaga rahasia? Hidupnya adalah rahasia.

Lalu dia melihat bayarannya.

Dia scroll ke bawah.

Bayaran: Ditulis dalam nominal yang jelas.

Napas Yuni tercekat.

Itu bukan hanya menutupi UKT Dika.

Itu bisa membayar UKT Dika untuk satu tahun ke depan.

Plus melunasi sisa utang panen Ibunya.

Dan masih ada sisa untuknya bertahan hidup.

Tangan Yuni gemetar.

Ini gila.

Ini salah.

Ini menjual harga diri.

...atau ini solusi?

Bukankah ini hanya... akting? Dia anak sastra. Dia paham soal peran.

Ini hanya pekerjaan. Sebuah transaksi.

Dia menatap nama Dika di memorinya.

Dia menatap saldo 750.000 di ponselnya.

Dia menatap iklan itu lagi.

Di bagian bawah, ada email kontak.

Email yang singkat dan profesional. Tidak ada nama.

Yuni menarik napas panjang.

Dia meletakkan jarinya di atas touchpad.

Dia butuh solusi.

Dan dia butuh sekarang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!