Akankah cinta memudar seperti kehormatan yang telah hilang?
Seruni, nama yang singkat, sesingkat pemikirannya tentang cinta ketika usianya baru saja menginjak tujuh belas tahun saat itu. Atas kekagumannya pada sosok gagah, pemuda yang digandrungi semua gadis desa pada masa itu, Seruni rela melepas keperawanannya kepada lelaki itu di sebuah bilik bambu tak berpenghuni.
Ajun Komisaris Polisi Seno Ari Bimantara, lelaki dengan segudang prestasi di ranah kepolisian, tercengang ketika pada hari dia kembali bekerja setelah lamaran dengan kekasihnya, menemukan laporan dua orang wanita malam yang berkelahi dengan satu korban bocor di kepala. Ia tercekat pada satu nama dan satu wajah dalam laporan itu: Seruni.
Gadis polos yang ia ambil kesuciannya bertahun-tahun lalu di balik bilik bambu kini kembali secara tak sengaja ke dalam hidupnya dengan realita kehidupan mereka yang kontras. Namun, pada pertemuan kedua setelah bertahun-tahun yang lalu itu, hanya ada kebencian dalam nyalang mata seruni ketika memandangnya.
Bima, Seruni dan Atikah, terlibat sebuah hubungan rumit yang akhirnya mengantarka mereka pada romansa berantakan berujung dendam! Mampukah Bima meredam kebencian Seruni pada sepenggal kisah mereka yang tertinggal di balik bilik penyesalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lemari Kertas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menikahlah Denganku
Bima duduk dengan tenang, sementara di depannya juga duduk dengan kursi plastik, Seruni. Gadis itu sibuk dengan kasa, kapas, juga obat untuk memar dan luka. Bima memperhatikan Seruni yang sedang serius mengobatinya. Ia merasa begitu sejuk memandang wajah Seruni. Putih wajah Seruni begitu natural tanpa sentuhan make up.
"Apa yang sedang kau lihat?" tanya Seruni tanpa melihatnya.
Bima sedikit tersentak, ternyata Seruni sadar bahwa dia sedang mengamati perempuan itu begitu lekat seolah sedang menyimpan utuh wajah Seruni dalam hatinya.
"Kau," jawab Bima jujur dan singkat.
"Berhenti memandangku begitu. Aku bukan seorang tersangka," sahut Seruni datar.
Bima tertawa kecil mendengarnya. Sungguh, Seruni yang dulu sangat berbeda dengan yang sekarang. Ia bahkan masih ingat senyum malu-malu Seruni di masa lalu yang kerap menghiasi pipinya dengan warna merah merona. Kini, nyaris tak ada lagi. Namun, justru itu yang membuat Bima semakin terikat kuat rasanya dengan gadis itu.
"Seruni ... Tak bisakah kau memaafkan aku?" tanya Bima dengan Seruni yang sedang menempelkan sebuah plester ke luka di lehernya.
"Pulanglah, sudah selesai." Seruni tak menjawabnya.
Lalu Seruni beranjak dari duduknya, Bima meraih jemari Seruni dan ajaibnya, perempuan itu malah seolah terbius dan duduk lagi begitu saja. Seketika Seruni ingin mengutuk dirinya sendiri saat ini. Harusnya ia tepis dengan kasar tangan lelaki itu.
"Run, aku tahu kesalahanku padamu di masa lalu sungguh tak termaafkan. Tapi bukankah setiap orang pasti punya kesempatan kedua?"
Seruni seketika tertawa. "Setelah sepuluh tahun, Bima?" tanya Seruni sinis.
"Sungguh, Seruni, aku pernah kembali ke desa setelah aku lulus dari pendidikan menjadi abdi negara, aku sempat mencarimu, tapi kau tak lagi ada di desa kita. Aku pun tak tau bahwa kau telah merantau ke Jakarta. Harusnya sedari dulu kita bertemu lagi, bukan?"
"Sudahlah, jangan terlalu banyak berbasa basi. Aku sudah kenyang mendengar segala macam bentuk rayuan. Rayuanmu di masa lalu juga masih jelas terbayang dalam ingatanku. Aku sudah kebal dan sudah kebas. Sekarang, pulanglah. Aku tak mau nanti kekasihmu salah paham karena kau mengunjungi tempatku."
Bima menahan Seruni lagi yang hendak berdiri lagi dari posisinya semula. Seruni memandang Bima jengah.
"Run berhentilah bekerja di tempat itu. Tidak baik, aku tak ingin terjadi apa-apa denganmu."
"Loh, bukannya memang sudah ada yang terjadi denganku karenamu dulu, Bim?" tanya Seruni getir.
Bima menatap ke kedalaman mata gadis di depannya. Ia tahu betapa Seruni memang sudah terluka hingga ia jadi dingin seperti itu.
"Maafkan aku, Seruni. Izinkan aku menebus semua kesalahanku kepadamu dulu."
"Tidak perlu, Tuan Seno Ari Bimantara. Aku sudah baik-baik saja sekarang. Tenanglah, kau seorang terpandang. Jangan menjadi lemah hanya karena perempuan semacam aku. Sudah, sekarang pulanglah, hari sudah maghrib. Aku tak mau nanti tetangga berpikir aku membawa lelaki untuk tidur di sini."
Namun, agaknya Bima tak menyerah begitu saja. Untuk bisa berbicara lama dan sedekat ini bersama Seruni adalah sesuatu yang langka.
"Seruni."
"Keluarlah!" Seruni hampir menutup pintu setelah Bima mau berdiri dan beranjak.
"Seruni, menikahlah denganku."
Tepat saat itu adzan magrib berkumandang. Seruni hampir meloloskan airmata mendengarnya. Namun, hati Seruni masih begitu sakit. Ia menggeleng.
"Kau gila! Mau kau kemanakan kekasihmu itu?!"
Seruni kembali berusaha menutup pintu kontrakannya, tetapi Bima masih menahan dengan tubuhnya yang tegap atletis.
"Aku sudah membatalkan rencana pernikahan kami, Run. Karena itulah aku mendapatkan luka-luka ini." Bima berusaha menjelaskan.
Seruni terdiam sesaat.
"Pulanglah, Bim. Aku tidak akan pernah mau terjebak dengan rayuanmu lagi seperti dulu."
Pintu ditutup. Bima masih termenung di depannya. Ia menarik nafas panjang.
"Seruni, aku tidak akan menyerah, aku akan mendapatkan hatimu lagi." Ia berseru. Beberapa lelaki berpeci yang hendak pergi ke masjid di depan gang melihatnya sambil geleng-geleng kepala. Seruni sendiri masih berdiri di balik pintu. Ia menekan dadanya yang tiba-tiba berdegup kencang sekali.
Seruni mengintip di sela tirai jendela, dilihatnya Bima sudah melangkah jauh. Seruni menarik nafas panjang berusaha meredakan rasa aneh yang tiba-tiba saja menyerang. Ia masuk ke dalam kamar setelah selesai membasuh diri dengan air wudhu. Ia melihat jam tangan yang masih tergantung. Seruni membentangkan sajadah, segera menunaikan ritual yang tak pernah ditinggalkannya sejak dulu.
"Ya Allah, karena terlalu menyukai lelakilah dulu aku sampai kehilangan kehormatan sebagai perempuan. Kini, maafkan aku yang tiba-tiba saja tersentuh dengan ajakannya. Namun, aku sungguh takut sekali, takut jika ternyata semua hanyalah bualan semata." Seruni menghapus jejak airmatanya perlahan dan berusaha menghapus bayangan Bima yang melintas perlahan ketika ia telah selesai menghadap yang khalik, sang pemilik kehidupannya.
Seruni tidak mau tertipu lagi. Ia sudah cukup hebat selama ini, membentengi diri dari lelaki manapun yang mencoba menyentuh hatinya. Seruni tak mau mengulang hal yang sama seperti dulu, dengan orang yang sama pula? Berat.