Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.
Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.
"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.
Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.
Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Tamparan Digital
"Silakan dinikmati, Bu Laras. Anggap saja ini private cinema khusus buat Ibu."
Kiana menekan tombol play di layar ponselnya yang sudah terhubung ke Smart TV raksasa berukuran 85 inci di ruang makan. Cahaya dari layar TV yang menyala terang memantul di wajah tegang semua orang yang hadir di sana.
Gavin duduk di ujung meja sambil melipat tangan di dada, wajahnya tenang namun matanya menyiratkan kepuasan tersembunyi.
Alea duduk di samping ayahnya sambil mengunyah roti selai kacang, kakinya bergoyang-goyang santai, tidak sadar kalau nasib ibu tirinya sedang dipertaruhkan di layar kaca itu.
Sementara Bu Laras, duduk tegak di seberang Kiana dengan tongkat eboninya yang digenggam erat. Wajahnya angkuh, bibirnya mencibir sinis.
Dia yakin seyakin-yakinnya kalau video itu akan menampilkan bukti kejahatan Kiana. Mungkin Kiana sedang membentak Alea, atau mencubitnya diam-diam.
"Hah, paling kamu sudah edit videonya," cibir Bu Laras sebelum video dimulai. "Zaman sekarang teknologi bisa menipu. Tapi naluri nenek tidak bisa dibohongi."
"CCTV rumah ini adalah model flagship terbaru yang merekam visual dan audio jernih 24 jam non-stop ke sistem cloud," jawab Kiana santai, menjelaskan teknologi itu dengan nada dingin. "Mikrofonnya sensitif, Bu. Jangankan teriakan, suara bisikan pun terekam jelas. File ini raw, tidak bisa diedit sembarangan. Tonton saja dulu. Jangan berisik kayak di bioskop."
Video pertama mulai berputar.
Tanggal dan jam tertera jelas di pojok kiri atas layar. Itu kejadian beberapa hari yang lalu, saat Alea pulang sekolah dengan seragam kotor dan lutut berdarah karena didorong Dino.
Di layar, terlihat Kiana masuk ke kamar Alea. Dia tidak memegang rotan atau sabuk. Dia terlihat mengambil kotak P3K yang tersimpan di kamar Alea.
Kiana di dalam video berlutut di depan Alea yang sedang menangis di tepi kasur. Dengan telaten, tangan Kiana membersihkan luka di lutut kecil itu menggunakan kapas alkohol.
"Aww! Perih, Tante!" suara Alea terdengar cempreng dan sangat jelas dari speaker TV kualitas surround sound itu. Membuktikan ucapan Kiana bahwa CCTV itu memang merekam suara.
"Tahan. Rasa perih itu pengingat kalau kamu masih hidup," suara Kiana di video terdengar datar tapi tidak kasar. Malah, setelah itu Kiana terlihat meniup-niup luka Alea dengan lembut.
Adegan berlanjut. Kiana tidak memarahi Alea karena bajunya kotor. Dia memeluk kepala Alea ke perutnya, mengusap rambut berantakan itu dengan sayang.
"Kamu nggak kalah, Alea. Kamu sudah berani melawan. Itu kemenangan pertama."
Video berganti slide.
Kali ini adegan di ruang tengah malam hari. Kiana, Gavin, dan Alea duduk melingkar di karpet. Tidak ada ketegangan. Yang ada justru gelak tawa yang memenuhi ruang makan melalui pengeras suara.
Kiana terlihat sedang memegang papan tulis kecil, menggambar lingkaran pizza. Dia mengajarkan matematika dengan semangat berapi-api.
"Kalau saham Papa naik sepuluh persen, uang jajan kamu jadi berapa?" tanya Kiana di video.
"Satu juta seratus ribu!" jawab Alea lantang.
"Tos dulu!"
Di layar, Alea dan Kiana melakukan high-five yang kencang. PLAK!
Suara tepukan tangan mereka terdengar renyah. Wajah Alea berseri-seri, jauh dari gambaran anak tertekan yang dituduhkan Bu Laras.
Gavin di video itu bahkan tertawa lepas, pemandangan langka yang jarang dilihat Bu Laras sejak Sarah meninggal.
Kiana menggeser slide lagi. Video terakhir.
Ini rekaman di garasi, pagi hari sebelum berangkat sekolah. Kiana sedang menyisir rambut Alea. Jari-jarinya bergerak lincah mengepang rambut anak itu dengan model French Braid yang rapi.
Setelah selesai, Kiana memutar tubuh Alea menghadap cermin.
"Cantik," puji Kiana di video.
Alea tersenyum lebar di depan cermin, lalu secara impulsif memeluk pinggang Kiana erat-erat.
"Makasih, Tante Kiana."
Layar TV menjadi gelap. Video selesai.
Keheningan di ruang makan itu terasa jauh lebih berat daripada sebelumnya. Hanya terdengar suara denting sendok yang tidak sengaja menyentuh piring karena tangan Bi Inah gemetar di dapur.
Kiana meletakkan ponselnya di meja dengan bunyi tak pelan. Dia menatap mertuanya dengan tatapan datar.
"Gimana, Bu? Kurang jelas? Atau Ibu butuh kacamata dan alat bantu dengar baru?" tanya Kiana tajam. "Di bagian mana saya menyiksa cucu Ibu? Di bagian saya mengobati lukanya? Atau di bagian saya bikin dia ketawa lepas?"
Wajah Bu Laras merah padam. Warnanya kontras dengan kebaya gelapnya. Mulutnya terbuka dan tertutup seperti ikan mas koki yang kehabisan oksigen. Dia kehilangan kata-kata. Bukti visual dan audio itu terlalu telak. Tidak ada celah untuk menyangkal.
Gavin terkekeh pelan. Dia menyesap kopinya dengan nikmat, seolah baru saja menonton film komedi terbaik tahun ini.
"Masih mau lapor KPAI, Ma?" tanya Gavin santai, tapi nadanya menyindir. "Atau mau lapor polisi karena Kiana terlalu rajin ngajarin Alea matematika?"
Bu Laras menoleh cepat ke arah Gavin, matanya menyala karena malu dan marah. "Kamu... kamu pasti sekongkol sama dia! Kalian sengaja bikin video itu buat menjebak Mama, kan?!"
"Ma, itu CCTV," Gavin meletakkan cangkirnya. Wajahnya berubah serius. "Kiana bahkan nggak tahu di mana letak kameranya di ruang tengah. Itu murni keseharian kami. Alea bahagia. Alea terawat. Mama bisa lihat dan dengar sendiri, kan? Lututnya diobati, bukan dipukul."
Alea, yang sedari tadi diam menikmati drama orang dewasa, akhirnya angkat bicara.
"Oma," panggil Alea polos sambil menjilat sisa selai di jarinya. "Tante Kiana baik kok. Tante Kiana yang bikin Tante Siska nangis waktu aku didorong Dino. Tante Kiana jagoan."
Pengakuan langsung dari "korban" adalah paku terakhir di peti mati argumen Bu Laras. Cucu kesayangannya sendiri yang membela musuhnya.
Bu Laras merasa sesak napas. Harga dirinya sebagai mantan nyonya besar yang paling tahu segalanya hancur lebur di meja makan ini. Dia datang jauh-jauh dengan niat membongkar kebusukan Kiana, tapi malah dipermalukan dengan bukti kasih sayang.
Tidak. Dia tidak boleh kalah. Dia Laras. Dia tidak akan membiarkan wanita asing yang bau asap gudang ini menang begitu saja.
Bu Laras menarik napas panjang, menegakkan punggungnya yang kaku. Dia memutar otak, mencari celah lain. Mencari kekurangan Kiana yang bisa dia jadikan senjata.
Matanya menyapu meja makan. Roti bakar. Selai. Kopi mesin. Sereal.
Makanan instan. Makanan siap saji.
Senyum licik perlahan terbit di bibir Bu Laras yang bergincu merah marun.
"Oke," ucap Bu Laras, suaranya kembali angkuh. Dia mengibaskan tangannya seolah video tadi tidak berarti apa-apa. "Mungkin dia nggak mukul. Mungkin dia bisa sisirin rambut. Itu tugas babysitter juga bisa."
Bu Laras menatap Kiana dengan tatapan meremehkan yang baru.
"Tapi istri itu bukan cuma babysitter, Kiana. Istri itu nyawanya rumah tangga. Dan nyawa rumah tangga itu ada di perut suami dan anak."
Kiana mengerutkan kening. Firasatnya mulai tidak enak. "Maksud Ibu?"
"Lihat meja makan ini," Bu Laras menunjuk piring-piring dengan tongkatnya. "Roti. Sereal. Kopi mesin. Semuanya instan. Semuanya bikinan pabrik. Kamu kasih makan anak dan suami pakai makanan yang dibungkus plastik begini setiap hari?"
"Ini praktis dan bergizi, Bu. Gavin suka kopi ini, dan Alea suka sereal," bela Kiana.
"Omong kosong!" bentak Bu Laras. "Gavin itu dari kecil terbiasa makan masakan rumah yang dimasak pakai tangan ibunya sendiri! Sarah dulu selalu bangun subuh buat masak soto, rawon, dan sop buntut buat Gavin sebelum kerja! Sarah memastikan gizi keluarga lewat tangannya sendiri, bukan lewat tangan pabrik atau pembantu!"
Gavin mau menyela, "Ma, aku nggak masalah makan roti..."
"Diam kamu, Gavin! Kamu cuma membela dia karena kamu takut tidur di luar!" potong Bu Laras galak. Dia kembali menatap Kiana.
"Kamu CEO, kan? Wanita karir yang sibuk cari duit sampai lupa kodrat?" sindir Bu Laras. "Saya yakin, wanita model kamu ini nggak bisa bedain mana lengkuas mana jahe. Tahunya cuma tanda tangan cek."
Kiana mengepalkan tangan di bawah meja. Bu Laras benar. Kiana memang buta dapur. Baginya dapur adalah laboratorium kimia yang berbahaya. Dia bisa memimpin tiga ribu karyawan, tapi dia gemetar kalau disuruh menyalakan kompor gas.
"Memasak bukan tolak ukur kesuksesan istri di abad 21, Bu," balas Kiana dingin. "Kita bisa sewa koki bintang lima kalau mau."
"Itu bedanya kamu sama Sarah!" seru Bu Laras, menyebut nama almarhumah anaknya untuk menekan mental Kiana. "Sarah masak pakai cinta. Kamu masak pakai duit. Pantas rumah ini terasa dingin. Nggak ada kehangatan dapur seorang ibu. Dan cucuku tumbuh dilingkungan ini."
Bu Laras berdiri, menantang Kiana dengan tatapan tajam.
"Kamu mau saya akui? Kamu mau saya berhenti lapor ke sana-sini soal ketidakbecusan kamu?"
"Apa maunya Ibu?" tanya Kiana, matanya menyipit.
"Buktikan kalau kamu wanita tulen, bukan robot pencari uang," kata Bu Laras. "Nanti malam. Makan malam. Saya mau lihat meja makan ini penuh dengan masakan rumah. Masakan Indonesia lengkap. Nasi, lauk utama, sayur, sambal, kerupuk. Semuanya harus kamu yang masak sendiri dari nol. Tanpa bantuan Bi Inah. Tanpa bumbu instan."
Gavin terbelalak. "Ma! Itu konyol! Kiana baru pulang urus gudang kebakaran! Dia capek!"
"Kalau dia capek, berarti dia lemah," Bu Laras tidak peduli. Dia mencondongkan wajahnya ke arah Kiana.
"Masak makan malam buat Gavin dan Alea. Kalau rasanya enak, saya akan pertimbangkan buat kasih restu ngurus cucu saya dan pulang besok pagi. Tapi kalau rasanya kayak sampah, atau kamu ketahuan beli di restoran..."
Bu Laras tersenyum kejam.
"...Berarti kamu memang nggak pantas jadi istri Gavin dan ibunya Alea. Kamu cuma benalu yang numpang di rumah ini. Dan saya akan pastikan hak asuh Alea jatuh ke tangan saya."
Kiana terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ini jebakan. Bu Laras tahu dia tidak bisa masak.
Tapi Kiana melihat wajah Alea yang menatapnya cemas. Dia melihat Gavin yang terlihat marah pada mantan ibu mertuanya.
Kiana tidak bisa mundur. Mundur berarti kalah. Dan Kiana Elvaretta tidak pernah kalah, bahkan di medan tempur yang dia tidak kuasai sekalipun.
Kiana berdiri, menatap balik Bu Laras dengan nyalang.
"Oke," jawab Kiana mantap, meski lututnya sedikit lemas membayangkan pisau dapur. "Nanti malam. Meja ini akan penuh. Siapkan lidah Ibu. Jangan sampai tertelan saking enaknya."
Bu Laras tertawa meremehkan. "Kita lihat saja nanti. Jangan sampai kamu bakar dapur anak saya kayak kamu bakar gudangmu sendiri."
Dengan kalimat penutup yang menyakitkan itu, Bu Laras berbalik dan berjalan keluar menuju taman belakang, meninggalkan Kiana yang kini punya masalah baru yang lebih mengerikan daripada sabotase gudang:
Memasak sop buntut tanpa meledakkan rumah.
vote untuk mu