Perjalanan hidup Kanaya dari bercerai dengan suaminya.
Lalu ia pergi karena sebuah ancaman, kemudian menikah dengan Rafa yang sudah dianggap adiknya sendiri.
Sosok Angela ternyata mempunyai misi untuk mengambil alih harta kekayaan dari orang tua angkat Kanaya.
Selain itu, ada harta tersembunyi yang diwariskan kepada Kanaya dan juga Nadira, saudara tirinya.
Namun apakah harta yang di maksud itu??
Lalu bagaimana Rafa mempertahankan hubungannya dengan Kanaya?
Dan...
Siapakah ayah dari Alya, putri dari Kanaya, karena Barata bukanlah ayah kandung Alya.
Apakah Kanaya bisa bertemu dengan ayah kandung Alya?
Lika-liku hidup Kanaya sedang diperjuangkan.
Apakah berakhir bahagia?
Ataukah luka?
Ikutilah Novel Ikatan Takdir karya si ciprut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon si ciprut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Strategi Anggela
Angela tahu waktunya hampir habis.
Akses ke ICU tertutup.
Nadira mulai stabil.
Rafa sudah bergerak terbuka dari balik bayangan.
Dan Kanaya… mulai mendekati kebenaran.
Langkah terakhir harus cepat, kotor, dan tak bisa ditarik kembali.
Malam itu, Angela tidak menuju rumah sakit. Ia justru mendatangi tempat yang paling tak terduga—arsip lama pengadilan, tempat berkas-berkas mati disimpan dan jarang disentuh. Dengan nama samaran dan bantuan orang dalam yang masih berutang padanya, ia menarik satu berkas tua.
Kasus lama.
Ditutup karena “kurang bukti”.
Nama ayah Barata ada di sana.
Dan—nama ayah kandung Kanaya tercantum sebagai saksi kunci yang menghilang.
Angela tersenyum tipis.
Bukan senyum kemenangan.
Senyum seseorang yang siap membakar segalanya.
Ia mengirim satu paket digital ke beberapa alamat sekaligus: redaksi media, penegak hukum, dan satu alamat anonim yang ia tahu akan sampai ke Rafa.
Isinya hanya tiga hal:
Potongan dokumen lama yang diselewengkan
Narasi baru yang dibalik—seolah ayah Kanaya adalah pelaku, bukan saksi
Satu kalimat penutup:
“Kebenaran selalu soal siapa yang lebih dulu bicara.”
Dalam hitungan jam, api menyala.
Nama keluarga Barata kembali diseret ke publik.
Nama Kanaya muncul sebagai “ahli waris dokumen”.
Tekanan datang dari segala arah—media, hukum, dan pihak-pihak lama yang ketakutan.
Di rumah, Kanaya merasakan dadanya sesak tanpa tahu sebab.
Alya terbangun dan menangis tanpa alasan.
Rafa menerima panggilan bertubi-tubi.
“Dia menyerang narasi,” kata Ardi cepat. “Bukan Nadira. Bukan dokumen. Persepsi publik.”
Rafa menutup mata. Ia tahu ini langkah terakhir Angela—jika ia gagal sekarang, ia akan hilang atau dikorbankan oleh penyuruhnya.
Dan di dalam mobil yang melaju tanpa tujuan, Angela menatap jalan kosong. Ponselnya bergetar—pesan terakhir dari orang yang memerintahnya:
“Bagus. Sekarang hilang.”
Angela tertawa pelan. Getar. Patah.
Ia sadar, tak ada tempat kembali.
Ia telah membakar jembatan terakhir.
Namun satu hal belum ia lakukan.
Ia memutar arah mobilnya—menuju rumah sakit.
Jika dunia akan runtuh karena kebohongan terakhirnya,
maka ia ingin melihat wajah orang yang membawa kunci kebenaran
sebelum semuanya berakhir.
Dan jauh di lantai ICU,
Nadira membuka mata sepenuhnya untuk pertama kali—
nama yang keluar dari bibirnya bukan dokter, bukan perawat.
“Kanaya…”
Permainan mencapai titik tanpa kembali.
Langkah terakhir Angela sudah dijalankan.
Sekarang, giliran kebenaran memilih:
siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan tumbang.
***
Hujan turun tipis ketika Angela keluar dari rumah sakit.
Wajahnya tetap dingin, tapi matanya menyala—campuran marah, putus asa, dan sesuatu yang lebih berbahaya: kehilangan kendali. Pintu ICU sudah tertutup rapat baginya. Kartu akses mati. Semua jalur buntu.
Di parkiran basement, langkahnya terhenti.
Barata berdiri bersandar pada pilar beton, rokok di tangan, seolah sudah menunggunya sejak lama. Tatapannya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang tahu hidupnya sedang dibidik.
“Kamu tidak bisa masuk,” kata Barata pelan, tanpa menyapa. “Aku juga sudah menduga.”
Angela tersenyum miring. “Kamu selalu sok tahu.”
“Tapi jarang salah,” balas Barata. Ia melangkah maju satu langkah. “Langkah terakhirmu gagal, Angela.”
Angela tertawa kecil, getir. “Gagal? Kamu pikir menutup ICU itu menang?”
“Tidak,” jawab Barata jujur. “Tapi itu cukup untuk membuatmu terlihat.”
Angela berhenti tertawa. “Kamu tidak mengerti apa yang kamu hadapi.”
“Oh, aku mengerti,” kata Barata. “Aku mengerti kenapa kamu bungkam. Aku mengerti kenapa kamu ragu menghabisiku. Dan aku mengerti kenapa sekarang kamu panik.”
Angela menatapnya tajam. “Kalau kamu mengerti, kamu sudah lari.”
Barata menggeleng pelan. “Aku sudah terlalu lama lari. Dari Kanaya. Dari diriku sendiri. Dari dosa ayahku.”
Nama itu menggantung di udara.
Angela mendengus. “Jadi kamu akhirnya tahu.”
“Aku tahu cukup,” jawab Barata. “Dan aku tahu satu hal lagi—kamu bukan orang terakhir yang ingin melihat Nadira hidup.”
Untuk sepersekian detik, wajah Angela retak.
“Mereka tidak akan membiarkannya bicara,” katanya lirih, lebih pada dirinya sendiri. “Dan mereka tidak akan membiarkan kamu hidup.”
Barata mematikan rokoknya, menatap Angela lurus. “Kalau begitu, bantu aku.”
Angela tertawa pahit. “Kamu gila. Kalau aku berpihak padamu—”
“Kamu sudah mengkhianati mereka,” potong Barata. “Narasi palsu yang kamu sebar itu bukan perintah. Itu improvisasimu. Kamu sedang dibuang, Angela. Sama sepertiku dulu.”
Angela terdiam lama. Hujan menetes dari rambutnya ke jaket.
“Aku tidak bisa masuk ke ICU,” katanya akhirnya, suaranya datar. “Tapi aku tahu satu hal yang belum kamu tahu.”
Barata mengangkat alis. “Apa?”
“Mereka tidak akan datang ke Nadira,” ucap Angela. “Mereka akan datang ke Kanaya. Karena dia dokumennya. Nadira cuma kuncinya.”
Dada Barata mengeras.
“Kamu masih punya pilihan,” kata Barata pelan. “Berhenti jadi alat.”
Angela menatap rumah sakit sekali lagi. Pintu itu tertutup. Tidak ada jalan kembali.
“Aku tidak pernah punya pilihan,” katanya. “Aku hanya menunda akhir.”
Ia melangkah melewati Barata, berhenti sejenak di sampingnya.
“Kalau Kanaya selamat,” bisiknya, “ingat satu hal—bukan semua monster lahir jahat. Beberapa… dibuat.”
Angela pergi, menyatu dengan hujan.
Barata berdiri sendiri di basement itu, ponsel sudah di tangan. Ia mengirim satu pesan singkat, James.
Kabar itu datang dari orang yang paling jarang bicara—James.
Ponsel Barata bergetar sekali. Satu pesan. Singkat, padat, tanpa basa-basi.
“Tenang. Kanaya tidak sendiri. Rafa yang pegang pengamanan.”
Barata berhenti melangkah.
Untuk beberapa detik, ia hanya berdiri di trotoar yang basah oleh hujan, membiarkan kalimat itu meresap. Ada sesuatu yang runtuh di dadanya—bukan ketakutan, melainkan beban.
“Rafa…” gumamnya pelan.
James menelpon tak lama kemudian. Suaranya tetap datar, tapi kali ini lebih manusiawi dari biasanya.
“Pengamanan berlapis. Orangnya bersih. Profesional. Bukan level rumah tangga. Level strategis.”
Barata menyandarkan punggung ke dinding. Ia menutup mata.
“Jadi… dia aman,” katanya, lebih seperti memastikan daripada bertanya.
“Untuk saat ini, iya,” jawab James. “Dan jujur saja, Bar—kalau ada satu orang yang tepat untuk menjaga Kanaya sekarang, itu Rafa.”
Kalimat itu menusuk, tapi tidak menyakitkan. Justru sebaliknya.
Barata mengingat semua keputusan buruknya. Mengingat saat ia mengusir Kanaya. Mengingat bagaimana ia dulu merasa menang karena Angela ada di sisinya. Kini semua itu terasa kecil—tak berarti dibanding satu fakta sederhana:
Kanaya akhirnya berada di tangan yang benar.
“Aku seharusnya yang melindunginya,” kata Barata lirih.
James terdiam sejenak. “Mungkin. Tapi sekarang tugasmu bukan itu.”
“Apa?”
“Berdiri di depan,” jawab James tegas. “Kamu target. Keturunan. Nama keluargamu umpan. Selama mereka fokus ke kamu, Kanaya punya ruang bernapas.”
Barata membuka mata. Hujan mulai reda.
Ia tersenyum tipis—senyum orang yang akhirnya mengerti perannya.
Bukan sebagai pahlawan.
Bukan sebagai orang yang dicintai.
Tapi sebagai tameng terakhir.
“Jaga dia,” kata Barata. “Kalau aku harus jatuh, pastikan dia tidak ikut.”
“Rafa sudah memilih itu,” jawab James. “Tanpa syarat.”
Barata mematikan panggilan. Ia menatap langit yang mulai cerah, lalu menarik napas panjang.
Untuk pertama kalinya sejak lama, ia tidak merasa sendirian.
Dan untuk pertama kalinya pula, ia bisa menerima satu kebenaran pahit namun menenangkan:
Kanaya aman—bukan karena dirinya,
melainkan karena seseorang yang benar-benar memilihnya.
Kini, Barata tahu apa yang harus ia lakukan.
.
.
.
BERSAMBUNG
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
kira2 gmn akhir dari kisah ini
hahh jd anak itu anak siapa alya kok bisa kanya sma barata dan kok bisa alya hamil hadeh kepingan puzel yg bener2 rumit tingkat dewa 🤣🤣🤣🤣
jawaban dr alya anak dia bukan kira2 kasih flash back nya kapan 🤣🤣🤣
jane apa.sih iki 🤣🤣🤣