NovelToon NovelToon
Cinta Dibalik Heroin 2

Cinta Dibalik Heroin 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / Obsesi / Mata-mata/Agen / Agen Wanita
Popularitas:282
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Erlang yang Selalu Terjaga

Pagi datang perlahan di apartemen Erlang, menyelinap lewat celah tirai yang belum sepenuhnya tertutup. Cahaya matahari jatuh tipis di lantai, membentuk garis-garis pucat yang nyaris tak terasa hangat. Kota di luar sana mulai bangun, tapi di dalam apartemen itu, waktu seolah berjalan lebih lambat.

Feni terbangun lebih dulu.

Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada. Langit-langit kamar yang asing. Bau sabun yang bukan miliknya. Udara dingin yang berbeda dari kamar tidurnya sendiri. Lalu perlahan, kesadarannya kembali utuh.

Ia merasakan sesuatu yang hangat melingkar di pinggangnya.

Erlang.

Lengan itu tidak mencengkeram, hanya melingkar pelan—seperti penanda bahwa ia tidak sendirian. Feni menoleh perlahan. Wajah Erlang terlihat lelah, ada bayangan gelap di bawah matanya yang tidak bisa disembunyikan. Bahkan dalam tidur, alisnya sedikit berkerut, napasnya tidak sepenuhnya lepas. Seolah tubuhnya masih berjaga, meski mata terpejam.

Rasa bersalah langsung mengendap di dada Feni.

Ia mengingat malam sebelumnya. Cara Erlang berkali-kali mengecek pintu. Cara ia bangun hanya karena suara kecil dari luar. Cara Erlang memastikan Feni tertidur lebih dulu sebelum dirinya benar-benar memejamkan mata.

Ia mencoba bergerak perlahan agar tidak membangunkan Erlang, tapi sentuhan sekecil apa pun membuat Erlang membuka mata.

“Kamu bangun?” suaranya serak, masih berat oleh sisa kantuk.

Feni membeku sejenak. “Maaf,” ucapnya lirih. “Aku bikin kamu nggak tidur.”

Erlang menggeser tubuhnya sedikit agar sejajar dengan Feni. Tatapannya masih buram, tapi fokus sepenuhnya padanya. “Aku tidur,” katanya pelan. “Cuma… tidurnya sambil jaga.”

Jawaban itu membuat tenggorokan Feni tercekat.

Ia tersenyum kecil, tapi matanya berkaca-kaca. “Kamu capek.”

“Iya,” jawab Erlang jujur. Tidak mencoba menyangkal. “Tapi aku nggak keberatan.”

Tangannya terangkat, mengusap rambut Feni dengan gerakan lambat dan hati-hati, seolah takut sentuhan yang terlalu kuat bisa membuatnya menghilang. Jari-jarinya hangat, menenangkan.

Beberapa saat mereka hanya diam, mendengarkan suara kota yang mulai hidup di luar sana—bunyi kendaraan, langkah orang-orang yang berangkat bekerja, kehidupan yang terus berjalan seolah tidak tahu apa yang sedang mereka hadapi.

“Kamu takut nggak?” tanya Feni tiba-tiba.

Pertanyaan itu keluar tanpa rencana. Tanpa filter.

Erlang terdiam sejenak. Ia menatap langit-langit, lalu kembali menatap Feni. “Takut,” jawabnya akhirnya. “Takut kalau aku lengah sedikit aja.”

Feni menunduk. Dadanya terasa sesak. “Aku ngerasa jadi beban.”

Erlang langsung mengangkat dagu Feni pelan, memaksanya menatap. “Kamu bukan beban,” ucapnya tegas tapi lembut. Nada suaranya tidak meninggi, tapi penuh keyakinan. “Kamu alasan.”

Napas Feni tercekat.

“Alasan aku buat lebih hati-hati,” lanjut Erlang. “Buat lebih sadar. Buat bertahan.”

Air mata Feni akhirnya jatuh. Ia memeluk Erlang, menempelkan wajahnya ke dada Erlang. Detak jantung itu kembali ia dengar—stabil, kuat, menenangkan. Seolah mengatakan bahwa selama detak itu masih ada, ia belum sendirian.

“Kalau aku kenapa-kenapa—” suara Feni bergetar.

“Jangan,” potong Erlang pelan. “Aku nggak mau denger kalimat itu.”

Pelukannya mengerat, lebih kuat dari sebelumnya. “Selama aku ada, aku jaga kamu.”

Kalimat itu sederhana. Tapi bagi Feni, itu seperti jangkar di tengah badai.

Mereka bangun sedikit lebih siang dari biasanya. Erlang lebih dulu turun dari ranjang, berjalan tanpa suara menuju dapur kecil. Feni memperhatikannya dari balik selimut—cara Erlang bergerak tenang tapi waspada, seolah setiap langkah diperhitungkan.

Erlang membuatkan teh hangat. Suara air mendidih terdengar pelan. Feni duduk di kursi dapur kecil, memeluk cangkir dengan kedua tangan. Uap hangat menyentuh wajahnya, sedikit mengusir dingin di tubuhnya.

Ia memperhatikan setiap gerak Erlang—cara ia menuang air, menutup pintu dapur dengan rapat, mengecek jendela sebelum membuka tirai sedikit saja. Semua dilakukan tanpa komentar, seperti refleks.

“Kamu dari tadi ngecek pintu terus,” ujar Feni akhirnya.

Erlang menoleh dan tersenyum tipis. “Kebiasaan.”

Feni bangkit dari kursinya, mendekat, lalu mencium pipi Erlang singkat. Sentuhan kecil itu membuat Erlang berhenti bergerak sesaat. Matanya menatap Feni, ada kehangatan yang sulit disembunyikan.

“Makasih,” ucap Feni pelan.

Erlang membalas dengan kecupan di kening. “Sarapan dulu.”

Mereka duduk berdampingan, menikmati pagi yang sederhana. Tidak ada percakapan berat. Tidak ada rencana besar. Hanya kehadiran satu sama lain.

Namun Feni menyadari satu hal—

Bahkan di momen yang paling tenang, Erlang tidak pernah benar-benar lengah. Setiap suara kecil membuatnya menoleh. Setiap bayangan di jendela diperhatikan. Tangannya selalu berada dalam jarak yang cukup dekat untuk meraih Feni jika sesuatu terjadi.

Dan untuk pertama kalinya, Feni benar-benar mengerti.

Rasa aman itu bukan karena bahaya telah pergi.

Bukan karena ancaman menghilang.

Melainkan karena ada seseorang yang memilih tetap terjaga,

bahkan ketika dunia menyuruhnya untuk beristirahat.

Demi dirinya.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!