“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Empat
Hening yang menyelimuti ruang keluarga malam itu sampai sekarang masih terasa menusuk di telinga Kevin. Setelah Papa menutup pintu kamar dengan suara keras, Kevin dan Davina tetap duduk di sofa, seolah kaki mereka menolak bergerak. Namun beberapa menit kemudian, Kevin akhirnya bangkit dan berkata pelan, “Aku mandi dulu, Davi. Istirahat, ya.”
Davina hanya mengangguk, meski jelas wajahnya masih diliputi kecemasan.
Kevin berjalan naik ke lantai dua, ke kamarnya, dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya. Begitu pintu kamar menutup, ia memejamkan mata. Dadanya terasa sesak. Ada amarah, kecewa, sedih, semua bercampur membentuk satu benang kusut yang sulit ia uraikan.
Ia baru saja melepas kaus saat terdengar ketukan pelan di pintunya. Kevin membuka pintu. Ternyata Papa.
Wajah Papa datar, bahkan lebih tegas dari biasanya. Tanpa menunggu Kevin mempersilakan masuk, Papa langsung melangkah ke dalam kamar.
“Kita bicara sebentar,” ucap Papa.
Kevin refleks menegakkan bahu. “Baik, Pa.”
Papa berdiri di tengah kamar. Tangannya disilangkan. Tatapannya tajam seperti sedang menembus isi kepala Kevin.
“Dari tadi Papa sudah lihat gelagat kamu,” ucap Papa perlahan, namun nada suaranya dingin. “Dan Papa mau kamu jawab jujur.”
Kevin menelan ludah. “Gelagat apa, Pa?”
Papa menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Jangan sampai … kamu jatuh cinta kepada adik kamu sendiri.”
Darah Kevin seakan berhenti mengalir. Ia hampir tidak bisa bernapas.
Sementara Papa melanjutkan dengan suara makin rendah tetapi menghujam.
“Papa lihat cara kamu menatap Davina. Cara kamu membela dia. Bahkan cara kamu duduk tadi di sampingnya. Jangan kira Papa buta.”
Kevin ingin bicara, ingin menjelaskan, ingin menyampaikan sesuatu, tapi lidahnya terasa kaku. Ia hanya bisa mengepalkan tangan.
Papa mendekat selangkah. “Dengar baik-baik. Apa pun yang terjadi, Papa tidak akan pernah merestui hubungan seperti itu. Tidak sekarang, tidak nanti, tidak pernah.”
Kevin menunduk. Ia merasa seperti sebuah dinding besar runtuh di atas tubuhnya.
“Davina itu adik kamu,” tegas Papa lagi. “Adik. Titik.”
Kevin mengepalkan tangan lebih kuat, ruas jarinya memutih. “Pa, aku ....”
“Tidak perlu ada penjelasan!” Papa memotong cepat. “Papa tidak mau dengar. Karena apa pun alasanmu, jawabannya tetap sama.”
Papa menghela napas panjang, seakan menahan emosi yang sebenarnya sudah tumpah.
“Kamu harus tetap menikah dengan Tia. Itu sudah diputuskan dari dulu. Dan Papa tidak menerima pembatalan apa pun.”
Hati Kevin mencelos. Tapi ia mencoba mengeluarkan suara. “Pa, aku tidak mencintai Tia. Kalau Papa paksa, berarti ....”
“KEVIN!”
Bentakan itu membuat Kevin terdiam. Papa menatapnya dengan mata yang seakan menyiratkan kekuasaan dan ketakutan bersamaan.
“Tidak semua pernikahan dimulai dari cinta. Banyak hal yang lebih penting dari itu. Hubungan keluarga. Kepercayaan. Masa depan perusahaan.”
Kevin menatap lantai. Mata itu panas. Bukan karena sedih saja, tapi karena marah yang ditahan.
Papa terus bicara. “Kamu akan tetap menikah dengan Tia. Dan kamu akan fokus pada itu.”
“Pa, dengarkan aku sebentar saja,” pinta Kevin lagi.
Tapi seperti tadi, Papa tidak memberi ruang sedikit pun.
“Aku bilang cukup.” Suara Papa kembali datar. “Sekarang Papa ingin kamu pergi ke cabang perusahaan di luar kota. Mulai malam ini.”
Kevin terbelalak. “Malam ini?”
“Ya.” Papa mengangguk tegas. “Cabang di Surabaya butuh pemimpin sementara. Dan kamu akan berangkat sekarang juga.”
“Pa, aku punya pekerjaan besok. Aku harus ....”
“KAMU HARUS IKUT!” Suara Papa kembali meninggi.
Kevin menutup mata sebentar, mencoba mengatur napas. “Pa, ini terlalu mendadak. Aku tidak bisa pergi begitu saja. Banyak hal yang harus aku urus!”
Papa menatapnya tajam, dingin, dan kali ini dengan nada yang jauh lebih menusuk.
“Kalau kamu tidak mau pergi … Davina yang akan Papa kirim ke luar negeri. Dan kamu tidak akan pernah bertemu dia lagi.”
Dunia Kevin seakan berhenti berputar. “Pa … jangan begitu. Jangan bawa Davi ....”
“Aku serius, Kevin.” Papa menunjuk wajahnya. “Jangan pikir Papa bercanda. Kalau kamu masih punya otak, kamu ikut apa yang Papa mau.”
Kevin terdiam. Kepalanya berdengung. Kakinya terasa goyah. Ia ingin berteriak, ingin membantah, ingin menolak, ingin melawan, tapi ancaman Papa tajam seperti pisau di leher. Jika Kevin menolak, Davina yang akan dikorbankan.
Papa melanjutkan, suaranya dingin dan mantap. “Kamu pergi malam ini. Tidak ada diskusi. Tidak ada alasan. Tidak ada penundaan. Itu jika kamu masih mau bertemu Davina!"
Kevin mengepalkan tangan. Emosi dalam dirinya hampir meledak. Tapi begitu wajah Davina terbayang, senyum kecilnya, ketakutannya, suaranya yang lembut saat memanggil 'Bang' Kevin sudah tahu ia tidak punya pilihan.
“Baik, Pa,” jawab Kevin pelan. “Aku ikut.”
Papa tampak puas. Ia berbalik menuju pintu. “Bagus. Siapkan barang-barang kamu. Sopir akan menjemputmu dalam tiga puluh menit.”
Lalu pintu ditutup. Kevin berdiri mematung. Tangannya gemetar. Nafasnya naik turun tidak teratur.
Tiga puluh menit. Tiga puluh menit sebelum ia harus meninggalkan rumah. Meninggalkan Davina.Tanpa bisa memberikan penjelasan apa pun.
**
Kevin memasukkan baju seadanya ke dalam koper. Tidak peduli mana yang rapi, mana yang sudah kusut. Setiap suara ritsleting terdengar seperti cambuk di dadanya.
Ketika ia baru hendak menutup koper, ponselnya berbunyi. Dari Davina.
Kevin menatap layar itu beberapa detik sebelum mengangkat.
“Halo, Bang …," ucap Davina lembut, tapi jelas ada ketakutan. “Tadi Papa habis ke kamar abang?”
Kevin menutup mata. “Iya.”
“Kalian ngomongin apa?”
Kevin membuka mulut, tapi suaranya serak. “Nggak banyak.”
“Bang?” Davina memanggil lagi, suaranya semakin cemas. “Abang kenapa?”
Kevin menggigit bibir. “Davi … abang harus pergi malam ini.”
Keheningan panjang menyusul. Davina bahkan tidak bernapas untuk beberapa detik.
“Apa?” suaranya nyaris pecah.
“Papa suruh abang pimpin perusahaan di Surabaya,” jelas Kevin pelan. “Sekarang juga.”
“Kenapa harus sekarang? Kenapa harus abang? Kenapa tiba-tiba sekali?” Davina terdengar gemetaran. “Bang, ini karena tadi?”
Kevin ingin bilang ya. Tapi ia tidak boleh menyakitinya dengan kebenaran sekejam itu.
“Enggak, Davi,” jawab Kevin selembut mungkin. “Ini cuma urusan kerja.”
Davina terdiam lama. Lalu, pelan sekali ia bertanya, “Abang bohong, ya?”
Dada Kevin terasa ditusuk. Tapi ia memaksakan diri berkata, “Maaf, Davi. Abang harus pergi. Papa nggak kasih pilihan.”
“Aku ikut?” Davina hampir berbisik.
Kevin tersenyum pahit. “Justru itu, Davi, kalau abang nggak pergi, kamu yang bakal dikirim jauh.”
Davina menahan napas, terdengar jelas dari seberang. “Papa bilang begitu?” tanyanya pelan, gemetar.
“Ya.”
Ada suara isakan kecil dari Davina. “Bang … aku nggak mau abang pergi.”
Hati Kevin patah. Rasanya ingin lari ke kamar Davina saat itu juga, ingin memeluknya erat, ingin bilang kalau semua ini tidak adil.
Tapi kalau ia lakukan itu, semuanya akan makin buruk.
“Abang juga nggak mau pergi,” ucap Kevin dengan suara serak. “Tapi … ini yang terbaik sekarang.”
“Berapa lama?”
Kevin terdiam. Papa tidak bilang. Dan itu berarti, selama yang Papa mau. “Aku nggak tahu, Davi.”
Davina menangis kecil. “Bang, jangan tinggalin aku.” Kalimat itu menghancurkan hati Kevin.
“Davi …” Suara Kevin hampir pecah. “Abang pergi bukan karena abang ninggalin kamu. Abang pergi supaya kamu tetap di sini. Tetap aman.”
Isakan di seberang telepon makin terdengar.
“Kalau abang nggak pergi … kamu bakal dibawa jauh. Dan abang nggak bisa terima itu.”
“Bang .…” Davina memanggil lirih. “Aku takut.”
Kevin menutup mata. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. “Abang juga. Tapi abang bakal balik. Abang janji.”
“Janji?” Davina memohon.
“Janji.”
Kevin menghapus air mata dengan punggung tangan. “Abang bakal balik kalau semua sudah siap. Kalau abang sudah cukup kuat buat melawan Papa. Kalau abang sudah punya cukup hal buat jaga kamu tanpa harus tunduk sama siapa pun.”
Davina terdiam. Lalu, dengan suara pelan tapi penuh luka, ia berkata, “Bang pergilah, tapi jangan tutup hatimu dari aku.”
Kevin menelan ludah yang terasa seperti batu. “Abang nggak akan pernah bisa.”
Tiba-tiba terdengar langkah mendekat di koridor. "Keviiiiin!" Itu suara Mama.
“Bang, aku ....” Davina ingin bicara lagi, tapi Kevin cepat memotong.
“Davi, nanti abang telepon lagi, ya.”
Lalu ia menutup telepon sebelum Davina semakin menangis.
**
Mama masuk ke kamar. “Kamu udah siap?” tanya Mama, suaranya pelan, tampak sedih.
Kevin mengangguk. “Iya, Ma.”
Mama menghela napas dan memegang lengan Kevin. “Maaf ya, Kevin. Mama nggak bisa bantu banyak.”
Kevin tersenyum lemah. “Tidak apa-apa, Ma.”
Sopir memanggil dari bawah. “Pak Kevin, mobil sudah siap.”
Kevin mengangkat kopernya. Saat ia berjalan menuruni tangga, ia sempat melirik lantai dua. Pintu kamar Davina tertutup rapat. Tapi di bawah pintu itu Kevin melihat bayangan.
Davina berdiri di baliknya. Bersandar. Menahan tangis. Memeluk dirinya sendiri.
Kevin ingin berhenti. Ingin balik. Ingin mengetuk pintu itu. Tapi ia tidak boleh. Kalau ia melanggar, Davina bisa hilang dari hidupnya selamanya.
Dengan langkah berat, Kevin keluar rumah. Pintu mobil ditutup. Mobil melaju.
Dan Davina, di balik pintu kamarnya, jatuh terduduk sambil menutup mulut agar suara tangisnya tidak terdengar.
kalau sudah salah jangan menambah kesalahan lagi.
berani menghadapi apapun resikonya.
tega niat ibunya Kevin, Davina suruh nanggung sendiri akibatnya
semangatttt kev dg penuh tggjawab, abaikan sementara mamamu itu, yg egois🤭 aslinya ibu tiri sdh Nampak