Aruna yang sedang menikmati masa kuliahnya yang santai tiba-tiba dipaksa pulang ke rumah untuk sebuah "makan malam darurat". Ia mendapati keluarganya di ambang kehancuran finansial. Ayahnya terjerat hutang pada keluarga Gavriel, sebuah klan penguasa bisnis yang kejam. Aruna "dijual" sebagai jaminan dalam bentuk pernikahan politik dengan Damian Gavriel, pria dingin yang mempesona namun manipulatif
bagaimana cara aruna mengahadapi takdirnya?..... yuk, baca selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Arsila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harta Karun Cempaka Kuning
Liburan romantis di Roma yang seharusnya berakhir dengan koper penuh oleh-oleh pakaian desainer, justru berubah menjadi misi ekspedisi mendadak. Hanya dalam waktu empat puluh delapan jam setelah pertemuan dengan utusan di Milan, Aruna dan Damian sudah berada di dalam helikopter pribadi yang membelah langit biru jernih di atas Kepulauan Maluku.
Di bawah mereka, hamparan laut gradasi biru toska hingga biru tua tampak begitu memukau, dengan gugusan pulau-pulau kecil yang terlihat seperti zamrud yang dijatuhkan ke atas hamparan sutra.
"Mas, aku masih tidak percaya," Aruna berteriak mengatasi bising baling-baling helikopter, tangannya menempel di kaca jendela. "Dari jualan katering, dikejar penjahat, hampir diledakkan, sekarang aku jadi pemilik pulau? Apa ini bukan kesalahan administratif? Siapa tahu ada Aruna Maheswari lain yang sebenarnya adalah putri keraton?"
Damian, yang sedang memeriksa koordinat di tablet militernya, menggeleng sambil tersenyum tipis. "Dokumen itu asli, Aruna. Silas bukan tipe orang yang salah tulis nama. Sepertinya kakekku, Hendrik, membeli pulau ini atas nama ayahmu puluhan tahun lalu sebagai bentuk 'asuransi' jika suatu saat keluarga Gavriel jatuh. Ayahmu mungkin tidak pernah tahu, atau mungkin dia sengaja merahasiakannya untuk melindungimu."
"Tapi emas, Mas! Emas!" Aruna mengguncang bahu Damian. "Kalau benar ada emas di sana, aku mau buat monumen seblak dari emas murni di depan mansion!"
"Kita lihat saja nanti," jawab Damian tenang, meski matanya tetap waspada. "Ingat, di mana ada emas, di situ ada serigala. Pulau ini terpencil, artinya hukum di sana mungkin berbeda dengan di Jakarta."
Helikopter mendarat di sebuah hamparan pasir putih yang luas di sisi timur Pulau Cempaka Kuning. Begitu pintu terbuka, udara panas yang lembap namun segar dengan aroma cengkih dan pala menyambut mereka.
Namun, pemandangan di depan mereka jauh dari kata sunyi. Ratusan penduduk lokal dengan pakaian adat berwarna merah dan kuning sudah berdiri berbaris. Mereka memegang tombak kayu yang dihiasi bulu burung cendrawasih, namun wajah mereka tidak menunjukkan kemarahan, melainkan kekaguman yang sakral.
Seorang pria tua dengan rambut putih panjang dan kalung dari taring hiu melangkah maju. Ia berlutut di depan Aruna, meletakkan tangannya di atas pasir.
"Selamat datang pulang, Tuan Putri Bunga Kuning," ujar pria itu dalam bahasa lokal yang diterjemahkan oleh asisten Damian. "Kami telah menunggu selama tiga generasi.
Ramuan leluhur mengatakan, saat langit memerah dan harimau kota membawa sang dewi kembali, maka tanah ini akan kembali bernapas."
Aruna membeku. Ia menatap Damian dengan tatapan 'tolong-aku-nggak-ngerti-apa-apa'. "Mas... dia panggil aku Tuan Putri? Apa aku harus balas panggil dia Kanjeng Gusti?"
Damian maju, mengangkat tangan sebagai tanda damai. "Kami datang dengan niat baik. Saya Damian, dan ini adalah istri saya, pemilik sah tanah ini."
Pria tua itu, yang ternyata adalah Kepala Suku Bara, berdiri dan menatap Aruna dalam-dalam. "Namanya tertulis di batu penjaga. Aruna. Cahaya fajar. Mari, ikutlah kami ke desa. Ada hal-hal yang tidak bisa dibicarakan di bawah matahari terbuka."
Perjalanan menuju desa di tengah pulau dilakukan dengan berjalan kaki menembus hutan tropis yang lebat. Di sepanjang jalan, Aruna melihat pohon-pohon raksasa yang usianya mungkin ratusan tahun. Namun, ada yang aneh. Di beberapa sudut hutan, terdapat bekas galian mesin modern yang sudah ditinggalkan dan berkarat.
"Siapa yang melakukan penggalian itu, Pak Bara?" tanya Aruna sambil menunjuk sebuah ekskavator yang sudah ditumbuhi lumut.
Wajah Bara mendadak mendung.
"Orang-orang berbaju abu-abu. Mereka datang sepuluh tahun lalu, dipimpin oleh pria yang suaranya seperti ular. Mereka mencoba mengambil hati bumi secara paksa. Tapi bumi menolak. Mesin-mesin mereka mati, dan orang-orang itu hilang ditelan hutan."
Damian berbisik pada Aruna, "Lukas. Sepertinya ayahku sudah mencoba menambang di sini secara ilegal, tapi dia gagal menembus pertahanan alam atau mungkin sabotase penduduk lokal."
Sesampainya di desa, mereka dibawa ke sebuah gua besar yang dindingnya dihiasi oleh urat-urat logam yang berkilauan terkena cahaya obor. Aruna terkesiap. Itu bukan sekadar emas biasa. Logam itu berwarna kuning kemerahan, sangat murni, dan seolah-olah mengalir secara alami di dinding gua.
"Ini bukan emas untuk dijual, Putri," ujar Bara serius. "Ini adalah jantung pulau. Jika jantung ini diambil untuk keserakahan, pulau ini akan tenggelam. Itulah mengapa leluhur kami menjaganya. Kami butuh pemilik sah untuk menandatangani Sumpah Penjagaan, agar perusahaan-perusahaan besar tidak bisa menyentuh tempat ini."
Aruna menelan ludah. Impiannya tentang monumen seblak emas mendadak terasa sangat dangkal. Ia melihat kemiskinan di desa itu anak-anak yang tidak punya sekolah, klinik kesehatan yang hanya beralaskan tanah namun mereka tetap menjaga emas itu dengan nyawa mereka.
"Jadi... dokumen yang aku punya itu bukan untuk menjadikanku kaya?" tanya Aruna lirih.
"Dokumen itu adalah perisai, Nyonya," Damian menimpali, ia baru saja selesai membaca prasasti kuno di pojok gua. "Silas memberikan ini padamu bukan agar kau kaya, tapi sebagai ujian terakhir. Jika kau menjual pulau ini, kau akan menjadi seperti dia. Jika kau menjaganya, kau akan menjadi pemimpin yang sesungguhnya."
Malam itu, saat pesta penyambutan sedang berlangsung di alun-alun desa, sebuah suara ledakan keras terdengar dari arah dermaga. Cahaya api membumbung tinggi ke langit, menghancurkan ketenangan malam.
"MEREKA DATANG LAGI!" teriak salah satu pemuda suku.
Dua kapal patroli hitam besar tanpa bendera mendekat ke dermaga. Dari dalamnya, keluar puluhan tentara bayaran dengan senjata otomatis lengkap. Mereka tidak memakai seragam Silas, melainkan lambang baru sebuah segitiga merah dengan mata di tengahnya.
"Sektor Internasional," desis Damian, ia segera menarik Aruna ke belakang sebuah pohon besar. "Ini bukan lagi soal warisan keluarga, Aruna. Ini adalah kartel mineral ilegal dunia. Mereka pasti sudah memantau pergerakan kita sejak dari Roma."
Pimpinan tentara itu, seorang pria dengan bekas luka bakar di wajahnya, berteriak menggunakan pengeras suara. "SERAHKAN DOKUMEN KEPEMILIKAN PULAU CEMPAKA KUNING! ATAU KAMI AKAN MERATAKAN DESA INI DALAM SEPULUH MENIT!"
Aruna gemetar, tapi ia melihat wajah anak-anak desa yang ketakutan. Keberanian "Ratu Seblak"-nya mendadak membuncah. Ia merogoh tasnya, mencari sesuatu.
"Mas Damian, apa mereka punya alat pendeteksi panas?" tanya Aruna cepat.
"Punya. Kenapa?"ucap Damian.
"Tiara pernah bilang, kalau kita membakar sabut kelapa yang dicampur dengan getah pohon damar dan bubuk cabai kering, asapnya akan sangat tebal dan bisa mengacaukan sensor optik serta membuat sesak napas yang luar biasa. Dan di sini... ada gudang penyimpanan damar di belakang desa!"
Damian menatap Aruna dengan bangga. "Lakukan. Aku akan memimpin para pemuda suku untuk melakukan serangan gerilya dari balik hutan. Gunakan asapmu sebagai tabir surya bagi kami."
Sepuluh menit kemudian, hutan Cempaka Kuning diselimuti asap tebal berwarna kuning kecokelatan yang berbau sangat menyengat. Para tentara bayaran itu mulai terbatuk-batuk hebat. Kacamata night vision mereka tidak berguna karena asap itu mengandung partikel minyak yang menempel di lensa.
"APA INI?! MATAKU TERBAKAR!" teriak salah satu tentara.
Di tengah kabut asap, para pemuda suku yang sudah terbiasa dengan medan hutan bergerak seperti hantu. Dengan bimbingan taktis dari Damian, mereka melumpuhkan para tentara satu per satu menggunakan sumpit beracun dan jerat tali.
Aruna sendiri tidak tinggal diam. Ia berada di barisan belakang, melemparkan "bom asap cabai" buatannya ke arah kapal patroli. Suasana menjadi kacau balau.
Tentara-tentara profesional itu kocar-kacir melawan taktik "perang dapur" Aruna.
Pimpinan mereka mencoba lari kembali ke kapal, namun Damian sudah menunggunya di dermaga. Dengan satu pukulan telak ke ulu hati, pria itu tersungkur.
"Pulau ini punya pemilik baru sekarang," ujar Damian sambil menginjak tangan pria itu yang mencoba meraih pistol. "Dan pemiliknya tidak suka tamu yang datang tanpa mengetuk pintu."
Setelah fajar menyingsing, para tentara bayaran itu diikat dan diamankan di balai desa untuk diserahkan ke pihak berwenang pusat. Aruna berdiri di tepi pantai, menatap matahari terbit dengan perasaan yang campur aduk.
"Mas," panggil Aruna. "Aku sudah memutuskan."
Damian berdiri di sampingnya. "Apa keputusanmu, Nyonya Pulau?"
"Aku tidak akan menambang emas ini. Sedikit pun tidak. Aku akan menjadikan pulau ini sebagai kawasan konservasi internasional dan pusat penelitian hayati. Emas ini akan tetap di dalam gua sebagai cadangan abadi. Dan sebagai gantinya, kita akan pakai uang hasil keuntungan Gavriel Group untuk membangun sekolah, rumah sakit, dan akses internet buat warga di sini."
Aruna menoleh ke arah Damian dengan senyum manis. "Aku tidak butuh monumen emas, Mas. Melihat anak-anak itu bisa sekolah dengan tenang itu jauh lebih mewah daripada punya kalung berlian seberat satu kilo."
Damian menarik Aruna ke dalam pelukannya. "Itulah alasan kenapa kakekku memilihmu, Aruna. Bukan karena kamu hebat dalam bisnis, tapi karena kamu punya hati yang tidak bisa dibeli dengan harga berapapun."
Saat mereka bersiap kembali ke helikopter untuk melaporkan penemuan ini ke Jakarta, Aruna melihat sebuah botol kaca terdampar di pasir. Di dalamnya ada sebuah gulungan kertas kecil. Ia membukanya dan membacanya pelan
"Permainan di pulau itu hanya permulaan, Aruna Maheswari. Selamat atas pilihan sucimu. Tapi ingat, di Jakarta, seseorang yang kau anggap sudah mati baru saja bangun dari tidurnya. Sampai jumpa di pesta dansa berikutnya."
Aruna meremas kertas itu. "Mas... sepertinya kita tidak bisa benar-benar pensiun ya?"
Damian menatap tajam ke arah laut lepas. "Tidakkah itu yang membuat hidupmu berwarna, Aruna?"
"Berwarna sih berwarna, Mas! Tapi kalau warnanya merah darah terus, lama-lama aku bisa jantungan!"