NovelToon NovelToon
Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Perperangan / Elf / Action / Budidaya dan Peningkatan / Cinta Murni
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22: Labirin Bayangan

Hening yang memekakkan telinga menyambut Kaelan saat kakinya menginjak lantai yang terasa seperti es namun tampak seperti cermin obsidian. Di belakangnya, gerbang batu yang tadi menelan Lyra telah lenyap, digantikan oleh dinding-dinding kaca setinggi puluhan meter yang memantulkan bayangan dirinya dalam jumlah tak terhingga. Bau obsidian yang dingin dan tajam menusuk penciumannya, memicu rasa mual yang asing.

"Lyra!" teriak Kaelan, namun suaranya tidak bergema. Suara itu seolah tersedot oleh dinding-dinding kaca di sekelilingnya.

Kaelan menatap telapak tangannya. Kulit perak yang merupakan manifestasi Spark 9 miliknya bergetar hebat. Ramuan esensi Akar Azure yang diberikan Mina tadi masih menyisakan rasa terbakar di tenggorokannya, memaksa sumsum tulangnya untuk terus memproduksi energi meski jiwanya mulai terkikis oleh atmosfer gelap tempat ini.

"Kau mencarinya, Manusia?"

Kaelan berputar cepat, tangannya mengepal hingga kuku-kukunya melukai telapak tangan sendiri. Di salah satu cermin besar di depannya, ia tidak melihat pantulan dirinya yang sekarang—seorang komandan pemberontak dengan zirah retak. Ia melihat dirinya yang dulu, mengenakan pakaian rami kasar yang kotor dan kalung besi budak yang melingkar di lehernya.

"Siapa kau? Keluar!" Kaelan menggeram, rahangnya mengeras hingga otot-lehernya menegang.

"Aku adalah kau. Aku adalah bagian yang kau kunci di ruang bawah tanah ingatanmu," sosok di dalam cermin itu menjawab dengan suara yang menyerupai gesekan batu makam. "Lihatlah dirimu. Berapa kali pun kau naik tingkat, kau tetaplah budak yang berlutut di lantai dingin Solaria, menunggu keputusan dari para dewa bertelinga lancip itu."

Tiba-tiba, pemandangan di dalam cermin meluas. Kaelan melihat proyeksi kejadian di persidangan saat ia pertama kali difitnah oleh Alaric. Ia melihat dirinya sendiri sedang dirantai, ditekan oleh gravitasi mana dari para tetua Elf, sementara High Lord Valerius menatapnya seolah ia hanyalah serangga yang mengganggu keindahan karpet istana.

"Kaelan... tolong..."

Suara Lyra memecah proyeksi itu. Kaelan melihat Lyra berdiri di tengah labirin cermin, beberapa meter darinya. Namun, Lyra tidak melihatnya. Wanita itu sedang menatap sebuah cermin besar yang menampilkan sosok Valerius Elviana yang sedang memegang cambuk api.

"Kau adalah aib bagi darah Elviana, Lyra," suara proyeksi Valerius itu menggelegar, membuat kaca-kaca di sekitarnya bergetar. "Memilih budak ini daripada kehormatan kasta? Kau pantas buta selamanya."

"Bukan... bukan itu..." Lyra mundur selangkah, tangannya menutupi mata kirinya yang kini memancarkan cahaya ungu yang tidak stabil. "Aku hanya ingin dia hidup. Dia tidak bersalah, Ayah!"

"Di dunia ini, keberadaan seorang budak yang dicintai seorang putri adalah kesalahan terbesar!" bayangan Valerius itu mengangkat cambuknya.

"Hentikan!" Kaelan menerjang maju, namun tubuhnya menghantam permukaan cermin yang keras. Ia tidak bisa menyentuh proyeksi itu. "Lyra! Itu tidak nyata! Itu hanya tipuan Abyss!"

Lyra terjatuh, ia meringkuk di lantai cermin yang dingin. Resonansi penderitaan di punggung Kaelan meledak. Ia merasakan perih yang luar biasa, seolah kulitnya sedang dikelupas paksa. Ia tahu, Lyra sedang mengalami penyiksaan mental yang termanifestasi menjadi rasa sakit fisik melalui hubungan jiwa mereka.

"Kau bilang kau bisa melindunginya, Kaelan?" bayangan budak di cermin samping Kaelan tertawa sinis. "Lihat dia. Dia hancur karena kau ada di sampingnya. Martabatnya sebagai Putri Elf hilang, digantikan oleh status pengkhianat. Jika kau benar-benar mencintainya, kau seharusnya mati di Red Line dan membiarkannya tetap di singgasana kristalnya."

Kaelan terdiam. Tangannya yang mengepal mulai mengeluarkan darah merah yang bercampur dengan pendar perak. Dilema itu menghantamnya lebih keras daripada pukulan naga mana pun. Ia mengakui di dalam batinnya yang paling dalam; ia merasa gagal. Ia merasa luka di punggung Lyra adalah bukti ketidakberdayaannya.

"Aku memang terluka," bisik Kaelan pelan, suaranya parau. "Aku terluka setiap kali melihatnya harus berpura-pura membenciku di depan Alaric hanya untuk menyelamatkan nyawaku."

"Lalu kenapa kau masih memegang tangannya?" tanya bayangan itu.

"Karena dia adalah satu-satunya alasan kenapa aku tetap menjadi manusia, bukan monster yang hanya tahu cara membunuh," Kaelan mendongak, matanya yang perak kini menatap tajam ke arah proyeksi Valerius. "Dan martabat... martabat tidak ditentukan oleh siapa yang berlutut, tapi oleh siapa yang tetap berdiri saat dunianya runtuh!"

Kaelan menghantamkan tinjunya ke cermin di depannya dengan seluruh kekuatan Spark 9. Krak! Retakan menjalar seperti jaring laba-laba. Ia tidak menggunakan mana, ia menggunakan kehendak murninya.

"Lyra! Tatap aku!" Kaelan berteriak, mengabaikan rasa perih di punggungnya yang kini mulai berdarah. "Jangan lihat bayangan ayahmu! Lihat aku!"

Lyra perlahan mengangkat wajahnya. Matanya yang ungu tampak berkaca-kaca, dipenuhi oleh ketakutan yang mendalam akan penolakan. "Kaelan... aku membuatmu menderita. Aku membawa kutukan ini padamu..."

"Kau tidak membawa kutukan, Lyra. Kau membawa cahaya ke dalam lubang tambang tempatku dulu terkubur," Kaelan melangkah mendekat, kali ini tembok transparan itu mulai menipis seiring dengan kejujuran emosinya. "Luka di punggungku, luka di punggungmu... itu bukan beban. Itu adalah janji bahwa kita berbagi takdir yang sama."

"Tapi mereka bilang... mahar nyawanya adalah kau..." Lyra merintih, menunjuk ke arah kegelapan di luar jangkauan cermin.

"Maka biarkan mereka mengambil nyawaku, tapi mereka tidak akan pernah bisa mengambil kesetiaanku," Kaelan akhirnya berhasil menembus pembatas energi dan meraih tangan Lyra.

Saat tangan mereka bersentuhan, sapu tangan Azure yang terikat di pergelangan tangan Kaelan bersinar terang. Warna ungunya kini berpendar stabil, menetralisir aura obsidian yang membeku di sekitar mereka. Bau melati yang hangat mulai mengalahkan bau busuk kegelapan.

"Kenapa kau begitu bodoh?" Lyra bertanya di sela isakannya, namun ia membalas genggaman tangan Kaelan dengan sangat erat.

"Karena aku adalah budak yang keras kepala, Putri," Kaelan tersenyum tipis, sebuah senyum yang dipaksakan di tengah rasa sakit yang hebat. "Sekarang, mari kita hancurkan labirin ini bersama."

Tiba-tiba, suara retakan besar terdengar dari langit-langit labirin. Naga Void yang tadi mereka lihat di gerbang kini muncul sepenuhnya, tubuhnya yang masif terdiri dari ribuan cermin retak yang memantulkan segala ketakutan manusia.

"Dia datang untuk menagih kejujuran terakhir," bisik Lyra, ia berdiri tegak di samping Kaelan, matanya mulai bersinar dengan otoritas yang berbeda. "Kaelan, labirin ini tidak akan hancur sebelum kita mengakui apa yang paling kita takuti dari satu sama lain."

Kaelan menelan ludah. Ia menatap Naga Void yang mulai membuka mulutnya, menyiapkan semburan energi kehampaan. "Aku takut... aku takut suatu saat kau akan sadar bahwa aku memang tidak layak untukmu."

"Dan aku takut," sahut Lyra dengan suara gemetar, "suatu saat kau akan membenciku karena akulah alasan kau tidak bisa hidup tenang sebagai manusia biasa."

Suasana di dalam gua mendadak menjadi sangat sunyi. Pernyataan itu menggantung di udara, lebih berat daripada tekanan mana tingkat Sovereign. Naga Void itu berhenti bergerak, seolah-olah pengakuan itu adalah racun bagi keberadaannya yang tercipta dari kepalsuan.

"Kita sudah mengatakannya," bisik Kaelan. "Sekarang, tidak ada lagi rahasia di antara kita."

Naga Void itu meraung, sebuah suara yang terdengar seperti ribuan kaca yang pecah secara bersamaan. Getarannya merambat melalui lantai cermin, menghantam tulang kering Kaelan hingga ia nyaris jatuh terjatuh. Namun, pengakuan jujur yang baru saja terucap seolah menjadi jangkar yang menahan jiwanya agar tidak tercerai-berai oleh intimidasi sang penjaga Abyss.

"Kau dengar itu?" Kaelan menggeram sembari mempererat genggamannya pada gagang kapak perangnya. "Dia marah karena kita tidak lagi bisa dipermainkan oleh keraguan."

"Kaelan, lihat jantungnya!" Lyra menunjuk ke arah dada naga tersebut. Di sana, di balik sisik yang terbuat dari kristal hitam, terdapat sebuah inti yang berdenyut dengan warna ungu yang identik dengan mata kiri Lyra. "Itu bukan sekadar monster. Itu adalah manifestasi dari kutukan keluargaku yang dibuang ke tempat ini."

"Berarti, dengan menghancurkannya, aku juga menghancurkan sebagian dari bebanmu," sahut Kaelan.

Ia melesat maju, meninggalkan jejak kaki perak di atas lantai obsidian yang retak. Setiap langkahnya memicu ledakan energi Spark 9 yang kini telah bercampur dengan esensi Akar Azure. Tubuh Kaelan terasa ringan sekaligus panas, seolah sumsum tulangnya telah berubah menjadi logam cair yang mendidih.

Naga itu menyemburkan nafas kehampaan. Kaelan tidak menghindar; ia mengangkat tangan kanannya yang bersinar perak murni, menciptakan perisai mana berbentuk melingkar yang menahan semburan gelap tersebut. Benturan itu menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan cermin-cermin di radius sepuluh meter.

"Lyra, sekarang!" teriak Kaelan di tengah raungan badai energi.

Lyra memejamkan mata kanannya, membiarkan mata kirinya yang ungu terbuka sepenuhnya tanpa pelindung. Cahaya ungu pekat meluncur dari pupilnya, menyambar ke arah jantung naga tersebut. Sinar itu bertindak sebagai pemandu, melemahkan lapisan pelindung kristal naga yang merupakan proyeksi dari ketakutan Lyra sendiri.

"Aku tidak akan lari lagi, Ayah!" Lyra berteriak, suaranya bergema memenuhi gua, menantang bayangan Lord Valerius yang sempat muncul di permukaan tubuh naga itu. "Kaelan adalah pilihanku, dan aku adalah takdirku sendiri!"

Seketika, naga itu melemah. Kaelan melihat celah di antara sisik dada naga yang kini terbuka lebar. Ia melompat tinggi, memutar tubuhnya di udara, dan menghantamkan kapaknya dengan kekuatan penuh ke arah inti naga tersebut.

"Hancurlah bersama kepalsuanmu!"

Ledakan cahaya perak dan ungu menyinari seluruh labirin. Kaelan merasakan tekanan udara yang sangat berat, seolah-olah seluruh atmosfer Abyss mencoba memeras tubuhnya. Resonansi penderitaan di punggungnya berdenyut satu kali terakhir dengan sangat tajam—sebuah rasa sakit yang sangat murni hingga dunianya menjadi putih seketika—sebelum akhirnya rasa sakit itu memudar menjadi kehangatan yang asing.

Saat cahaya meredup, Naga Void itu telah lenyap menjadi serpihan debu obsidian yang jatuh seperti salju hitam. Dinding-dinding cermin di sekeliling mereka pun mulai runtuh, menyingkapkan kembali gua batu yang gelap dan lembap di mana rombongan Legiun Karang sedang menunggu dengan cemas di balik garis pembatas.

Kaelan mendarat dengan lutut yang gemetar. Napasnya tersengal, dan seluruh ototnya terasa seperti ditarik paksa. Di sampingnya, Lyra jatuh terduduk, napasnya memburu namun cahaya ungu di matanya kini tampak lebih tenang, lebih terkendali.

"Komandan!" Bara berteriak, ia berlari melintasi area yang tadi tertutup tembok energi, diikuti oleh Mina yang langsung menyiapkan botol-botol ramuan.

"Jangan sentuh aku dulu, Mina," Kaelan mengangkat tangan, memperingatkan. Tubuhnya masih mengeluarkan percikan energi liar yang bisa melukai orang biasa. Ia menatap tangannya; kulit peraknya kini tampak lebih permanen, tidak lagi bergetar tidak stabil.

"Kaelan, punggungmu..." Mina terkesiap saat melihat bagian belakang jubah Kaelan yang koyak.

"Aku tahu. Rasa sakitnya sudah hilang," ucap Kaelan tenang. Ia menoleh ke arah Lyra yang sedang dibantu berdiri oleh Jiro. "Lyra, kau tidak apa-apa?"

Lyra menatap Kaelan dengan tatapan yang jauh lebih dalam dari sebelumnya. Ia tidak lagi melihat budak atau komandan; ia melihat belahan jiwanya. "Aku merasa... lebih ringan. Suara-suara bisikan itu tidak lagi berteriak, Kaelan. Mereka hanya berbisik kecil, seolah-olah mereka sedang tunduk."

"Labirin ini adalah ujian untuk menyelaraskan frekuensi jiwamu dengan Cursed Eye," Mina menjelaskan sembari memeriksa mata Lyra dengan hati-hati. "Kaelan bertindak sebagai penyeimbang materi. Tanpa martabatnya yang kokoh untuk menahan guncangan mentalmu, kau mungkin sudah kehilangan jati dirimu di dalam sana, Lyra."

Kaelan mengambil sapu tangan Azure yang tergeletak di antara debu obsidian. Kain itu kini memiliki pola baru; garis-garis perak yang saling bertautan dengan warna ungu, membentuk motif yang menyerupai rantai yang indah. Ia menyerahkannya kembali kepada Lyra.

"Simpan ini. Ini adalah bukti bahwa kita sudah melewati persidangan yang lebih kejam daripada di Solaria," bisik Kaelan.

Lyra menerima kain itu, menggenggamnya erat di dadanya. "Ke mana kita sekarang? Alaric tidak akan berhenti. Dia pasti sedang membawa pasukan yang lebih besar menuju bibir jurang ini."

Kaelan menatap ke arah kegelapan yang lebih dalam di belakang gua tersebut. Indranya sebagai pemilik Spark 9 menangkap getaran yang sangat masif dari bawah sana. "Kita tidak bisa kembali ke atas. Tapi kita juga tidak bisa terus di sini. Kita akan mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh naga tadi sebelum ia hancur."

"Maksudmu masuk lebih dalam ke jantung Abyss?" tanya Bara dengan ragu.

"Ada sesuatu yang memanggil di sana, Bara. Sesuatu yang berhubungan dengan surat ibumu, Lyra," Kaelan menatap pintu keluar di ujung gua. "Jika Aethelgard menganggap tempat ini sebagai tempat pembuangan, maka kita akan menjadikannya benteng kita."

"Dengar!" Jiro tiba-tiba menunjuk ke arah langit-langit gua yang tinggi.

Suara gemuruh kavaleri terbang Elf terdengar samar dari atas sana, diiringi oleh ledakan-ledakan cahaya keemasan yang mencoba menembus kabut hitam Abyss. Alaric telah tiba di bibir celah, dan ia tidak ragu untuk menggunakan sihir penghancur masif demi memastikan musuh-musuhnya tidak pernah melihat matahari lagi.

"Mereka membakar oksigen di atas sana," ucap Mina cemas. "Jika kita tidak bergerak sekarang, kita akan mati lemas oleh gas buang sihir mereka."

Kaelan meraih tangan Lyra, membantu wanita itu berdiri tegak. "Legiun Karang, bersiap! Kita tinggalkan cahaya palsu Aethelgard di belakang. Hari ini, kita berjalan di dalam kegelapan untuk menemukan kebenaran yang mereka takuti."

Mereka mulai melangkah meninggalkan gua cermin, masuk ke dalam lorong batu yang sempit dan curam. Di depan mereka, kegelapan Abyss menunggu dengan segala rahasianya, namun kali ini, Kaelan tidak lagi merasa seperti budak yang sedang melarikan diri. Ia melangkah dengan martabat seorang pria yang telah menaklukkan ketakutannya sendiri.

"Kaelan," panggil Lyra pelan di tengah perjalanan sunyi mereka.

"Ya?"

"Terima kasih karena tetap menjadi orang bodoh yang memegang tanganku."

Kaelan tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mempererat genggamannya, merasakan detak jantung mereka yang kini berdenyut dalam ritme yang sama, menantang maut yang terus mengintai di setiap jengkal kedalaman dunia.

1
prameswari azka salsabil
awal keseruan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sungguh pengertian
prameswari azka salsabil
kasihan sekali kaelan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
luar biasa
Kartika Candrabuwana: jos pokoknya👍
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ujian ilusi
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sesuai namanya
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
syukurlah kaelan meningkat
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ada petubahan tradisi?
Kartika Candrabuwana: pergerseran nilai
total 1 replies
prameswari azka salsabil
kaelan bertahanlah
Kartika Candrabuwana: ok. makasih
total 1 replies
prameswari azka salsabil
bertarung dengan bayangan🤣
Indriyati
iya. untuk kehiduoan yang lebih baik
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Indriyati
ayo kaelan tetap semanhat😍
Kartika Candrabuwana: iya. nakasih
total 1 replies
Indriyati
bagus kaelan semakinnkuat👍😍
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
Indriyati
iya..lyra berpikir positif dan yakin👍💪
Kartika Candrabuwana: betul
total 1 replies
Indriyati
seperti di neraka😄🤭🤭
Kartika Candrabuwana: iya. makssih
total 1 replies
prameswari azka salsabil
wuihhh. asyik benere👍💪
prameswari azka salsabil
iya kasihan juga ya🤣🤣
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ini pertambangan ya😄
Kartika Candrabuwana: kurang lebih iya
total 1 replies
prameswari azka salsabil
hidup kaelan👍💪
Kartika Candrabuwana: baik. ayo kaelan
total 1 replies
prameswari azka salsabil
bersabar ya
Kartika Candrabuwana: iya. makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!