NovelToon NovelToon
Amorfati

Amorfati

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Keluarga / Trauma masa lalu / Tamat
Popularitas:368
Nilai: 5
Nama Author: Kim Varesta

Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa

Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam

Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya

Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25. Aksi Pertama

🦋

“Aku… penyebabnya.”

Suara itu datang dari arah pintu.

Auliandra dan Nira sontak menoleh, di sana, Asteria berdiri. Langkahnya berat, namun ia terus maju, mendekati meja makan.

Lima tahun telah berlalu sejak malam itu. Malam yang merenggut banyak hal, malam yang membuat Auliandra kehilangan sebagian dari dirinya. Dan kini, Asteria berlutut di depan kursi adiknya, matanya berair, tangannya bergetar.

"Liana… maafkan aku." Suaranya pecah. "Kecelakaan itu… rem mobilmu… aku yang merusaknya."

Ia menarik napas tajam, dadanya naik-turun.

"Aku sengaja. Aku marah padamu… aku pikir kaulah alasan ayah mengirimku ke luar negeri."

Auliandra menatapnya lama, tidak dengan kemarahan, melainkan lembut. Ia tahu, ini bukan murni kesalahan Asteria. Ia tahu ada orang lain di baliknya, bisikan beracun yang membuat Asteria percaya bahwa ia adalah anak yang kurang disayang.

"Aku sudah lama menunggu permintaan maafmu, Aster," ucap Auliandra pelan.

Tangis Asteria pecah. Ia memeluk kaki adiknya, bahunya terguncang. "Andai aku bisa kembali ke masa itu… aku akan ubah semuanya."

"Aku tahu." Auliandra menyentuh kepala kakaknya. "Aku sudah memaafkanmu. Yang penting sekarang… kita jalani hidup sebagai saudara kandung."

Asteria berdiri lalu memeluknya erat. Ia menangis lebih kencang, menyesali setiap rasa iri yang dulu ia pelihara.

"Katakan pada jiwa Liana… aku minta maaf."

"Akan kusampaikan."

"Terima kasih, Auli. Meski tubuh ini milik Liana, aku tahu… jiwanya bukan lagi Liana. Tapi… aku lega masih bisa melihat tubuh ini bergerak."

Nira menatap haru. Tragedi, iri hati, dan luka, semuanya bisa pudar, tapi darah tetaplah darah.

Di kamar lain

"SETAN DEMIT!" teriak Jevano begitu keluar dari walk-in closet.

"Ki… lihat! Jevan manggil aku setan demit!" Edwin langsung bersembunyi di balik Kiran.

"Itu fitnah! Dia yang ngagetin aku," bela Jevano.

"Sudah cukup. Ayo sarapan. Auliandra sudah menunggu," potong Kiran, melangkah pergi.

Namun sebelum Edwin bisa mengikuti Kiran, Jevano menarik rambutnya hingga ia jatuh ke kasur.

"AKHHH SAKIT, SETAN!"

"Kau yang setan!" Jevano malah lari mengejar Kiran, meninggalkan Edwin yang menggerutu.

Beginilah kalau Jevano dan Kiran kembali akrab. Jevano jadi posesif, tidak mau Kiran disentuh siapapun, bahkan Auliandra pun ia proteksi berlebihan.

Di ruang makan keluarga Wardana, Shara berdiri memperkenalkan Zayn.

"Ayah, ini cicitmu… dan keberuntungan kita," katanya bangga.

Sejak Zayn menginjakkan kaki di rumah ini, investor berdatangan. Shara yakin Wardana Grup bisa menyalip AS Grup dalam waktu dekat.

Kakek Wardana hanya mengangguk, pandangannya redup.

Latif menyenggol Zayn. "Ayo main robot sama aku."

Gavriel langsung memotong. "Tidak. Zayn ikut aku belanja."

"Pelit!"

"Bikin sendiri sana."

Shara menengahi, lalu memperhatikan Zayn yang sejak tadi melirik ayam goreng. Gavriel tersenyum, mengambilkan paha ayam, tapi Zayn mencebik.

"Ayah, aku mau yang pedas."

"Tidak. Nanti sakit perut."

"Aku tidak akan sakit."

Shara tak tega. "Beri sedikit saja, Gavriel."

Zayn tak tunggu izin, berdiri di kursinya dan mengambil sayap pedas sendiri. Gavriel menghela napas panjang. Anak ini… benar-benar salinan Valora dalam versi kecil.

Seusai makan, Zayn menunjuk toko pakaian dewasa setelah selesai memilih pakaian dan mainannya.

"Aku mau belikan baju untuk bunda."

Ucapan itu menohok Gavriel. Tapi ia menuruti walau belum tahu bagaimana menjelaskan kenyataan yang pahit itu.

Di toko, Zayn memilih dress dengan serius. Gavriel menyuruhnya menunggu di kursi, lalu ke kasir.

Saat itulah Wira, pemilik toko mendekati Zayn yang menangis.

"Aku terpisah dari ibuku," katanya.

Wira menggendongnya, mencari sang ibu. Zayn bilang ibunya pakai baju peach. Tapi setelah 30 menit mencari, mereka hanya menemukan sebuah mobil hitam dengan paper bag di sampingnya.

Saat Wira membuka paper bag itu… kosong. Jantungnya berdetak kencang. Kepalanya berputar.

"Apa om sudah sadar?" Zayn berdiri di depannya tersenyum tipis.

Lalu gelap.

***

Aliran darahnya seperti membeku.

"Zayn?!" Suaranya meninggi, kepalanya menoleh ke segala arah. Tak ada jawaban. Gavriel meraih ponsel, menelepon staf toko untuk membantu mencari.

Setelah 15 menit berkeliling, ia menemukan Zayn berjalan santai dari arah eskalator, wajahnya polos seperti tak terjadi apa-apa.

"Di mana saja kau?!" Gavriel menunduk, menatap mata anak itu.

"Aku cuma jalan-jalan. Lihat-lihat," jawab Zayn ringan.

Gavriel ingin memarahi, tapi ada sesuatu di tatapan anak itu yang membuatnya menahan diri. Tatapan yang… terlalu dewasa.

Di dalam mobil, Zayn bersandar di kursi dengan senyum tipis.

"Ayah, setelah ini kita kemana?"

"Bukankah tadi kau bilang lelah?" Gavriel melirik lewat kaca spion.

"Itu tadi. Sekarang tidak," jawab Zayn, matanya berbinar.

"Baiklah. Mau kemana?"

"Ke perusahaan nenek."

"Besok saja. Hari ini kita pulang."

"Kalau begitu, kemana saja yang aku mau?" nada bicaranya ringan, tapi ada penekanan yang membuat Gavriel seperti tak punya pilihan selain mengangguk.

Sore itu, mereka kembali ke rumah Wardana. Gavriel menaruh belanjaan di kamar Zayn lalu merebah di sofa ruang kerjanya. Kepalanya berat, pikirannya kusut.

Ia menatap layar ponsel.

"Haruskah aku menghubungi Kiran?"

gumamnya.

Tapi bayangan wajah Kiran yang kebingungan muncul, Kiran yang bahkan tak mengingat dirinya, apalagi Zayn.

Gavriel menutup mata. Sementara di taman, Zayn bermain dengan Latif. Tapi Gavriel tahu, anak itu tidak pernah benar-benar 'sekadar bermain'. Ada lapisan lain di balik tatapan mata itu… sesuatu yang ia belum berani pecahkan.

Dan untuk pertama kalinya hari itu, Gavriel merasa, bukan hanya Valora yang hidup di tubuh Zayn. Ada sesuatu yang lebih gelap, yang mungkin suatu hari… akan menuntut keluar.

Di sisi lain, di taman rumah Wardana

Zayn duduk di bawah pohon, Latif sibuk bermain robot di sebelahnya. Namun tatapan Zayn tak lepas dari sebuah burung gagak yang hinggap di pagar. Ia mengangkat jemarinya sedikit, burung itu terbang turun, hinggap di bahunya.

"Katakan pada dia… permainannya sudah dimulai," bisiknya pelan.

***

Wira membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, kepalanya terasa berat. Saat fokusnya kembali, ia tersadar berada di sebuah ruangan yang begitu luas dan mewah, langit-langit tinggi dengan lampu kristal yang berkilau, karpet merah marun membentang hingga ke pintu besar di ujung ruangan.

Namun udara di sini… berbeda. Terlalu hening. Terlalu dingin.

Ia mencoba bangun, tapi pergelangan tangannya terasa berat. Ada sesuatu yang mengikat, rantai besi mengkilap yang terpasang di kursi tempatnya duduk. Nafasnya memburu, jantungnya berpacu.

Klak… klak…

Suara langkah kaki datang dari koridor gelap di sisi kanan. Dari bayangan, muncullah sepasang figur seorang wanita dengan gaun hitam beludru, rambutnya disanggul rapi, dan seorang pria tinggi berpakaian formal yang wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi.

"Selamat datang… di Mansion Redmoon." suara Lyra begitu tenang, namun ada nada seperti pisau yang terselip di antara katanya.

Wira menelan ludah. "S-siapa kalian? Kenapa aku di sini?"

Wanita itu tidak menjawab pertanyaan, hanya melirik ke arah Theo di sampingnya. "Masukkan dia ke ruangan yang sudah disiapkan. Tunggu Nona kembali… baru hukum dia."

"Hukum?!" Wira mencoba meronta, kursinya bergeser namun rantai tetap menahannya.

Theo mendekat, wajahnya tak berubah. "Jangan melawan. Itu hanya akan membuatnya… lebih menyakitkan."

Lyra berbalik, melangkah menuju pintu lain, tubuhnya seakan memudar menjadi serpihan cahaya putih, hilang dalam sekejap.

Theo mulai mendorong kursi Wira menuju lorong panjang yang diterangi lampu-lampu kecil di dinding. Di ujung lorong, Wira menangkap sekilas sebuah pintu besar berukir simbol bulan merah. Saat mereka melewati belokan, ia mendengar suara tawa kecil… suara anak-anak.

Tawa itu membuat darahnya berdesir. Bukan tawa riang, lebih seperti bisikan licik yang berbalut kepolosan.

Lorong itu terasa seperti tidak berujung. Langkah sepatu pria berbadan tinggi yang mendorong kursi Wira bergema di dinding batu yang dingin. Lampu-lampu kecil di sisi lorong berkedip sesekali, seolah ikut menyamarkan waktu yang berjalan.

Akhirnya mereka berhenti di depan sebuah pintu besi tebal. Simbol bulan merah yang tadi Wira lihat kini tampak jelas diukir dengan garis-garis yang nyaris seperti urat nadi, berdenyut samar.

KREEEKK…

Pintu itu terbuka dengan suara berderit berat. Aroma logam bercampur wangi melati menusuk hidung Wira. Ruangan di dalamnya nyaris kosong, hanya ada kursi di tengah, meja panjang di sisi kiri, dan sebuah cermin besar menutupi setengah dinding.

Theo melepaskan rantai Wira, tapi tak sekalipun membiarkan jaraknya lebih dari satu langkah.

"Duduk," perintahnya.

Wira menelan ludah, duduk di kursi itu, tubuhnya tegang.

Tak lama, pintu di sisi lain terbuka. Seorang wanita masuk, bukan wanita bergaun hitam tadi, tapi sosok lain. Usianya tampak lebih tua, namun ada aura yang terlalu dewasa di balik tatapan matanya. Rambutnya tergerai rapi, gaun putihnya kontras dengan ruangan yang redup.

"Wira…" suaranya lembut, tapi ada nada seperti sedang menguji.

"Kau… siapa? Di mana ini?!" Wira mencoba terdengar tegas, tapi suaranya pecah di tengah.

Wanita itu tersenyum samar. "Pertanyaan itu tidak penting. Yang penting adalah… kenapa kau berada di sini."

"Aku dibawa oleh anak kecil itu! Zayn!” Wira memukul meja, emosinya meledak. "Dia pura-pura tersesat, lalu..."

Wanita itu mengangkat tangannya pelan, menghentikan Wira bicara. "Hati-hati menyebut namanya."

"Dia… cuma anak kecil, kan?"

Wanita itu terkekeh pelan, matanya menyipit. "Anak kecil?" Ia mencondongkan tubuhnya. "Kau pikir… sesuatu seperti dia lahir hanya untuk bermain di taman?"

Wira terdiam. Tubuhnya merinding.

Wanita itu berjalan mengitari kursi Wira, langkahnya pelan namun berirama.

"Zayn memilihmu. Itu sudah cukup untuk menandai nasibmu."

"A-apa maksudmu?"

"Maksudku… tidak semua orang mendapatkan kehormatan diundang ke Mansion Redmoon. Apalagi oleh dia."

Beberapa jam sebelumnya di mall

Zayn berdiri di sudut parkiran basement, menatap mobil hitam yang perlahan meninggalkan area tersebut. Di bibirnya, tersungging senyum tipis.

Ia berbalik, melangkah santai menuju eskalator, menyusuri kerumunan mencari keberadaan ayahnya.

Di sakunya, ada sebuah kunci kecil berwarna hitam, dengan logo berbentuk bulan sabit merah. Jari mungilnya mengusapnya sekali, sebelum ia menyelipkannya kembali.

"Wira sudah sampai," gumamnya, seolah berbicara pada seseorang yang tidak terlihat. "Dia akan senang."

🦋To be continued...

1
eva lestari
🥰🥰
Nakayn _2007
Alur yang menarik
Sukemis Kemis
Gak sabar lanjut ceritanya
Claudia - creepy
Dari awal sampe akhir bikin baper, love it ❤️!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!