Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.
Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.
Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.
Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.
Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.
Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.
Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita Saudara
Nathan membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, cahaya lampu ruang rawat terasa menyilaukan. Nyeri hebat di kepalanya membuatnya mengerang pelan.
“Ngh…”
Suara itu membangunkan Jema yang sejak tadi duduk di samping ranjang, hampir terbawa kantuk.
“Nathan?” panggil Jema cepat.
Nathan refleks mengangkat tangannya dan memegang kepalanya. Sakitnya masih sangat terasa, seperti berdenyut sampai ke pelipis.
“Lo jangan gerak…” Jema langsung berdiri, panik. “Bilang aja butuh apa?”
Nathan menoleh pelan, matanya menyipit menatap Jema. Butuh beberapa detik sampai wajah itu benar-benar fokus di penglihatannya.
“Lo?” suaranya serak. “Ngapain di sini?”
“Disuruh papa buat jagain lo!” jawab Jema ketus.
Kata papa membuat ingatan Nathan berputar. Seketika satu hal terlintas di kepalanya—pernikahan.
Cih… bahkan panggilan pun udah papa ya?
Alay banget… batinnya kesal.
“Gue nggak butuh dijagain sama lo,” ucap Nathan dingin.
“Gue juga nggak mau,” balas Jema cepat, nadanya naik. “Tapi karena ini amanah, ya harus gue lakuin!”
Jema mendengus kesal. Baru saja sadar, tapi mulutnya sudah menyebalkan setengah mati.
Nathan memilih mengabaikannya. Kepalanya terlalu penuh untuk berdebat.
Tak lama kemudian, pintu kamar rawat terbuka. Seorang perempuan masuk dengan langkah cepat dan wajah penuh lega.
“Nathan?” katanya lembut. “Kamu sudah sadar ya? Papa kamu khawatir banget sama kamu…”
Nathan mengernyit.
Papa?
Perempuan ini siapa lagi?
Ia menatap perempuan itu dengan bingung, sama sekali tak mengenalinya.
“Eh… mama manggil papa dulu ya,” ucap perempuan itu lagi, wajahnya terlihat bahagia. “Pasti dia senang banget kamu sudah sadar.”
Perempuan itu lalu keluar dari ruangan dengan langkah tergesa.
Nathan masih terdiam, tatapannya kosong, otaknya berusaha mencerna.
“Kenapa?” Jema melipat tangan di dada. “Lo bingung?”
“Dia siapa?” tanya Nathan pelan, matanya menatap Jema.
“Itu nyokap baru lo.”
Nathan menoleh cepat. “Apa?”
“Itu istri baru bokap lo,” lanjut Jema datar. “Sekarang dia nyokap lo.”
Nathan terdiam. Detik itu juga, ia merasa sangat bodoh.
Jadi… yang menikah dengan ayahnya adalah perempuan itu.
Bukan Jema.
Bukan seperti dugaan konyol di kepalanya.
Ia tertawa pelan, hambar. Menutup mulutnya dengan tangan, entah menertawakan keadaan atau dirinya sendiri.
“Kenapa sih lo?” Jema mengernyit. “Sawan?”
“Makanya,” lanjut Jema sinis, “kalau disuruh pulang tuh pulang…”
Nathan masih tenggelam dalam pikirannya, tak menggubris ledekan itu.
Beberapa detik kemudian, ia menoleh lagi ke arah Jema.
“Terus lo ngapain di sini?”
“Gue?” Jema terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Gue lupa kasih tau lo…”
Nathan menatapnya curiga.
“Gue…” Jema menelan ludah. “Adik tiri lo.”
Nathan membeku.
“Ap... Apa???”
“Gue adik tiri lo…” suara Jema terdengar berat. “Yang tadi itu nyokap gue.”
Nathan menatapnya tajam, matanya merah karena emosi dan sakit yang belum hilang.
“Nggak mungkin,” ucapnya cepat. “Lo nipu ya? Nggak mungkin kita jadi saudara.”
“Apa yang nggak mungkin sih?” Jema membalas, nadanya mulai meninggi. “Itu nyokap gue, nikah sama bokap lo. Apa jadinya kita kalau bukan saudara?”
Nathan tertawa miring, penuh penolakan.
“Suruh mereka cerai. Gue nggak setuju.”
Jema mendengus. “Salah lo sendiri.”
Nathan menatapnya tak percaya. “Lagian lo kenapa mau sih orang tua kita nikah? Lo pasti dari awal udah tau kan kalau kita bakal punya hubungan?”
“Gue?” Jema menunjuk dadanya sendiri. “Gue aja baru tau waktu bokap lo jemput gue waktu itu!”
Kepala Nathan berdenyut semakin hebat. Emosi, rasa sakit, dan kenyataan itu bercampur jadi satu. Dadanya naik turun, napasnya memburu.
“Keluar lo dari sini!!”
Jema terkejut. “Lo ngusir gue?”
Nathan bangkit sedikit dari ranjang, lalu mendorong bahu Jema agar menjauh.
“Keluar lo dari sini!”
Jema tersentak. Dadanya panas, matanya berkilat menahan kesal.
Kurang ajar, batinnya.
Ia menyesal sudah menunggui Nathan semalaman.
“Gue juga nggak mau kali di sini lama-lama.”
“Yaudah kalau gitu keluar!” bentak Nathan. “Cepetan! Pergi lo dari hadapan gue!”
Jema menatapnya lama, rahangnya mengeras.
“Dasar nyebelin…”
Tanpa menoleh lagi, Jema berbalik dan melangkah keluar dari ruangan itu dengan langkah cepat. Pintu tertutup agak keras di belakangnya.
Nathan terdiam di ranjang. Ruangan mendadak sunyi.
Kepalanya masih sakit, tapi dadanya jauh lebih sesak.
Ia menutup wajahnya dengan tangan.
Adik tiri…
Kita saudara…
Kenyataan itu terasa lebih menyakitkan daripada luka di kepalanya sendiri.
—
Chandra memperkenalkan Susan dan Selin kepada Nathan.
Jujur saja, Nathan sudah muak—sangat muak.
Wajahnya datar, matanya kosong, seolah ingin semua ini cepat selesai.
Di sisi lain, Susan dan Selin justru terlihat salah tingkah. Selain Kevin dan Jefran, ternyata Nathan jauh lebih tampan dari yang mereka bayangkan. Bahkan lebam kebiruan di wajahnya sama sekali tidak menghilangkan ketampanannya.
Serius ini bakal jadi saudara tiri kita?
Rasanya sayang sekali kalau hanya jadi kakak.
Ternyata laki-laki brandal yang terkenal tampan di sekolah itu akan menjadi saudara mereka.
“Mereka akan jadi saudari kamu,” lanjut Chandra. “Jadi Papa minta kamu jaga mereka dan bersikaplah yang baik.”
Nathan hanya diam.
Tak ada jawaban.
Tak ada penolakan.
Tak ada persetujuan.
Hanya keheningan yang menggantung, sementara di dalam dadanya, Nathan merasa segalanya semakin terasa salah.
***
Nathan masih harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari untuk masa pemulihan. Terlebih kepalanya masih diperban, jadi kondisinya harus terus dipantau. Namun bagi Nathan, berada di tempat ini adalah siksaan. Ia sudah sangat bosan dan ingin segera keluar dari rumah sakit.
Seharian hanya berbaring di atas ranjang, menatap langit-langit putih yang membosankan. Kepalanya masih terasa sedikit nyeri, membuat emosinya makin tidak stabil.
Saat itu pintu ruangan terbuka.
Nathan menoleh—dan langsung memasang wajah kesal.
Jema berdiri di ambang pintu dengan ekspresi sama malasnya. Di tangannya ada nampan berisi sarapan. Ayah menyuruh Jema memantau Nathan agar dia benar-benar makan.
“Duduk,” ucap Jema ketus.
“Letakin aja di situ. Ntar gue makan,” jawab Nathan tanpa menoleh.
“Hahaha,” Jema terkekeh sinis. “Lo pikir gue percaya sama Lo? Lo nggak bakal makan ini kalau nggak dipantau.”
“Gue bosan makannya itu terus,” gumam Nathan kesal.
“Ya kan Lo masih sakit, Pe’a.”
“Jangan sok akrab sama gue.”
Rasanya Jema ingin melempar nampan itu tepat ke wajah Nathan. Tangannya mencengkeram sisi nampan lebih erat, menahan emosi yang mendidih.
“Duduk,” ulang Jema tegas. “Atau gue laporin bokap Lo.”
Ucapan itu membuat Nathan terdiam.
Sebenarnya dia bisa saja bersikap masa bodoh. Bisa saja membentak, mengusir, atau berpura-pura tidak peduli. Tapi entah kenapa, kali ini ia menahan diri. Ia tahu—meski enggan mengakuinya—ayahnya sudah melakukan banyak hal untuk dirinya.
Nathan menghembuskan napas panjang, tanda menyerah karena malas, bukan karena patuh.
Ia perlahan bangun.
Jema mendekat dan menyerahkan nampan berisi makanan itu. Nathan menerimanya tanpa menatap Jema.
"Makan yang banyak ya... Kakak?"
"Jangan panggil gue kayak gitu"
Ia menyantap bubur itu perlahan. Hambar. Tidak enak. Ia tidak menyukainya sama sekali.
Nathan menelan suapan demi suapan dengan enggan, sementara pikirannya melayang—ia rindu masakan rumah.