Ia adalah Echo bernama Jae, idol pria berwajah mirip dengan jake Enhypen. Leni terlempar kedua itu dan mencari jalan untuk pulang. Namun jika ia pulang ia tak akan bertemu si Echo dingin yang telah berhasil membuat ia jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tubuh yang Tidak Dikenali Siapa Pun
Suara monitor rumah sakit berdetak pelan, ritmis, tapi justru membuat ruangan terasa lebih mencekik. Leni duduk di kursi kecil di samping ranjang, kedua tangannya menggenggam kuat selimut Jae seakan itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap waras.
Jae belum sadar sepenuhnya. Napasnya berat, wajahnya pucat, dan tubuhnya masih terasa panas saat perawat terakhir memeriksa suhu. Terlalu panas untuk ukuran seseorang yang katanya “baik-baik saja”.
Setiap menit berlalu seperti jarum yang menusuk-nusuk kesabaran Leni.
Dokter kembali masuk setelah hampir satu jam menghilang. Usianya sekitar empat puluhan, ekspresinya serius tapi tidak galak—lebih seperti seseorang yang sedang memikirkan teka-teki yang tidak punya jawaban pasti.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Leni cepat, bangkit dari kursi.
“Kami sudah melakukan pemeriksaan awal,” jawab dokter itu sambil membuka tablet berisi data. “Tapi hasilnya… cukup membingungkan.”
Leni menegang. “Membingungkan bagaimana?”
“Suhu tubuhnya sangat tinggi, tapi tidak ada tanda-tanda infeksi. Tidak ada virus, tidak ada bakteri, tidak ada peningkatan sel darah putih.” Dokter mengerutkan alis. “Organ dalamnya… normal. Terlalu normal, kalau boleh saya bilang.”
Leni tidak mengerti. “Maksud Anda?”
“Biasanya jika seseorang pingsan akibat demam atau kelelahan ekstrem, kami bisa melihat setidaknya satu indikator yang berubah.” Dokter menunjuk layar. “Tapi ini… semua parameternya seolah… tidak bereaksi.”
“Tidak bereaksi?” Leni memandang Jae, jantungnya menghantam dinding dadanya. “Seperti apa maksudnya?”
“Suhunya tinggi, tapi tubuhnya tidak melakukan respons biologis seperti orang normal. Tidak ada perlawanan, tidak ada pola pelemahan organ, tidak ada peradangan, tidak ada tanda kerusakan. Hanya… panas tinggi, dan kolaps.”
Seolah tubuh itu bukan miliknya sendiri.
Seolah tubuh itu—buatan.
Leni merasa tengkuknya dingin.
Dokter melanjutkan, “Kami juga memeriksa denyut jantungnya. Irama jantungnya berubah-ubah dalam pola yang… tidak lazim. Bukan aritmia, bukan tachycardia. Lebih seperti… gelombang yang naik turun tanpa pemicu.”
Leni menggigit bibir bawah, mencoba tetap tegar. “Lalu apa yang harus dilakukan?”
“Kami akan pantau terus. Tapi…” Dokter menunduk sedikit. “Jujur, saya belum pernah melihat kondisi seperti ini. Saya akan mengkonsultasikan dengan beberapa rekan.”
Leni mengangguk kaku. “Terima kasih, Dok.”
Saat dokter pergi dan pintu menutup, baru saat itu Leni sadar ia belum bernapas dengan benar. Ia menekan wajahnya dengan kedua tangan, mengatur napas agar tidak terdengar seperti tersedu.
Ia menatap Jae lagi.
Tubuh itu diam, terlalu diam untuk seseorang yang semalam masih berdebat dengannya tentang rumah sakit. Tubuh itu tampak… rapuh. Bukan rapuh manusia—rapuh seperti sesuatu yang mencoba keras-keras bertahan supaya tidak runtuh.
“Jae…” Leni menyentuh tangan Jae pelan. “Kenapa kau tidak pernah bilang?”
Jari-jarinya menggenggam tangan Jae yang dingin. Dingin, padahal tubuhnya panas.
Ia membungkuk, membiarkan dahinya menyentuh punggung tangan itu. “Aku sudah melihatmu berjuang… tapi aku tidak tahu apa yang sedang kau lawan.”
Ia tidak menangis. Air mata tidak keluar. Rasanya seperti tubuhnya pun menahan semua, seperti Jae.
Setengah jam kemudian, Jae akhirnya bergerak. Hanya sedikit. Napasnya tersendat, kelopak matanya berkedut sebelum akhirnya membuka perlahan.
“Leni…?” suara itu serak, hampir tidak terdengar.
Leni langsung berdiri, meraih wajahnya. “Hei… aku di sini. Aku di sini, Jae.”
Jae tampak kebingungan sejenak, seperti seseorang yang terbangun dari mimpi panjang. Lalu ia mencoba bangun—usaha yang langsung gagal karena tubuhnya masih lemah.
“Apa… yang terjadi?” gumamnya.
“Kau pingsan di lokasi shooting,” jawab Leni, suaranya tegas tapi gemetar. “Kau demam tinggi. Mereka membawamu ke sini.”
Jae menutup mata sesaat. “Aku… maafkan aku.”
“Kau tidak perlu minta maaf.” Leni menyentuh keningnya. Suhunya masih tinggi. “Yang kau perlu lakukan hanya jujur.”
Jae menggeleng lemah. “Leni, aku—”
“Tolong.” Suara itu pecah. “Jangan bohong lagi.”
Hening jatuh seperti selimut tebal.
Jae membuka mata perlahan. Leni bisa melihat rasa takut di sana. Tidak seperti takut pada penyakit. Lebih besar. Lebih dalam. Seperti seseorang yang tahu bahwa kebenaran yang ia simpan bisa merusak sesuatu.
“Aku tidak bisa menjelaskannya,” bisik Jae akhirnya. “Tubuh ini… tidak bekerja seperti tubuh manusia.”
Leni menahan napas.
Jae menatap langit-langit, lalu kembali menatap Leni, seolah itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap di dunia ini.
“Tapi aku akan berusaha menjelaskan… kalau kau benar-benar ingin tahu.”
Leni meraih tangannya lebih erat, jantungnya berdegup tidak karuan.
“Aku ingin tahu segalanya,” jawabnya.
Jae menutup mata, menarik napas panjang.
Ia tahu tidak ada jalan kembali setelah ini.
......................
...****************...