Maheswara merasakan sesuatu yang berdiri di bagian bawah tubuhnya ketika bersentuhan dengan wanita berhijab itu. Setelah delapan tahun dia tidak merasakan sensasi kelaki-laki-annya itu bangun. Maheswara pun mencari tahu sosok wanita berhijab pemilik senyum meneduhkan itu. Dan kenyataan yang Maheswara temukan ternyata di luar dugaannya. Membongkar sebuah masa lalu yang kalem. Menyembuhkan sekaligus membangkitkan luka baru yang lebih menganga.
Sebuah sajadah akan menjadi saksi pergulatan batin seorang dengan masa lalu kelam, melawan suara-suara dari kepalanya sendiri, melawan penghakiman sesama, dan memenangkan pertandingan batin itu dengan mendengar suara merdu dari Bali sajadahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 : Akulah Penyebab Kekuranganmu
Fadlan memarkirkan motornya di dekat tulisan 'parkir' di depan toko buku itu. Hana turun dari motor dan menyerahkan helmnya pada Fadlan.
Pemandangan itu membakar hati Maheswara. Ditambah kedua orang itu yang dipenuhi dengan tawa canda sejak tadi di jalan menambah bahan bakar di hati Maheswara.
Fadlan dan Hana menaiki tangga toko dan masuk ke dalam.
"Apa yang kamu lakukan Mahes. Menguntit wanita itu sampai ke sini," Maheswara berbicara pada dirinya sendiri.
"Kamu bodoh," gumamnya, "Ya, bodoh, kalau kamu berdiam diri di sini. Susul mereka," Maheswara bergegas mematikan mesin mobilnya yang sudah parkir di tempat parkir mobil. Tidak lupa memakai kacamata hitamnya, melangkah masuk ke dalam dan tetap menjaga jarak.
"Ini bagus bukunya, Ustadzah. Filsafahnya ngena banget, ujar Fadlan sambil menunjuk sebuah buku.
"Oh ya," Hana mengambil buku itu dari tangan Fadlan. Membukanya dan membaca bagian prolognya. Fadlan merapat sedikit ke arah Hana untuk bisa membaca prolognya sama-sama.
"Bagus kan?," tanya Fadlan
Hana mengangguk sambil terus membaca.
Berani sekali dia mencuri kesempatan untuk mepet-mepet pada Hana. (Maheswara).
Hana mengangkat wajahnya selesai membaca,
"Kalau Ustadzah menyukai sastra Arab, ini bagus banget," Fadlan menyodorkan satu buku lagi.
"Iya, aku suka," Hana tersenyum pada Fadlan.
Ada dua hati yang tersentuh senyuman itu. Fadlan yang berbunga-bunga dan Maheswara yang makin membara.
Beraninya dia memberikan senyuman pada laki-laki lain. (Maheswara).
Lama mereka berdua di rak tengah itu. Mereka melangkah lagi ke beberapa rak lainnya. Tidak lupa mereka saling tertawa. Ada juga momen Fadlan berbisik dan Hana terkekeh.
Kita lihat sampai di mana aku bisa menahan diriku tidak memukul mu, laki-laki pengganggu. (Maheswara).
Ternyata, bukan hanya Maheswara yang sedang membara. Di sudut lain ada mata yang terus mengikuti gerak-gerik Fadlan dan Hana.
Lagaknya seperti yang pacaran saja kalian. (Zahra).
"Ustadzah mau lihat buku-buku psikologi? Ada di bagian sini," ajak Fadlan.
"Ehmm, itu...," Fadlan sudah berjalan ke arah yang dituju. Hana mau tidak mau mengikutinya.
"Buku ini berisi tentang bagaimana jiwa seseorang yang berjuang melawan penyakit mental dari trauma masa lalu yang hebat,"
Hana mematung. Raut wajahnya berubah. Tapi Fadlan tidak memperhatikan hal itu. Hatinya sedang berbunga-bunga sekarang. Tidak ada waktu memperhatikan hal lain. Dia terus berbicara.
"Kisah tokohnya tragis banget. Sampe divonis tidak bisa sembuh, tapi akhirnya bisa sembuh. Ini sih recom untuk dibaca," ujar Fadlan.
Fadlan kaget melihat tangan Hana bergetar dan Hana berdiri kaku.
"Ustadzah.. Ada apa?,"
Napas Hana mulai tersengal-sengal. Dia telanjur kambuh sebelum berlari ke toilet.
Fadlan mulai panik. Dia meletakan buku tadi di rak nya kembali.
"Ustadzah, kita cari tempat duduk dulu," Fadlan hendak merangkul pundak Hana tiba-tiba sebuah tangan menghempasnya dengan kasar.
"Maaf, tolong jangan sembarang sentuh, calon istri saya," suara itu terdengar berat dan berwibawa.
Fadlan menoleh dengan kaget. Seorang pria berperawakan lebih tinggi dari dirinya dengan tubuh yang atletis berdiri tepat di belakangnya.
Pria itu maju dan menggeser Fadlan dengan bahunya. Fadlan minggir.
Pria itu mengambil tangan Hana, menggenggamnya dan menaruh di dadanya.
Fadlan kebingungan melihat apa yang pria itu lakukan.
Bukankah Ustadzah bilang dia belum punya pacar, lalu siapa pria ini. (Fadlan).
"Tenang, ada aku di sini. Kamu tidak akan kenapa-kenapa,"
Dia bahkan berani membelai kepala Ustadzah. (Fadlan).
Perlahan getaran tangan Hana berkurang. Hana mengatur napasnya.
Di sudut sana, Kana, Sena, Kio sudah bersiap untuk bergulat tapi hati Hana sudah diliputi kembali dengan ketenangan saat Maheswara memegang tangannya dan mengusap kepalanya.
"Maaf mengganggu waktu baca kalian, tapi calon istri saya tidak boleh kelelahan. Kalau kelelahan sakit saraf di tangannya bisa kambuh," tanda Maheswara seraya menoleh pada Fadlan yang masih kebingungan menatapnya.
"Oh ya, apalagi tadi dia naik motor ya. Pasti kena angin. Dia tidak bisa naik motor sebenarnya. Karena sudah begini, saya harus bawa dia pulang. Takutnya dia akan lebih sakit,"
Maheswara tidak memberikan kesempatan Fadlan berbicara. Tangan satunya tetap memegang satu tangan Hana, sedangkan tangan yang lain merangkul pundak Hana. Persis seperti seorang suami yang menuntun istrinya.
Wajah Fadlan menjadi pias. Tadi dia serasa di taman bunga, sekarang seperti ada di Padang pasir. Perasaannya campur aduk.
"Fadlan, mau lanjut cari buku?," Zahra muncul setelah melihat semua adegan tadi dengan bahagia.
Fadlan menoleh,
"Saya harus pulang sekarang," Fadlan menepis tangan Zahra yang hendak merangkul lengannya.
"Kalau begitu, kita sama-sama," seru Zahra tapi Fadlan terlihat sudah menuruni tangga menuju keluar.
"Iiiissh...dasar laki-laki! tidak ada kepekaan sama sekali!," Zahra menghentakan kakinya ke lantai.
**
Maheswara menaruh tangannya di atas kepala Hana agar tidak terantuk saat masuk ke dalam mobil.
Wajah Hana sudah lebih tenang dibanding tadi. Maheswara memasang seat belt untuk Hana. Sambil curi-curi kesempatan menghirup bau parfum melati yang semalam sangat dia rindukan. Setelah memastikan Hana duduk dengan baik, Maheswara menutup pintu dan pindah ke pintu sebelah untuk menyetir.
Maheswara melirik wajah Hana yang masih pucat. Dia memutuskan menepi untuk memastikan keadaan Hana.
"Hei," sapa Maheswara lembut, "Apa yang kamu rasakan? Apa ada yang sakit?,"
Hana menggeleng lalu menundukan wajahnya.
"Maaf, sudah merepotkan," gumam Hana pelan.
"Ssttt, apanya yang merepotkan. Sudah kewajiban ku untuk menjagamu,"
Hana mengangkat wajahnya,
"Kenapa? Kenapa itu jadi kewajiban? Kita berdua adalah orang asing. Kita tidak saling mengenal dengan baik. Kenapa kamu berkewajiban menjagaku?," wajah Hana pias. Dia benar-benar bingung dengan pria di sampingnya ini.
"Hana, kamu percaya love at the first sight?," Maheswara memperhatikan mimik Hana, "Itu sepertinya terjadi padaku saat pertama melihatmu di klinik itu. Aku harus jujur padamu. Pertemuan kita membuat satu bagian dari trauma masa lalu ku sembuh. Dan itu hanya saat bertemu denganmu. Itu yang membuatku nekat mencarimu,"
Hana terkejut.
"Ya, mungkin kamu tidak percaya. Tapi dokter Priska tahu semuanya. Psikiater kita kan sama. Sejak saat itu, aku memutuskan mengejarmu sampai kau menerima cintaku," tukas Maheswara.
"Hah, hidupku terlalu unik ternyata. Pertemuan kita sangat unik. Kita hanya bertemu secara tidak sengaja dan sekarang kamu menyatakan perasaan mu," Hana tersenyum getir.
"Kamu memang unik, Hana. Semua tentang mu unik dan itu membuatku tergila-gila," Maheswara mulai mengungkapkan isi hatinya.
Jantung Hana tiba-tiba berdetak kencang.
"Aku menyukai semua tentangmu, Hana. Pribadimu, senyuman mu, caramu berbicara, semuanya. Tidak ada yang terkecuali,"
Hana menatap Maheswara,
"Tapi kamu tidak mengenalku dengan baik, Maheswara," kamu akan menyesal.
Maheswara tersenyum sinis,
"Menyesal? Menyesal karena kamu mengidap penyakit mental, iya? Kamu pikir aku tidak menderita penyakit itu juga? Hana, come on, kita berdua sama-sama pejuang mental. Kita tidak ada bedanya,"
Hana menggeleng,
"Kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari ku, Mahes. Aku tidak sebaik yang kalian lihat dari luar. Aku ini punya masa lalu yang kelam. Kamu akan malu ketika menikahi ku nanti,"
Ada sesuatu perih terasa di ulu hati Maheswara ketika Hana menyebut masa lalu. Rasa bersalah itu muncul kembali. Hana membawa rasa malu karena peristiwa delapan tahun lalu itu hingga saat ini.
"Apa kamu pikir aku juga sempurna, Hana?,"
"Kamu sempurna sebagai laki-laki. Tapi aku perempuan, aku banyak kelemahannya,"
Hana, kamu tidak tahu aku kehilangan kelaki-laki-an ku selama delapan tahun. (Maheswara).
"Apa kelemahanmu yang tidak bisa aku terima. Semua kelemahanmu aku terima sebagaimana kamu mau menerima kelemahan ku," suara Maheswara agak meninggi.
"Jangan gunakan kelemahanmu untuk membatasi cintaku padamu, Hana,"
"Bukan seperti itu. Aku pastikan kamu akan kecewa padaku, Mahes. Cari wanita lain saja. Banyak wanita yang sempurna di luar sana,"
Maheswara mendengus.
"Kamu benar-benar keras kepala Hana. Sudah aku katakan, apapun kelemahan dan kekurangan mu aku akan menerimanya. Menerimanya. Kau dengar?,"
Mata Hana berkaca-kaca menatap Maheswara,
"Jangan kamu pikir aku akan mundur karena kekurangan mu, Hana, tidak akan,"
"Aku sudah tidak perawan. Mundurlah," Hana berucap dengan suara pelan seraya membuang wajahnya.
Maheswara hening. Hana penasaran ekspresi wajah Maheswara yang kecewa mendengar pengakuan Hana itu. Hana menoleh.
Maheswara tersenyum,
"Aku tetap menerimamu, mencintaimu, dan tidak akan meninggalkanmu," ucap Maheswara dengan mantap.
Hana terperanjat. Dia tidak menduga tanggapan Maheswara seperti itu.
"Boleh aku memelukmu?," tidak menunggu Hana menjawab, Maheswara langsung memeluk Hana dari samping.
"Aku menerima kekurangan mu. Sangat menerimanya dan tidak mengubah perasaan ku padamu," bisik Maheswara.
Hana mematung. Tapi di hatinya ada seperti aliran air yang tenang. Sejuk. Di mana delapan tahun kesejukan itu tidak pernah dia rasakan.
Aku menerima kekurangan mu, Hana. Karena akulah yang menyebabkan kekuranganmu itu. Akulah pria brengsek dan pengecut delapan tahun lalu yang mengambil paksa kesucianmu. Kamu wanita baik-baik. Aku yang brengsek Hana. (Maheswara).
Maheswara merasakan air matanya jatuh.
Untuk pertama kali dia menangisi seorang wanita seperti ini.
Tangan Hana bergerak. Dia membalas pelukan Maheswara dengan ekspresi yang masih bingung.
psikologi mix religi💪