"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."
Season : I ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.
“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”
“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”
“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”
“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.
Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak akan tanda tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Mantan istriku
^^^S E A S O N - I^^^
...୨ৎ E R N E S T જ⁀➴...
“Bentar, deh. Barusan, tuh cewek manggil kamu ‘Sayang’?” tanya Naomi, pacar baruku.
Jelas, aku enggak bisa menjawabnya. Tenggorokanku langsung kering, begitu pun juga dengan mulutku. Mataku enggak bisa lepas dari cewek itu ... Lavinia.
Sebelum kalian mengira kalau aku ini cowok brengsek yang suka selingkuh, aku kasih tahu dulu, ya!
Aku bukan tipe cowok seperti itu. Setahun yang lalu, cewek yang baru saja memanggilku ‘Sayang’, dia adalah istriku. Dia meninggalkanku tanpa alasan, tanpa pamit, tanpa penjelasan juga, tiba-tiba saja menghilang.
Sekarang, saat aku mulai bisa bangkit dari titik terpuruk itu, dan mencoba move on, dia malah muncul lagi seperti ini. Seakan-akan kami ini masih pasutri yang bahagia. Padahal, sejak hari di mana dia meninggalkanku, aku sama sekali enggak pernah melihatnya lagi, bahkan mendengar kabarnya sekalipun. Secara status sih, dia masih istriku, karena dia enggak pernah mengajukan cerai.
Naomi mulai menyenggol lenganku karena aku masih terpaku menatap Lavinia. Dia sedang berkeliling, menyapa keluargaku satu per satu. Memeluk mereka, bahkan sampai menyapa si Rosemary, tunangannya Silas, kakak pertamaku. Harusnya, sekarang kami sedang merayakan lamaran mereka.
Aku melihat Rosina, Mamanya Lavinia sedang berlari menerobos kerumunan. Semua orang pun mulai berbisik-bisik. Wajar saja. Siapa sih yang menyangka kalau Lavinia bakal muncul lagi dengan tiba-tiba seperti ini?
“Mama?” tanyaku, berharap beliau bisa menjelaskan kenapa Lavinia bersikap seperti ini. Tapi dia enggak langsung menjawab. Dia hanya menatap anaknya dengan ekspresi aneh, seperti ada yang enggak beres.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Ma?” tanyaku lagi.
Rosina akhirnya menoleh, dia menatap tajam, lalu menghela napas. “Lavinia baru aja mengalami kecelakaan, Ernest! Dia ... uhh … dia kehilangan ingatannya.”
“Terus?”
Naomi makin menempel ke tubuhku, mungkin takut kalau aku akan pergi.
“Dia kira ... kalau kalian masih menikah.”
Aku merasa mual. Secara resmi, status kami memang masih menikah.
Bahagia?
Enggak sama sekali.
“Hah ... kamu udah nikah?” kejut Naomi, langsung menarik tangannya.
Aku menggaruk kepala. “Ya.”
“Dan kamu enggak pernah bilang apa-apa ke aku soal ini?”
Aku benar-benar enggak mau bertengkar dengan Naomi sekarang. Hubungan kami baru saja dimulai. Ini pertama kalinya aku berani mendekati seseorang lagi setelah Lavinia pergi.
“Permisi!” Lavinia tiba-tiba menghampiri kami dan tersenyum centil. Dari dulu dia memang pandai menunjukkan kepada semua orang tentang betapa mesranya kita. Dan harus kuakui, dulu aku sangat menyukai itu.
“Ini cewek siapa?” bisik Lavinia ke telingaku.
“Lavinia, ayo kita pergi!” Rosina buru-buru mendekat dan menggenggam tangan Lavinia.
“Kenapa harus pergi, Ma? Nih, aku nemuin Ernest!” Lavinia tersenyum lebar, tapi senyumnya langsung hilang saat melihat ekspresi Mamanya. “Tunggu ... maksud Mama—”
“Kamu sama Ernest udah enggak sama-sama lagi,” potong Rosina pelan.
Lavinia pun tercekat, “Oh .…”
Dia langsung menatap Naomi, seakan gadis ini yang telah menghancurkan segalanya. Padahal kalau mau menyalahkan orang, harusnya dia melihat ke cermin.
Keluargaku pun semuanya terdiam.
Aku ingin sekali memeluknya. Tapi itu enggak akan menyelesaikan apa-apa. Luka yang dia tinggalkan tahun lalu, itu pun belum sembuh.
Lavinia menunjuk ke arah Naomi. “Kamu pacarnya Ernest?”
Rosina buru-buru menariknya. “Kita pulang sekarang! Maaf, ya.”
Aku ingin bicara. Tapi mulutku enggak bisa menemukan kata-kata. Dan begitu mereka pergi, Naomi perlahan kembali stand-by di sampingku.
“Aku pergi sebentar,” kataku sambil menghindar dari Naomi.
Aku enggak punya tanggung jawab terhadap Lavinia, karena dia yang meninggalkanku. Tapi dia kecelakaan, lalu hilang ingatan. Dan meskipun ini bukan lagi urusanku, aku enggak bisa diam saja.
Aku menyusul Rosina dan Lavinia yang hampir sampai di depan jalan. Rosina memeluk pundak anaknya, mereka berjalan pelan, disapa banyak orang.
“Laviniaaaa!” panggilku.
Semua orang langsung terdiam. Tempat yang tadi ramai, sontak menjadi hening sekali.
Lavinia berhenti. Aku berjalan pelan ke arah mereka. Tapi Rosina segera berdiri di depanku, menahan tanganku. “Tolong, Ernest. Ini enggak akan mengubah apa pun. Mama minta maaf, tapi ini bukan ide yang bagus.”
Lavinia pun menangis. Melihat dia seperti itu, dadaku terasa seperti diblender.
“Dia masih istriku, Ma!” tegasku.
Rosina cuma menatapku, sinis.
“Mama enggak bisa biarin Ernest diam aja setelah dapat kabar kayak gini!” teriakku.
“Mama bakal bawa dia ke Rehabilitasi seperti saran dokter,” bantah Rosina. “Siapa tahu tempat itu bisa bantu pulihin ingatannya”
Tiba-tiba Papa datang. “Rosina!” katanya sambil menarik pundakku pelan.
“Hugo?” kejut Rosina.
Dari dulu dia memang enggak pernah suka sama aku. Enggak heran, kalau sekarang dia ingin menjauhkan Lavinia dariku.
“Kita ngobrol di tempat yang lebih tenang, yuk!” kata Papa.
Rosina mengangkat tangan. “Besok pagi aku bawa Lavinia kembali ke rehabilitasi.”
“Kamu enggak bisa langsung bawa dia pergi gitu aja,” kata Papa. “Ernest juga butuh penjelasan.”
Aku hanya mengangguk.
“Maaf,” kata Rosina.
“Kapan kejadiannya?” tanyaku.
“Sekitar tiga bulan lalu,” jawab Lavinia sendiri. “Katanya aku ketabrak mobil”
Rosina mengelus wajahnya. “Aku enggak nyangka dia bisa ingat secepat ini. Tapi sekarang dia udah capek. Besok pagi kita bisa obrolin lagi, kalau dia lebih tenang.”
Aku ingin membantah, tapi Papa langsung menahan tanganku. “Itu ide bagus,” katanya.
Rosina menatapku. “Baru kali ini dia mengingatmu.”
Aku menghela napas, rasanya jantungku sempat berhenti berdetak. Setahun terakhir aku mati-matian mencoba melupakan Lavinia.
“Besok jam sembilan,” kata Papa.
Mereka pun pergi. Tetapi mata Lavinia masih tertuju padaku.
lanjut kak