Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.
Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.
Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.
Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 — Di Balik Cahaya Lentera
Meskipun Kota Bayangan adalah sarang bahaya, Jaringan Bawah Tanah milik Nyonya Liu memiliki aturannya sendiri. Setiap bulan, untuk merayakan keberhasilan operasi dan untuk menguatkan loyalitas, Nyonya Liu mengadakan ‘Festival Api Tersembunyi’—sebuah pertemuan rahasia di sebuah ruang bawah tanah yang dulunya adalah kuil kuno.
Malam itu, Mei Lan dan Jian dipaksa untuk hadir. Nyonya Liu ingin menunjukkan kepada seluruh jaringan bahwa "aset"-nya (Mei Lan) aman dan "bayangan"-nya (Jian) terkendali. Ini juga merupakan cara yang berbahaya untuk mengukur apakah kehadiran Tuan Yu telah memengaruhi semangat para buronan.
Ruang bawah tanah itu hangat dan pengap, diterangi oleh lusinan lampion kertas merah dan biru yang diselubungi kain sutra tebal, membuat cahaya redup dan misterius. Aroma anggur beras dan makanan panggang bercampur dengan bau debu tua dan dupa samar. Musik seruling yang melankolis mengalir dari sudut, memberikan suasana keindahan yang aneh di tengah lingkungan yang keras.
Mei Lan mengenakan jubah sederhana berwarna gelap yang diberikan Nyonya Liu, tetapi bahkan dalam kesederhanaannya, posturnya yang anggun menarik perhatian. Ia tidak pernah terbiasa dengan keramaian seperti ini; mata-mata, pencuri, dan prajurit bayangan yang semuanya menatap dengan rasa ingin tahu.
Jian berdiri di sudut yang paling gelap, punggungnya menempel ke dinding batu. Ia tampak seperti patung yang diukir dari batu, matanya terus-menerus memindai kerumunan. Ia kembali ke persona prajurit yang dingin. Ia tidak berbicara dengan Mei Lan; ia bahkan menghindari kontak mata, menepati janji yang menyakitkan untuk menjaga jarak.
Namun, drama segera dimulai.
Mei Lan merasakan kehadiran yang sangat familiar dan menjengkelkan. Ia berbalik dan menemukan Shan Bo. Pemuda itu, yang pasti telah melacaknya dengan gigih, berhasil menyusup ke festival berkat jubah gelap dan wajah petani lugu yang mudah disalahartikan sebagai buruh.
Shan Bo mendekati Mei Lan, matanya menyala-nyala karena rasa memiliki dan marah.
“Mei Lan!” Shan Bo berbisik, suaranya dipenuhi ancaman. “Aku tahu kau tidak sengaja berada di sini. Pria asing itu memaksamu! Ayo pulang. Kepala Desa Liang sedang mencari. Aku akan membawamu kembali, dan aku akan bilang kau diculik.”
Mei Lan mundur selangkah. “Aku tidak diculik, Shan Bo. Aku di sini atas kemauanku sendiri. Dan jika kau di sini, Istana akan segera tahu. Pergi!”
Shan Bo mengabaikannya. Ia melangkah lebih dekat, menempelkan dirinya di sisi Mei Lan, berusaha terlihat protektif di depan kerumunan yang sinis. “Aku akan melindungimu. Aku akan membelamu di depan Istana. Kau adalah takdirku, Gadis Penenun. Pria asing itu hanya akan membawamu ke kematian!”
Mei Lan merasa jijik. Sentuhan Shan Bo terasa mencekik, seperti benang yang kusut. Ia melirik Jian.
Jian melihat segalanya. Ia melihat Shan Bo menempelkan tangannya di lengan Mei Lan. Ia melihat ketakutan dan ketidaknyamanan di mata Mei Lan.
Jian merasa darahnya mendidih. Rasa cemburu itu, rasa posesif yang murni dan primal, menyeruak dari bawah kulitnya yang dingin. Ia ingin menghajar Shan Bo, menyeretnya keluar, dan melemparkannya ke sungai. Ia ingin mengambil Mei Lan, memeluknya di depan semua orang, dan mengklaimnya sebagai miliknya.
Namun, ia menahan diri. Ia memegang kendali dirinya, tinjunya terkepal hingga kukunya terasa menusuk telapak tangannya. Tindakan yang gegabah akan menghancurkan perlindungan yang diberikan Nyonya Liu dan membahayakan nyawa Mei Lan.
“Dia bukan urusanmu, Jian,” bisik Nyonya Liu, yang tiba-tiba muncul di samping Jian. Mata cerdasnya mengikuti drama kecil itu. “Jika dia adalah masalah desa, biarkan dia menjadi masalah desa. Jangan kau yang menarik perhatian.”
Jian menutup mata. Ia menarik napas. Ia mundur selangkah, menelan amarahnya yang pahit.
Shan Bo melihat reaksi Jian yang pasif. Ia melihat Jian tidak bergerak. Shan Bo tersenyum puas, mengira ia telah memenangkan pertempuran kecil ini.
Ia menarik Mei Lan lebih dekat. “Lihat, dia pengecut! Dia tidak peduli padamu, Mei Lan!”
Saat itu, terjadi kekacauan kecil. Beberapa prajurit Jaringan Bawah Tanah, yang kesal dengan kehadiran orang asing yang tidak diundang, mulai menginterogasi Shan Bo.
“Siapa kau? Kau bukan dari jaringan.”
Shan Bo, yang terbiasa dengan otoritas desa, mencoba membantah. Dalam sekejap, pertengkaran itu meningkat menjadi kekerasan. Shan Bo, yang hanya membawa pisau ladang kecil, tidak sebanding. Nyonya Liu memberi isyarat, dan Shan Bo segera diseret, ditutupi kain, dan dibawa keluar dari kuil bawah tanah. Ia tidak ditangkap oleh Istana, tetapi ia telah diusir secara brutal dari jaringan, kemungkinan besar akan ditinggalkan di pinggiran kota.
Mei Lan melihat Jian. Ia melihat lega yang cepat, diikuti oleh rasa dingin yang kembali.
Festival berakhir menjelang tengah malam. Mei Lan dan Jian adalah salah satu yang terakhir pergi. Saat mereka berjalan kembali melalui lorong-lorong gelap, keheningan di antara mereka kembali, lebih tebal dari sebelumnya.
Mereka melewati celah-celah di mana lampion-lampion yang diterbangkan oleh para pedagang di jalan utama terlihat samar-samar di kejauhan, memancarkan cahaya oranye lembut di atas kegelapan Kota Bayangan.
Mei Lan akhirnya memberanikan diri. “Kau membiarkannya menyentuhku,” bisik Mei Lan, suaranya dipenuhi kesedihan.
Jian berhenti. Ia berbalik di bawah bayangan gang. “Aku harus melakukannya. Aku tidak boleh menarik perhatian.”
“Tapi Kau melihatku tidak nyaman. Kau melihat dia menghinaku, Jian.”
Jian melangkah mendekat, melanggar jarak yang ia paksakan selama berhari-hari. Ia berdiri sangat dekat dengan Mei Lan, begitu dekat hingga Mei Lan bisa merasakan udara dingin yang berasal dari tubuh Jian yang tegang.
“Aku melihatnya,” jawab Jian, suaranya rendah dan serak. “Aku melihatnya, dan aku membayangkan tanganku mencekiknya. Aku ingin mencabik-cabik lehernya.”
Ia menunduk. Ia meraih kedua sisi wajah Mei Lan, ibu jarinya yang kasar mengusap lembut tulang pipi Mei Lan. Itu adalah sentuhan yang penuh kerinduan dan penderitaan.
“Apakah Kau tahu betapa sulitnya bagiku untuk berdiri di sana dan tidak bergerak? Kau adalah benangku. Dan dia mencoba merobekmu.”
Jian menundukkan kepalanya, sangat perlahan. Keheningan itu memanjang, penuh dengan hasrat yang tertahan. Mata Mei Lan tertutup, ia merasakan napas Jian di bibirnya, panas dan cepat. Jantungnya berdebar kencang, menantikan penyatuan yang ia rindukan selama berhari-hari, penyatuan yang telah mereka hindari.
Jian bergerak sangat lambat, memberikan Mei Lan setiap kesempatan untuk mundur. Ini adalah momen hampir-cium pertama yang benar-benar lambat dan disengaja—bukan ciuman tergesa-gesa karena keputusasaan di jembatan. Ini adalah pengakuan.
Saat bibir mereka hanya berjarak sehelai benang, Jian tiba-tiba berhenti. Tubuhnya menegang, dan ia memalingkan wajahnya ke samping, melepaskan wajah Mei Lan.
Ia menarik napas panjang yang terdengar menyakitkan.
“Aku tidak bisa,” bisik Jian, kembali ke mode prajuritnya. Suara yang dingin.
Mei Lan membuka matanya, rasa sakit karena penolakan itu kembali, tetapi kini disertai pemahaman.
“Aku tidak pantas, Mei Lan,” kata Jian, mundur selangkah. “Aku tidak pantas mendapatkan kemurnianmu. Aku adalah bayangan, Kau adalah cahaya. Aku harus melindungi cahaya itu.”
Ia berbalik, dan mulai berjalan.
Mei Lan hanya bisa berdiri di sana, memandangi punggungnya yang kokoh menjauh. Rasa sakit itu sangat nyata. Ia tahu Jian tidak menolaknya. Jian menolak dirinya sendiri.
Ia melihat ke atas. Di kejauhan, lampion-lampion yang diterbangkan oleh warga kota di luar Jaringan Bawah Tanah melayang tinggi, seperti bintang-bintang kecil yang mencoba menyentuh langit.
Mei Lan tahu, Jian adalah orang yang melukai dirinya sendiri, menciptakan jarak untuk memotong benang di masa depan, demi keselamatan Mei Lan. Tapi ia juga tahu, Jian telah gagal.
Langkah kaki Jian melambat di sudut gang. Ia tidak bisa meninggalkannya sendirian. Ia tahu Mei Lan terluka.
Mei Lan berjalan cepat, menyusulnya, dan berjalan diam di sampingnya. Ia tidak membutuhkan sentuhan Jian, ia hanya membutuhkan kehadirannya.
Mereka berjalan dalam keheningan yang panjang, di bawah cahaya samar lentera yang melayang tinggi. Jarak emosional itu kembali, tetapi di dalam hati mereka, mereka tahu, jarak itu hanyalah kebohongan yang rapuh, dan momen hampir-cium itu telah menghancurkan semua benteng yang dibangun Jian.