Sinopsis
Arumi Nadine, seorang wanita cerdas dan lembut, menjalani rumah tangga yang dia yakini bahagia bersama Hans, pria yang selama ini ia percayai sepenuh hati. Namun segalanya runtuh ketika Arumi memergoki suaminya berselingkuh.
Namun setelah perceraiannya dengan Hans, takdir justru mempertemukannya dengan seorang pria asing dalam situasi yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 35
“Apa? Menikah?” Arumi terperangah, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Iya,” jawab Elfando mantap. “Aku ingin kita menikah.”
Rasanya seperti petir menyambar di siang bolong. Arumi tak habis pikir dengan semua ini. Pria yang pernah tidur dengannya di sebuah club kini datang dengan yakin, mengklaim bahwa anak yang dikandungnya adalah anaknya. Yang lebih aneh, pria itu bahkan tahu ia sedang hamil.
Arumi menatap Elfando dan Ryan bergantian dengan tatapan penuh curiga.
“Kalian ini bukan penjahat atau penipu, kan?” tanyanya sambil memicingkan mata.
Hilda, yang sejak tadi hanya diam, spontan melirik Arumi, tatapan yang seolah berkata: Kenapa juga kamu nanyanya begitu?
“Hilda, ini aneh,” Arumi berbisik cepat. “Bagaimana mereka bisa tahu aku hamil, sedangkan aku cuma periksa sama kamu?”
Ia menatap Elfando lagi, nadanya semakin tajam. “Dan bagaimana dia bisa ambil DNA aku, lalu cek bayinya, sedangkan aku nggak pernah ada di sana?”
Hilda mengernyit, mulai merasa ucapan Arumi masuk akal. “Iya juga, ya…”
Kini giliran Hilda yang menatap penuh selidik. “Sebenarnya, siapa kalian?” Nada suaranya tegas, Dia tidak peduli lagi dengan ketampanan dua pria di depannya itu.
Elfando menarik napas panjang, seolah hendak menjelaskan sesuatu yang rumit kepada anak kecil.
“Apa kalau aku jelaskan, kamu akan menerima tawaran pernikahan ini?” tanyanya hati-hati. Ia ingin memastikan usahanya tak sia-sia.
Arumi diam, bimbang.
“Kalau aku tidak mendapat jawaban, aku tidak akan menjelaskan,” kata Elfando tenang, tapi tegas.
Arumi akhirnya menghela napas. “Baik. Kalau penjelasanmu masuk logika, aku akan menikah denganmu.”
Elfando mengangguk, lalu mulai memaparkan. “Pertama, aku tahu tempat tinggalmu karena aku menyuruh Ryan untuk mencarinya. Kedua, aku tahu soal kehamilanmu juga karena aku minta Ryan memastikan. Beberapa hari terakhir aku merasa mual, hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Saat cek kesehatan, hasilnya normal. Tapi entah kenapa, aku yakin ada sesuatu yang aneh.”
Ia menatap Arumi sebelum melanjutkan. “Ketiga, aku meminta Ryan mengambil sampel darahmu dari klinik waktu kamu cek kesehatan hari itu. Dari situlah kami melakukan tes dan tahu kebenarannya.”
Elfando menghela napas panjang, seolah beban di dadanya sedikit terangkat setelah mengucapkan semua itu.
“Jadi, begitulah aku tahu kamu mengandung anakku,” ujarnya, menatap Arumi tanpa berkedip.
Suasana di ruangan itu mendadak senyap. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, mengisi jeda di antara tatapan-tatapan yang saling mengunci.
Arumi menggenggam jemarinya sendiri erat-erat, mencoba mencerna penjelasan itu.
“Jadi, selama ini kalian diam-diam menguntitku?” suaranya bergetar, antara marah dan bingung.
“Bukan menguntit,” Elfando.
"Tapi hanya ingin tahu tentang apa yang ingin ku tahu." Katanya.
"Sekarang, karena aku sudah menjelaskan, bukankah, kamu harus menepati ucapanmu." Kata Elfando lagi.
Arumi tak bisa berkata-kata lagi.
Arumi menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke lantai. Bagian dirinya ingin berteriak dan mengusir pria itu keluar dari hidupnya, tapi bagian lain, yang entah kenapa lebih keras, berbisik bahwa ia tidak punya banyak pilihan.
Keadaan terlalu rumit. Bayinya, benar kata pria itu, anaknya butuh sosok ayah.
Dengan suara nyaris tak terdengar, ia berkata, “Baik. Aku akan menikah denganmu.”
Hilda menoleh cepat, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Rum, kamu serius?”
Elfando tersenyum tipis, senyum kemenangan yang sama sekali tidak disembunyikan. “Bagus. Aku akan mengurus semuanya.”
Begitu percakapan selesai, Elfando berdiri lebih dulu, merapikan jasnya dengan gerakan santai seolah pembicaraan barusan hanyalah hal sepele. Ryan ikut bangkit, menatap Arumi sebentar, tatapan yang terasa seperti peringatan tanpa kata.
“Persiapkan dirimu. Aku akan datang lagi dalam beberapa hari,” ucap Elfando sambil berjalan menuju pintu.
Arumi hanya terdiam di sofa, menatap punggung keduanya.
Pintu apartemen Hilda tertutup pelan. Suara langkah mereka memudar di lorong. Hilda yang sejak tadi menahan diri akhirnya duduk di sebelah Arumi, menarik napas panjang.
“Rum, kamu gila?!” seru Hilda setengah berbisik.
"Aku tahu, ini memang gila, menikah dengan orang yang tidak aku kenal hanya karena dia mengaku sebagai ayah dari anak di dalam perutku. Semua ini memang gila" ujar Arumi.
"Bukan itu maksudku Rum, kamu gila, nasibmu gila, lepas dari Hansel yang wajah pas-pasan itu, malah di lamar oleh pria yang ketampanannya nggak ketulungan." Kata Hilda.
Arumi mengangkat alis, separuh ingin tersenyum, separuh ingin menangis. "Aku aja masih merasa ini kayak mimpi."
Hilda mendengus pelan, tapi bibirnya tetap terangkat nakal. “Ya, tapi kalau nasibmu sampai segini dramanya, aku rasa Tuhan lagi niat banget nulis skrip hidup kamu.”
Arumi menatap Hilda dengan ragu. Jemarinya saling meremas di pangkuan, seolah mencari kekuatan dari dirinya sendiri.
“Tapi, apa keputusan aku nggak salah ya, Hil?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan.
Hilda mengangkat alis, menatap sahabatnya lekat-lekat. “Rum, aku yakin keputusan kamu nggak salah. Tuhan pasti punya jalan yang indah untuk kamu." Kata Hilda.
Arumi menghela napas berat, tapi tidak menjawab. Dalam hati, keraguan dan harapan bercampur jadi satu.
“Semoga ya, Hil.” ucap Arumi, mencoba tersenyum meski sorot matanya masih diliputi keraguan. Suaranya terdengar lirih, seperti doa yang ia panjatkan untuk meyakinkan dirinya sendiri.
“By the way, aku nggak sabar lihat wajah anak kamu nanti,” seru Hilda, matanya berbinar-binar penuh penasaran. “Ayahnya seganteng itu, ibunya secantik ini… kira-kira ponakanku nanti bakal secakep apa, ya?”
Arumi terkekeh pelan, "Memangnya aku secantik itu."
"Kamu itu cantik Rum, cuman semenjak menikah dengan Hansel aja kamu jarang dandan." Kata Hilda.
“Aku juga heran,” lanjut Hilda sambil menggeleng tak habis pikir. “Kenapa si Hansel itu malah selingkuh sama si Nayla? Kalau dibandingin sama kamu, ya ampun, Rum, kamu itu jauh lebih segalanya daripada perempuan itu.”
"Mungkin, dia merasa Nayla lebih baik dari aku Hil." Kata Arumi.
"Sampai sekarang, aku masih kesel dan dendam sama si gatal itu. Teman makan teman!" Kata Hilda.
Arumi tersenyum hambar, tak ingin menambah bara di hati sahabatnya, meski di lubuk hatinya, perih itu masih membekas.
kalau gak ada ibunya mahhh yaa gpp kali... selama Hilda bisa Nerima kamu apa adanya, Ryan...