cerita ini aku ambil dari kisah aku sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agnura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps #perasaan yang belum pulih tertimpa lagi
Udara siang yang panas di tambah angin sepoy-sepoy, langit terlihat biru cerah,dan lembut dari balik jendela rumah tempat aku duduk. Sudah 2 jam aku di sini, menunggu waktu berjalan lebih cepat, menunggu tubuhku benar-benar pulih, dan menunggu seseorang yang aku sendiri tidak yakin, apakah dia benar-benar mengharapkan aku atau tidak
Suara motor berhenti depan rumah langkah kaki terdengar dari luar ,semakin lama semakin dekat. Aku tidak perlu menebak lagi, karena aku sudah melihat siapa pemilik langkah itu.
“Dek…” suara itu muncul, lembut, seperti biasa.
Aku menoleh, dan benar saja, Kak Angga berdiri di depan pintu sambil membawa sesuatu di tangannya. beberapa bungkus bakso kesukaanku, dengan plastik putih yang masih berembun karena panas. Aku refleks melihat nya,meskipun hatiku tidak benar-benar semangat hari itu.
“Selang beberapa saat tiba-tiba kak Angga datang,” aku bergumam pelan dalam hati. Ada rasa hangat yang aneh, perasaan yang selama ini selalu muncul kalau dia datang.
“Dek, kamu lagi apa? Udah makan belum? Ini aku bawain bakso, sekalian sama Mama tadi beli di bawah. Kita makan bareng yuk.”
Aku menatapnya beberapa detik. Rasanya aneh—antara senang dan… takut.
“Iya kak,” jawabku pendek.
Aku tahu, Kak Angga selalu begitu. Ramah, perhatian, dan selalu berusaha bikin aku nyaman. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini, ada sesuatu di antara kami yang terasa samar. Mungkin aku yang terlalu berharap. Mungkin aku yang salah paham. Tapi bukankah selama ini dia yang memulai semua perhatian itu?
Dia meletakkan plastik bakso di meja dekat aku, lalu tersenyum.
“Eh, bentar ya, Kakak ke toilet dulu,” katanya. Ia menyimpan ponselnya di atas meja, tepat di sebelah bungkus bakso yang masih tertutup.
“Iya, Kak,” jawabku singkat.
Aku menatap punggungnya yang perlahan menjauh ke arah pintu. Suara langkahnya makin memudar. Hening seketika. Hanya suara detak jam di dinding dan desiran angin dari ventilasi yang terdengar.
Tiba-tiba tringgggg suara notifikasi ponselnya memecah keheningan.
Awalnya aku tidak peduli, tapi mataku reflek melirik. Di layar itu, tertera satu nama: Mey.
Aku terdiam beberapa detik. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
Siapa Mey? Nama itu nama yang sangat asing. Aku tidak pernah dengar dari Kak Angga, mungkin , teman kerja.” Namun entah kenapa, sejak aku mlihat pesan itu agak sedikit berbeda.
Tanpa berpikir panjang, aku mengambil ponsel itu. Suara hatiku berperang keras,buka atau tidak? Tapi rasa penasaran lebih kuat dari logika. Aku geser layar ke atas. Ada notifikasi chat baru, dan ketika kubuka
Isi pesannya membuat tenggorokanku tercekat.
Mey: “Kamu udah makan belum? Jangan lupa istirahat, aku gak mau kamu sakit lagi kaya kemarin 😢❤️”
Mataku menatap layar itu tanpa berkedip. Jari-jariku gemetar saat menggulir lebih jauh ke atas. Percakapan mereka panjang, penuh emoji hati, tawa, candaan, dan kalimat manis yang… bukan milikku.
Angga: “Hehe iya dek,aku udah makan ko, Kamu lagi apa ? jangan lupa kamu juga makan ya dek takut sakit”
perhatian itu.sangat menamparku.
Aku menatap huruf-huruf di layar itu seolah-olah mereka menertawakanku. Jadi selama ini… apa yang kulihat dari perhatian Kak Angga ke aku cuma bayangan? Cuma rasa kasihan? Cuma pelampiasan?
Mataku mulai panas. Tapi aku buru-buru menaruh kembali ponsel itu saat terdengar suara langkah dari arah toilet. Aku menunduk cepat, berpura-pura sibuk dengan handphone ku
“Dek, maaf lama ya. Yuk kita makan bareng,” kata Kak Angga sambil membawa mangkok dan duduk di kursi sebelahku.
Aku hanya mengangguk tanpa menatapnya.
“Baksonya masih hangat kok, Kak beli dari tempat yang kamu suka itu. Enak kan?”
Aku hanya tersenyum kecil, tapi tak menjawab. Sendok di tanganku hanya mengaduk kuah tanpa niat memakannya
“Dek, kamu kenapa? Kok diam aja?”
“Enggak, Kak. Aku cuma lagi capek aja,” jawabku singkat.
Sebenarnya aku ingin menjerit. Aku ingin bertanya langsung, siapa Mey itu, Kak? Kenapa kamu sangat perhatian ke dia, tapi kamu datang ke sini seolah aku yang penting? Tapi suaraku seolah membeku di tenggorokan. Aku tidak berani mendengar jawaban yang mungkin akan lebih menyakitkan dari dugaan.
Kak Angga terus berbicara sepanjang makan, tapi semua suaranya hanya seperti gema samar di telingaku. Aku hanya diam. Sesekali mengangguk tanpa benar-benar mendengarkan.
Setelah kami selesai makan, aku langsung membereskan mangkuk dan membawanya ke dapur Kak Angga sempat menawarkan bantuan, tapi aku menolaknya. Aku butuh ruang. Aku butuh tenang.
“Ka, aku mau istirahat dulu ya. Kalau Kakak mau pulang, gak apa-apa kok,” kataku akhirnya begitu aku kembali ke kamar.
“Loh, kamu gak apa-apa beneran?”
“Iya, cuma ngantuk.”
Aku langsung masuk kamar dan menutup pintu perlahan. Mungkin Kak Angga heran, tapi aku sudah tak peduli. Aku hanya ingin sendirian.
Begitu pintu tertutup, aku langsung rebahan di kasur. Air mata yang kutahan sejak tadi akhirnya jatuh pelan di bantal. Rasanya seperti ada yang retak di dalam dadaku.
Aku ingin marah, tapi yang lebih besar dari itu justru rasa kecewa,karena aku sudah terlalu berharap pada seseorang yang mungkin tak pernah benar-benar melihatku lebih dari sekadar adik kecil yang butuh perhatian.
Beberapa menit kemudian, suara ketukan terdengar dari pintu.
“Dek…” suaranya pelan, “Kakak pamit ya.”
Aku menghapus air mata cepat-cepat dan menjawab, “Iya, Kak.”
Cuma itu.
Pintu tertutup. Langkahnya menjauh. Dan keheningan kembali menelan seluruh ruangan.
Sekitar satu jam berlalu. Aku masih belum bisa tidur. Tatapanku kosong menatap langit-langit kamar. Ponselku bergetar di atas kasur drt, drt, drt.
Notifikasi panggilan masuk. Kak Angga.
Satu kali. Dua kali.sampai Lima kali.
Aku tidak mengangkatnya. Aku hanya menatap layar itu sampai panggilan berhenti dengan sendirinya.
Beberapa detik kemudian, pesan masuk.dari kak angga
“Dek, kamu kenapa sih tiba-tiba diemin Kakak??”
Aku menarik napas panjang. Lalu mulai mengetik, tangan gemetar tapi hatiku sudah bulat.
“Ka, maaf ya. Jangan bikin aku berharap panjang. Karena dari awal, kayaknya Kak cuma bikin aku jadi pelampiasan. Kaka lanjut aja hubungan sama Mey. Aku jalani hidup aku sendiri tanpa Kakak. Kita hidup masing-masing aja. Terlalu banyak trauma dalam hidup aku, apalagi soal perasaan. Maaf ya kalau aku suka ngerepotin Kakak.”
Kukirim pesan itu, lalu kunci layar ponsel. Hening lagi.
Tapi kali ini, heningnya terasa lega, walau menyakitkan.
Malam itu aku tidak tidur. Aku cuma duduk di tepi kasur, menatap keluar jendela. Lampu diluar berkelip di kejauhan, seperti bintang yang jatuh satu per satu. Aku berpikir banyak hal tentang pertemuan, kebetulan, rasa nyaman yang semu, dan tentang diriku sendiri yang terlalu cepat menaruh hati pada seseorang yang mungkin tak pernah berniat menetap.
Mungkin beginilah caranya hidup mengajariku untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada orang lain. Karena tidak semua perhatian adalah cinta. Tidak semua senyum berarti ketulusan. Kadang, orang datang hanya untuk mengisi kekosongan sementara dan pergi saat mereka sudah merasa cukup.
Beberapa pesan lagi masuk dari Kak Angga malam itu. Tapi tak satu pun kubuka. Aku tahu, jika kubaca, aku akan goyah. Dan aku sudah terlalu lelah untuk kembali patah di tempat yang sama.
---
Pagi berikutnya, aku belum bisa pergi ke sekolah, Mama yang kirim pesan sama ibu guru, karena aku masih sakit,matahari masuk lewat celah tirai. Aku menarik napas panjang. Perasaan di dada masih berat, tapi sedikit lebih tenang. Aku menatap bayanganku di kaca jendela mata sembab, wajah pucat, tapi ada secuil keteguhan di sana.
Aku tahu, ini bukan akhir dunia. Ini cuma awal dari keberanian baru: keberanian untuk melepaskan.
Telepon berdering lagi, tapi kali ini bukan dari Kak Angga, tapi dari Mama.
"Nak, Mamah 2 jam lagi pulang ya, ini Mama lagi belanja dulu ke pasar, maaf Mama tadi nggak sempat izin dulu sama kamu karena mama takut bangunin kamu, sarapan Kamu sudah Mama siapin ya di meja makan, makannya mama sekarang teleponnya pas kamu udah bangun, jangan lupa makan sarapannya, oh iya nak tadi Angga nelpon Mama katanya dia mau ke sana nemenin kamu dia udah nyampe apa belum.??"katanya lewat telepon.
Aku mengangguk pelan, meski dia tak bisa melihat. “Iya, Mah. belum mah belum ada,"
Setelah panggilan itu berakhir, aku menatap ponselku sekali lagi. Ada banyak pesan belum terbaca dari Kak Angga. Tapi aku hanya tersenyum kecil, lalu menghapus semuanya.
Bukan karena benci tapi karena aku akhirnya sadar, tidak semua orang yang kita sayangi harus tinggal di hidup kita selamanya.
Aku menatap langit, yang mulai biru lagi. “Terima kasih, Kak, sudah pernah jadi bagian dari ceritaku,” bisikku pelan.
Angin lewat, seolah membawa semua yang tersisa di hatiku pergi perlahan.
Hari itu, untuk pertama kalinya sejak lama, hati aku merasa bebas meski sendirian.