NovelToon NovelToon
Hanasta

Hanasta

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Romantis / Psikopat itu cintaku / Mafia
Popularitas:10
Nilai: 5
Nama Author: Elara21

Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.

sanggupkah ia lepas dari suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hanasta 9

Malam itu, kantor Soni sudah sepi.

Lampu-lampu di lantai bawah dimatikan, hanya beberapa lampu malam yang menyala di koridor.

Viona duduk di ruangannya sendirian, menatap layar komputer yang sudah mati sejak satu jam lalu.

Tapi pikirannya tidak bisa berhenti memutar kejadian siang tadi:

Hana…

Wajah pucatnya…

Ketakutannya…

Cara dia menangis tanpa suara…

Dan tatapan Soni yang mematikan.

Ini tidak bisa dibiarkan, pikir Viona.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan sebuah kartu akses berwarna hitam.

Kartu itu bukan kartu biasa.

Ini adalah kartu akses yang pernah Soni berikan padanya bertahun-tahun lalu ketika ia masih menjadi orang paling dipercaya Soni.

Kartu itu seharusnya sudah tidak berlaku.

Tapi Viona tahu sesuatu:

Di mansion Soni, perangkat akses tertentu tidak pernah diganti karena Soni yakin tidak ada yang berani melawan.

Viona berdiri.

Tubuhnya tegang, tapi matanya mantap.

“Aku tidak bisa diam lagi,” gumamnya.

Ia mengambil tasnya, mematikan lampu, lalu keluar dari kantor menuju lift parkiran basement.

Dalam Mobil — Perjalanan Malam

Hujan tipis turun, membuat jalanan basah dan memantulkan lampu kota.

Viona mengemudi dengan fokus penuh, matanya sesekali melihat GPS arah ke mansion Soni.

Tangannya gemetar di setir.

“Hanasta… aku tahu kau tidak bersalah,” ucapnya pelan pada dirinya.

“Dan aku tahu Soni memutar balik semua fakta.”

Ia mengepal setir.

“Aku tidak biarkan dia mengurungmu lagi.”

Mobil melaju cepat.

Dan di saat yang sama…

di mansion di lantai tiga…

Hana duduk sendirian di sofa, menggigil, memeluk lutut.

Di luar jendela, kilat menyambar langit.

Gerbang Mansion

Viona sampai di depan gerbang besar mansion.

Penjaga pos menatapnya dengan terkejut.

“Bu Viona?”

“Maaf, Anda tidak dijadwalkan berkunjung malam ini—”

“Saya memiliki tugas dari Tuan Soni,” potong Viona cepat namun tenang.

“Dokumen penting. Sangat rahasia.”

Penjaga itu ragu.

“Tuan Soni tidak memberi pemberitahuan apa pun…”

“Tentu tidak,” Viona menatap penjaga itu lurus.

“Itu sebabnya disebut rahasia.”

Penjaga saling menatap.

Mereka tahu siapa Viona.

Mereka tahu ia dekat dengan Soni di masa lalu.

Akhirnya gerbang terbuka.

“Silakan masuk, Bu.”

Mobil Viona melaju masuk ke halaman.

Saat ia turun dari mobil, jantungnya berdebar sangat cepat.

Ia tahu risikonya:

Jika Soni tahu ia datang tanpa izin…

Itu bisa menghancurkan karier—atau lebih buruk.

Tapi wajah Hana terus muncul di benaknya.

Ia tidak bisa tinggal diam.

Masuk ke Mansion

Penjaga di lobi menunduk ketika Viona lewat.

“Ruang kerja Tuan Soni ada di lantai—”

“Aku tidak menuju ruang kerja,” kata Viona datar.

“Aku langsung ke lantai tiga.”

Penjaga itu langsung tegang.

“Maaf, Bu… area itu hanya untuk Tuan Soni dan—”

Viona mengangkat kartu akses hitam.

“Aku punya izin.”

Penjaga itu menelan ludah.

Itu kartu tingkat tertinggi.

Mereka tidak berani menghalangi.

Lift terbuka.

Viona masuk.

Pintu lift menutup.

Dan ia berkata pelan pada dirinya:

“Bertahanlah, Hana… aku datang.”

Lantai 3 — Koridor Sunyi

Lift berbunyi ding pelan.

Pintu terbuka.

Koridor lantai tiga gelap, hanya satu lampu besar menyala di ujung.

Dua penjaga berdiri di depan pintu ruang Soni.

Mereka langsung melihat Viona.

“Bu Viona… Anda tidak punya izin untuk berada di sini.”

Viona melangkah dengan wajah datar, langkah tenang, tapi matanya penuh tekad.

“Saya di sini atas perintah Soni.”

“Soni tidak memberi kami pesan apa pun.”

“Tentu saja tidak,” Viona mengangkat kartu akses tingginya.

“Ini perintah diam-diam. Kalian tidak perlu tahu isinya.”

Penjaga menatap kartu itu.

Dan itu cukup untuk membuat mereka ragu.

Salah satu penjaga mencoba menghubungi Soni melalui radio—

tetapi sinyal di lantai tiga lemah karena ruangan Soni menggunakan isolasi suara dan sinyal.

Viona melihat peluang itu.

“Jika kalian menolak, dan Tuan Soni tahu kalian menghalangi saya…”

Ia tidak melanjutkan.

Ancaman itu sudah jelas.

Akhirnya penjaga mundur.

“Tolong cepat, Bu. Kami tidak ingin masalah.”

Viona mendekat ke pintu besar kayu gelap itu.

Napasnya berat.

Tangan memegang kartu gemetar.

Ia menempelkan kartu akses ke panel kecil di samping pintu.

BEEEP.

Lampu berubah hijau.

Pintu tidak membuka otomatis, tapi kunci di dalam terdengar klik.

Viona menarik gagang pintu perlahan…

Dan membukanya.

Ruangan Sunyi… dan Hana

Ruangan itu remang, hanya diterangi lampu kecil dekat meja.

Soni tidak ada.

Tapi di sofa —

dengan mata bengkak, pipi basah, tubuh menggigil —

Hana duduk memeluk dirinya.

Saat pintu terbuka, Hana menoleh.

Ketika melihat siapa yang muncul—

Hana menahan napas, seperti melihat hantu.

“Bu… Bu Viona…?”

Viona melangkah masuk perlahan, menutup pintu di belakangnya.

“Hanasta…”

Ia berjalan mendekat.

Wajahnya lembut, penuh kekhawatiran yang mendalam.

“Aku datang untukmu.”

Begitu mendengar itu—

Hana langsung menangis pecah.

“Bu… saya… saya takut… saya tidak bisa ke mana-mana… saya tidak bisa napas…”

Viona cepat memeluknya.

Hana bergetar hebat dalam pelukan itu.

Seseorang… akhirnya datang untuk Hana.

Untuk pertama kalinya dalam dua tahun…

Ia tidak sendirian.

Viona mengusap punggungnya.

“Tenang… aku di sini.”

Tapi sebelum Viona sempat berkata lebih jauh—

Dari balik pintu utama…

suara langkah pria terdengar mendekat.

Berat.

Tenang.

Terlatih.

Hana langsung kaku.

Viona memandang pintu dengan wajah pucat.

Itu…

adalah langkah yang tidak mungkin ia salah kenali.

Soni.

Kembali.

Lebih cepat dari yang diduga.

Viona menggenggam tangan Hana erat-erat.

“Jangan bicara,” bisiknya panik.

“Jangan katakan apa pun.”

Pintu mulai berputar dari luar.

Dan keduanya hanya bisa menunggu

dalam napas yang hampir tidak terdengar…

Saat Soni membuka pintunya.

Pintu besar kayu gelap itu berputar perlahan.

KRUK—

Lampu-lampu di lorong memantulkan siluet seseorang yang berdiri tegak, tinggi, berwibawa namun menakutkan.

Soni masuk.

Suara langkahnya terdengar seperti pukulan palu dalam ruangan yang sunyi.

Hana langsung gemetar hebat.

Viona berdiri cepat di depannya, seperti perisai.

Soni berhenti tepat di ambang pintu.

Matanya menyapu ruangan.

Ruangan sepi.

Lampu redup.

Sofa sedikit berantakan.

Dan Viona berdiri di tengah—di area yang seharusnya tidak boleh ia masuki.

Soni menutup pintu di belakangnya dengan sangat pelan.

Klik.

Suara itu memecahkan keheningan seperti petir kecil.

Ia tidak bicara.

Hanya menatap.

Pertama ke Viona.

Lalu ke Hana.

Lalu kembali ke Viona.

“Viona,” akhirnya ia berkata pelan—terlalu pelan, membuat bulu kuduk berdiri.

“Aku kira kau sudah lupa jalan ke lantai tiga.”

Viona menegakkan bahu.

“Ada hal yang harus kubicarakan.”

Soni mengangkat alis.

“Oh?”

Ia maju dua langkah, posisi tubuhnya tegak, berbahaya.

“Di ruang pribadiku?”

Viona menahan napas tapi tidak mundur.

“Saya harus pastikan kondisi Hana.”

Soni tersenyum kecil.

Tipis.

Berbahaya.

“Jadi… kau masuk tanpa izin?”

“Saya punya kartu akses.”

“Yang seharusnya sudah kupotong lima tahun lalu,” jawab Soni datar.

“Dan seharusnya tidak berlaku di area ini.”

Viona tidak berkedip.

“Kau lupa… kau pernah butuh seseorang yang bisa masuk kapan pun.”

Soni diam.

Tidak membantah.

Ia hanya memiringkan kepala sedikit—gerakan kecil yang menunjukkan ketidaksukaannya disentuh masa lalu.

“Kembalikan kartunya,” katanya pada dirinya sendiri.

“Kupikir aku sudah melupakan detail seperti itu.”

Lalu ia berjalan mendekat.

Langkahnya pelan namun menghancurkan setiap ruang aman yang tersisa.

Ketika ia sudah cukup dekat, ia berhenti.

“Jadi,” suaranya turun lebih dingin,

“kau ingin memeriksa istriku?”

Hana menunduk, tubuhnya mengecil seperti anak kecil yang ketakutan.

Viona tidak mundur.

“Seseorang harus memastikan Hana tidak… ditekan.”

Soni menatapnya lama.

“Hana adalah istriku,” katanya, setiap kata diucapkan dengan tekanan halus.

“Bukan tanggung jawabmu.”

“Dia bukan tahanan,” Viona membalas cepat, suara melemah tapi tetap tegas.

“Dia punya hak untuk bicara. Untuk memilih.”

Soni mendekat satu langkah.

“Memilih?”

Ia tertawa kecil, rendah.

“Menarik.”

Lalu ia menoleh pada Hana.

“Hana,” panggilnya lembut—terlalu lembut.

Hana mengangkat wajah pelan-pelan, matanya masih basah.

“Ceritakan pada kami,” kata Soni.

“Siapa yang kau pilih?”

Ruangan terasa membeku.

Viona membelalakkan mata.

“Jangan… jangan paksa dia—”

“Diam.”

Soni memotong tanpa menoleh ke Viona.

“Kalau aku ingin pendapatmu, Viona, aku akan bertanya.”

Lalu ia kembali menatap Hana.

“Hana,” katanya lagi, suaranya seperti perangkap yang dibalut madu,

“apakah kau menginginkan dia… berada di sini?”

Hana gemetar.

Viona memandangnya dengan penuh harap dan ketakutan.

“Hana…” bisiknya kecil, “jangan takut… aku di sini untukmu…”

Soni tetap menunggu.

Dan Hana hancur di antara keduanya.

“Tuan…” suara Hana pecah.

“Saya…”

Soni mencondongkan tubuh.

“Ya?”

“…saya tidak ingin ada masalah…” Hana menangis lagi.

“Saya tidak ingin Anda marah… saya tidak ingin siapa pun terluka…”

“Hana,” Viona mendekat setengah langkah, suara lirih,

“kau tidak perlu takut. Kau tidak perlu melindungi dia. Kau—”

“Cukup.” Soni mengangkat tangan, menghentikan kata-kata Viona.

Ia tidak berteriak.

Tidak kasar.

Justru itu yang membuatnya semakin menakutkan.

“Hana,” Soni berkata lagi,

“kau ingin dia pergi?”

Hana menutup mulut, bahunya bergetar.

“Saya… saya…”

Hana tidak bisa bicara.

Karena Soni sedang menatapnya—

tatapan yang berarti:

“Kalau kau jawab salah, kau tahu konsekuensinya.”

Viona melihat itu.

Dan ia sadar — Hana tidak punya suara di ruangan ini.

Viona menegakkan tubuh.

“Sudah cukup.”

Soni memutar kepala sedikit.

“Oh?”

“Jangan paksa dia memilih dalam keadaan seperti ini,” kata Viona keras.

“Ini bukan pilihan. Ini ancaman.”

Soni perlahan tersenyum.

“Kalau begitu… kau mengaku ada ancaman?”

Viona menatapnya lurus.

“Ya. Dan saya melihatnya.”

Soni mendekat.

Sangat dekat.

Wajah mereka hanya terpisah setengah meter.

“Kau salah satu dari sedikit orang yang berani berbicara begitu padaku.”

“Saya tidak takut padamu, Soni.”

Soni memicingkan mata.

“Haruskah aku mengubah itu?”

Viona menahan napas—tapi tak mundur.

“Itu tak akan mengubah apa pun,” katanya lirih.

“Hana tetap akan berusaha kabur dari bayang-bayangmu.”

Soni memandang Viona lama.

Sangat lama.

Lalu—

ia tertawa pelan.

“Malam ini menarik,” katanya.

“Dua wanita.

Satu ketakutan.

Satu berani mati.”

Ia berjalan ke arah pintu.

“Keluar,” katanya datar pada Viona.

“Sekarang.”

Sebelum Viona pergi, ia menatap Hana terakhir kali.

“Hana… ingat ini,” katanya pelan,

“kau tidak sendirian. Aku tidak akan membiarkan dia menghancurkanmu.”

Soni tidak menghentikan kata-kata itu.

Ia hanya menatap Viona lewat bayangan kaca—

sorot mata predator yang bersiap menandai mangsanya berikutnya.

Viona keluar.

Klik.

Pintu tertutup.

Hana langsung jatuh berlutut dan menangis tertahan.

Soni berdiri di belakangnya.

Ia tidak menyentuh Hana.

Tidak berkata apa-apa.

Ia hanya berdiri di sana, menatap punggung Hana yang gemetar—

menikmati ketakutan yang membuat Hana tetap patuh.

Setelah beberapa menit, Soni akhirnya berbicara:

“Hana.”

Hana mengangkat wajah pelan-pelan.

Air matanya berjatuhan tanpa henti.

Soni menunduk sedikit.

“Mulai besok… kita akan bicara tentang kesetiaan.”

By:Eva

15-11-25

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!