Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beban yang Terangkat
Malam itu, Dina tidak bisa tidur. Ia berguling-guling di tempat tidur, bayangan Eri, Tante Dinda, dan Dea berputar-putar di benaknya seperti film yang rusak. Kata-kata Tante Dinda, tajam dan penuh tuntutan, terus menghantuinya. Namun, ada sesuatu yang lebih mengganggu daripada ancaman tantenya: tatapan Eri yang tampak begitu kesal saat menerima telepon di kafe.
"Apa yang terjadi? Kenapa dia begitu khawatir?" Dina bertanya pada dirinya sendiri, merasa ada kepingan yang hilang dalam teka-teki ini. Ia mencoba mengingat setiap detail percakapan mereka, mencari petunjuk yang mungkin terlewatkan.
Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke jendela. Cahaya bulan pucat menerangi kamarnya yang sempit. Dina merasa terisolasi, seolah ia berada di pulau terpencil yang dikelilingi oleh lautan keraguan. Ia merindukan rumah, bukan hanya tempatnya, tetapi juga kehangatan dan kepastian yang dulu ia rasakan di sana.
Setiap kali Dina mencoba memejamkan mata, ia melihat wajah Dea yang tersenyum. Senyum itu dulu selalu memberinya kekuatan, tetapi sekarang justru membuatnya merasa bersalah. Ia merasa telah mengkhianati kenangan Dea dengan merencanakan sesuatu yang begitu keji.
Tiba-tiba, ia teringat pada Sari. Sari bukan hanya sahabatnya, tetapi juga saudara perempuannya. Mereka telah berbagi segalanya sejak kecil: rahasia, impian, dan ketakutan. Dina ingat, saat ia pertama kali patah hati, Sari datang ke rumahnya dengan membawa sekotak pizza dan film komedi romantis. Mereka begadang semalaman, tertawa dan menangis bersama.
Tanpa ragu, Dina meraih ponselnya dan menghubungi Sari. Ia tahu bahwa sudah larut malam, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Ia membutuhkan Sari lebih dari sebelumnya.
"Halo, Din? Ada apa? Kenapa kamu menelepon jam segini?" suara Sari terdengar khawatir di ujung sana.
"Sar, aku butuh kamu. Aku... aku tidak tahu harus bagaimana," Dina berbisik, air mata mulai membasahi pipinya.
"Ada apa, Din? Ceritakan semuanya," Sari menjawab dengan lembut, suaranya menenangkan seperti melodi yang familiar.
Dina menceritakan semuanya: tentang kematian Dea, tentang dendam Tante Dinda, tentang rencananya untuk mendekati Eri, dan tentang keraguannya yang semakin besar. Ia menceritakan semuanya tanpa menyembunyikan satu pun detail, bahkan yang paling memalukan sekalipun.
Sari mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Setelah Dina selesai, hening sejenak.
"Din, aku mengerti bagaimana perasaanmu. Aku tahu kamu sangat mencintai Dea dan Tante Dinda. Tapi, apa kamu yakin dendam adalah jalan yang benar? Apa kamu yakin Dea akan bangga melihatmu melakukan ini?" Sari bertanya dengan hati-hati, suaranya penuh perhatian.
Dina terdiam. Ia tahu Sari benar. Dea selalu percaya pada kebaikan, pada pengampunan. Ia tidak akan pernah menyetujui rencana Dina ini.
"Aku... aku tidak tahu, Sar. Aku bingung. Aku takut mengecewakan Tante Dinda. Aku takut mengkhianati Dea," Dina mengakui, suaranya nyaris tak terdengar.
"Din, kamu tidak perlu memilih antara Tante Dinda dan Dea. Kamu bisa mencintai mereka berdua tanpa harus mengorbankan dirimu sendiri. Kamu adalah orang yang baik, Din. Jangan biarkan dendam mengubahmu menjadi seseorang yang bukan dirimu," Sari berkata dengan tegas.
Kata-kata Sari menyentuh hati Dina. Ia merasa seperti ada rantai yang mengikatnya selama ini akhirnya terlepas. Ia menyadari bahwa ia memiliki pilihan. Ia tidak harus mengikuti rencana Tante Dinda. Ia bisa memilih jalan yang berbeda.
"Terima kasih, Sar. Kamu benar. Aku... aku akan memikirkannya lagi," Dina berkata, suaranya sedikit lebih kuat.
"Aku akan selalu ada untukmu, Din. Kapan pun kamu butuh, jangan ragu untuk menelepon," Sari menjawab.
Setelah menutup telepon, Dina merasa sedikit lega. Ia tahu bahwa ia masih harus menghadapi banyak tantangan, tetapi ia tidak lagi merasa sendirian. Ia memiliki Sari, dan ia memiliki secercah harapan.
Mentari pagi menyelinap masuk melalui celah gorden, membangunkan Dina dari tidurnya yang gelisah. Ia menatap langit-langit kamar, pikirannya dipenuhi dengan bayangan Tante Dinda. Ia tahu bahwa hari ini ia harus membuat keputusan yang sulit, keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Setelah berbicara dengan Sari semalam, Dina merasa lebih yakin dari sebelumnya bahwa ia tidak bisa melanjutkan rencana balas dendam. Ia tidak bisa mengkhianati dirinya sendiri, dan ia tidak bisa mengkhianati kenangan Dea. Ia harus menghentikan semua ini, meskipun itu berarti menghadapi amarah Tante Dinda.
Dengan langkah berat, Dina bangkit dari tempat tidur dan bersiap-siap. Ia mengenakan pakaian terbaiknya, seolah ia akan pergi ke medan perang. Ia tahu bahwa menghadapi Tante Dinda tidak akan mudah.
Saat ia tiba di kontrakan Tante Dinda, jantungnya berdegup kencang. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengetuk pintu.
Tante Dinda membuka pintu dengan senyum lebar di wajahnya. "Dina! Akhirnya kamu datang. Ada yang ingin Tante bicarakan denganmu."
Dina mengikuti Tante Dinda masuk ke dalam rumah. Suasana di dalam rumah terasa tegang dan tidak nyaman.
"Tante dengar kamu sudah dekat dengan Eri," kata Tante Dinda sambil menatap Dina dengan tatapan menyelidik.
Dina mengangguk pelan. "Iya, Tante."
"Bagus! Tante senang mendengarnya. Sebentar lagi kita bisa membalaskan dendam Dea," kata Tante Dinda dengan nada penuh semangat.
Dina terdiam sejenak. Ia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk mengatakan yang sebenarnya. "Tante, ada yang ingin Dina katakan."
Tante Dinda mengerutkan kening. "Ada apa, Dina?"
"Dina tidak bisa melakukan ini, Tante. Dina tidak bisa membalas dendam. Itu bukan jalan yang benar," kata Dina dengan suara yang bergetar.
Senyum di wajah Tante Dinda menghilang seketika. Matanya memancarkan amarah dan kekecewaan. "Apa maksudmu, Dina? Apa kamu sudah gila? Setelah semua yang terjadi, kamu mau menyerah begitu saja?"
"Dina tahu Tante marah, tapi Dina tidak bisa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani Dina. Dea tidak akan senang melihat Dina melakukan ini," kata Dina dengan tegas.
"Jangan sebut nama Dea! Kamu tidak tahu apa-apa tentang Dea! Kamu tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kamu cintai!" teriak Tante Dinda dengan air mata berlinang di pipinya.
"Dina tahu, Tante. Dina juga kehilangan Dea. Tapi, membalas dendam tidak akan membawa Dea kembali. Itu hanya akan membuat kita semakin menderita," kata Dina dengan lembut.
Tante Dinda terdiam. Ia menatap Dina dengan tatapan kosong. "Jadi, kamu memilih untuk mengkhianati Tante? Kamu memilih untuk melupakan Dea?"
"Tidak, Tante. Dina tidak mengkhianati siapa pun. Dina hanya memilih untuk melakukan apa yang benar. Dina akan selalu mencintai Dea, tapi Dina tidak bisa membiarkan dendam menguasai hidup Dina," kata Dina dengan air mata yang juga mulai membasahi pipinya.
Tante Dinda menggelengkan kepalanya dengan sedih. "Tante tidak mengerti kamu, Dina. Tante tidak mengerti kenapa kamu berubah pikiran. Tante sudah menganggapmu seperti anak sendiri. Tante sudah mempercayaimu."
"Dina tahu, Tante. Dina sangat berterima kasih atas semua yang Tante lakukan untuk Dina. Tapi, Dina tidak bisa hidup dengan kebohongan ini lagi. Dina harus jujur pada diri sendiri dan pada semua orang," kata Dina dengan tulus.
Tante Dinda terdiam sejenak. Kemudian, ia menghela napas panjang. "Baiklah, Dina. Jika itu keputusanmu, Tante tidak bisa memaksa kamu. Tapi, ingatlah ini: kamu akan menyesalinya. Kamu akan menyesal karena telah mengkhianati Dea dan Tante."
Dina mengangguk pelan. Ia tahu bahwa Tante Dinda mungkin benar. Ia mungkin akan menyesali keputusannya. Tapi, ia juga tahu bahwa ia telah melakukan hal yang benar.
"Dina harus pergi sekarang, Tante. Terima kasih atas semuanya," kata Dina sambil berbalik dan berjalan keluar dari rumah.
Saat ia melangkah keluar dari pintu, Dina merasa seperti ada beban berat yang terangkat dari pundaknya. Ia akhirnya bebas. Ia akhirnya bisa menjadi dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup udara segar kebebasan. Meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ia merasa siap untuk menghadapinya. Ia tahu bahwa ia tidak lagi sendirian. Ia memiliki Sari, dan ia memiliki hati nuraninya.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*