Saga, sang CEO dengan aura sedingin es, tersembunyi di balik tembok kekuasaan dan ketidakpedulian. Wajahnya yang tegas dihiasi brewok lebat, sementara rambut panjangnya mencerminkan jiwa yang liar dan tak terkekang.
Di sisi lain, Nirmala, seorang yatim piatu yang berjuang dengan membuka toko bunga di tengah hiruk pikuk kota, memancarkan kehangatan dan kelembutan.
Namun, bukan pencarian cinta yang mempertemukan mereka, melainkan takdir yang penuh misteri.
Akankah takdir merajut jalinan asmara di antara dua dunia yang berbeda ini? Mampukah cinta bersemi dan menetap, atau hanya sekadar singgah dalam perjalanan hidup mereka?
Ikuti kisah mereka yang penuh liku dan kejutan di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beauty and The Beast 24
Sebelumnya, Nirmala memang sudah mengirim pesan pada Saga, meminta mereka bertemu dan makan bersama di kafe yang ingin ia kunjungi. Tepat saat dirinya berada dalam masalah, Saga pun datang.
*******
Saga menghubungi Raditya dan mengatakan bahwa Nirmala mendadak merasa tidak enak badan. Raditya sempat menawarkan untuk mengirim dokter, tetapi Saga menolak. Ia beralasan bahwa di mansionnya sudah ada dokter yang datang.
Kali ini Saga mengendarai mobilnya sendiri, dengan satu tangan menggenggam erat tangan Nirmala yang terasa dingin. Mereka sempat duduk dan memesan sesuatu, namun tiba-tiba Nirmala mengeluh pusing.
Saga memutuskan untuk segera membawa Nirmala pulang. Apalagi, wajah Nirmala kini semakin pucat, membuat Saga khawatir.
"Hei... sayang?" panggil Saga, berusaha agar Nirmala tetap sadar.
"Hm... apa?" jawab Nirmala dengan mata terpejam.
Kehilangan Nirmala beberapa bulan lalu membuat Saga sangat protektif, menjaganya bagai permata yang tak boleh tergores sedikit pun.
Dalam hati, Saga mengutuk perjalanan yang terasa begitu lambat. Jika saja ia bisa meminjam pintu ke mana saja milik Doraemon, pasti sudah ia lakukan.
"Sayang," panggil Saga lagi.
Nirmala hanya diam, tak membalas panggilannya. Genggamannya pun semakin melemah, tak seerat sebelumnya, membuat Saga semakin panik.
Saga memutuskan untuk menepi. Ia membuka sabuk pengamannya dan sabuk Nirmala, lalu menarik tubuh Nirmala ke dalam pelukannya, mencoba mentransfer kehangatan pada tubuhnya yang dingin.
Jantungnya berdegup semakin cepat, rasa panik menghantui pikirannya. "Sayang, hei... jawab aku," ucap Saga, namun Nirmala tetap diam dengan mata terpejam.
"Nirmala?" Saga terus memanggil Nirmala, namun gadis itu tetap membisu.
Saga meraih ponselnya. "Kirimkan dokter," ucapnya singkat, lalu langsung mematikan sambungan telepon. Kemudian, ia kembali mengetik pesan untuk Ace.
Ace, yang sedang memimpin rapat, langsung melihat layar ponselnya. Belum sempat ia menjawab, panggilan itu sudah berakhir, dan di layarnya muncul pesan berisi lokasi Saga.
Ace segera membubarkan rapat dan bergegas keluar ruangan. Sambil berjalan cepat, ia terus menghubungi dokter.
Waktu terasa berjalan lambat, suhu di dalam mobil pun mulai menyesakkan. Saga membuka separuh kaca jendela agar angin segar bisa masuk.
Keringat sebesar biji jagung mulai membanjiri wajahnya. Ia masih memeluk erat tubuh Nirmala, menggosok-gosokkan tangannya berusaha menghangatkan.
Dari kaca spion samping, Saga melihat mobil Ace datang dan berhenti tepat di belakang mobilnya. Ace dan seorang dokter wanita keluar bersamaan.
Saga merebahkan tubuh Nirmala perlahan di kursi. Dokter itu membuka pintu mobil dan mulai memeriksa keadaan Nirmala.
"Nona demam, Tuan. Apakah ada salah makan? Atau ada sesuatu yang dipikirkan oleh Nona?" tanya dokter dengan papan nama bertuliskan Karina.
"Iya," jawab Saga singkat.
"Tolong dijaga agar Nona tidak banyak pikiran. Semua aktivitas Nona mohon dikurangi. Saya akan berikan suntikan pereda demam," jelas dokter Karina.
Setelah dokter Karina memberikan resep obat, ia pun pamit undur diri bersama Ace. "Cepat bawa dia pulang," pesan Ace.
"Ya, aku tahu," jawab Saga cepat.
Ace memutar mobilnya dan pergi ke arah berlawanan dengan Saga, karena ia harus kembali ke perusahaan.
Sesampainya di mansion, Saga langsung menggendong Nirmala yang tubuhnya sudah tidak sepanas tadi.
Ia meminta pelayan untuk membantu membersihkan tubuh Nirmala. Setelah itu, Saga turun dari lantai atas dan menjatuhkan diri di sofa.
Saga meraih ponselnya. "Berikan informasi tentang Rafaell Jovanka," ucap Saga, lalu meletakkan ponselnya di atas meja.
Ia menyandarkan kepalanya di sandaran kursi, menatap langit-langit ruang tamu, dan menarik napas dalam-dalam.
"Ada apa dengan Nirmala? Padahal ia baru pertama kali bertemu Rafaell, tapi reaksi tubuhnya bisa separah ini?" pikir Saga.
****
"Akh... Bodoh kalian semua!" teriak Rafael.
Ia memijat pelipisnya, merasakan pening di kepalanya. Sudah belasan tahun ia mengejar seorang dokter yang dulu membantu persalinan ibunya.
Satu per satu pelaku sudah ia temukan. Bahkan, orang yang sangat ia kenal sebagai tukang kebun adalah pelaku yang nekat membunuh adiknya.
"Maaf, Tuan, saya tidak membunuh Nona. Saya hanya meletakkannya di tempat sampah tertutup, agar tidak ada orang jahat yang menemukannya," jelas tukang kebun itu.
Rafael juga sudah mendatangi tempat tinggal yang diduga adalah rumah orang tua angkat adiknya, Pak Seno dan Bu Ratna. Sayangnya, menurut info dari tetangga, keduanya sudah meninggal dunia.
Ia juga sempat mendatangi kios bunga yang dulunya milik seorang wanita bernama Nirmala. Namun sayang, kios tersebut tampak sudah lama sekali tutup.
Rasa lelah dan rindu mendominasi hati Rafael Enzio Jovanka. Hanya dirinya yang terus berusaha menemukan sang adik, karena ia yakin adiknya masih hidup.
Sabrina, sang ibu, kini dalam perawatan di rumah sakit jiwa. Setelah kehilangan bayinya, dua bulan kemudian suaminya, Jovanka, ditemukan meninggal dengan mobilnya yang terperosok ke dalam jurang sedalam lima puluh meter.
Rafael menjatuhkan dirinya ke sofa panjang. Ia meraih figura berisi foto bayi mungil. "Kamu di mana, Dek? Abang capek, ayo temui Abang," jerit hati seorang kakak yang sangat merindukan adiknya.
Tak terasa, kesedihan itu perlahan membuatnya terlelap. Rafael terbangun di sebuah taman bunga.
Banyak bunga berwarna-warni tampak baru bermekaran. Ia berjalan menelusuri jalan setapak yang membawanya entah ke mana.
Namun, hatinya seolah yakin akan ada yang ia temui di depan sana. Di sebuah gubuk kecil, duduklah seorang wanita berambut hitam lurus, tengah asyik merangkai bunga dan rumput menjadi buket.
Wanita itu tersenyum pada Rafael, kemudian memberikan buket tersebut. Namun, yang terlihat oleh Rafael hanyalah duri, bukan bunga.
Rafael terbangun dari tidurnya. Ternyata, itu hanyalah mimpi yang sama, yang selalu datang setiap kali ia menangisi adiknya.
Terima kasih yang sudah sabar menunggu Nirmala dan Saga update, mohon maaf cerita nya makin kesana makin kesini.