Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12: Kebahagiaan yang Rapuh
Dua bulan pertama pernikahan mereka... indah.
Indah dalam artian sederhana—bangun pagi bareng, sarapan seadanya, Arsyan jualan soto sementara Wulan kadang nemenin di gerobak, pulang sore terus masak bareng meskipun hasilnya sering gosong.
Tapi ada satu hal yang mulai mengganggu Arsyan.
Wulan... aneh.
Bukan aneh dalam artian jahat atau menyebalkan. Tapi aneh dalam artian... nggak kayak manusia pada umumnya.
Pagi itu, Arsyan bangun lebih dulu—jam lima subuh. Dia mau ke kamar mandi, tapi ngeliat Wulan masih tidur. Atau... dia kira tidur.
Karena pas Arsyan balik dari kamar mandi—Wulan udah duduk di dapur, masak air buat teh, rapi banget kayak udah mandi dan ganti baju.
"Wulan—" Arsyan masih canggung manggil nama tanpa embel-embel. "Kok cepet banget? Tadi kan masih tidur?"
Wulan senyum—senyum yang... nggak nyampe mata. "Aku... aku kebiasaan bangun cepet."
"Tapi nggak mungkin secepat itu. Aku cuma ke kamar mandi lima menit—"
"Udah, Mas. Ayo kita sarapan." Wulan motong pembicaraan cepet—terlalu cepet.
Arsyan diam. Tapi dalam hatinya... pertanyaan makin numpuk.
Minggu kedua, Arsyan mulai sadar hal lain.
Wulan... nggak pernah makan banyak.
Setiap kali Arsyan masak—nasi, lauk seadanya—Wulan cuma makan tiga suap. Tiga suap doang. Terus bilang "aku kenyang."
"Wulan, itu baru tiga suap. Mana cukup?" Arsyan nyodorin piring lagi.
"Aku... aku nggak bisa makan banyak, Mas. Perutku... kecil."
"Perut kecil? Kamu kurus banget, Wulan. Nggak sehat."
"Aku sehat kok, Mas. Nggak usah khawatir."
Tapi Arsyan khawatir. Sangat khawatir.
Bulan pertama jadi dua bulan. Warung Arsyan makin rame—sampe kadang kehabisan stok siang-siang. Uangnya cukup buat hidup, bahkan bisa nabung sedikit.
Tapi ada yang aneh.
Setiap kali Wulan nemenin di gerobak—pembeli langsung banyak. Kayak ada magnet. Tapi kalau Wulan nggak dateng—warung sepi lagi.
Bhaskara yang sering mampir mulai komentar.
"Gas... ini nggak normal. Gue udah liat berkali-kali. Pas Wulan dateng, pembeli langsung rame. Pas dia nggak ada—sepi."
Arsyan ngaduk kuah sotonya lebih keras dari biasanya. "Mungkin kebetulan, Bhas."
"Kebetulan berbulan-bulan? Gas, lo denial."
"Aku nggak denial—"
"Lo denial BANGET." Bhaskara condong ke depan, suara pelan. "Gas... istri lo itu bukan manusia biasa. Dan lo tau itu."
Arsyan berhenti ngaduk. Tangannya diem di udara.
"Aku... aku tau, Bhas."
"Terus kenapa lo diem aja?"
"Karena..." Arsyan menarik napas panjang. "Karena aku takut. Takut kalau aku tanya... dia bakal pergi."
Bhaskara menatap Arsyan lama—lalu dia tepuk bahu Arsyan pelan. "Gas... cepat atau lambat, lo harus tau kebenarannya. Daripada lo hidup dalam ketidakpastian terus."
Arsyan ngangguk pelan. Tapi dalam hatinya... dia masih nggak siap.
Malam itu, Arsyan pulang lebih cepat dari biasanya.
Dia masuk rumah—berharap Wulan udah masak atau lagi nonton TV (TV second yang mereka beli minggu lalu).
Tapi Wulan nggak ada di ruang tamu.
"Wulan?" panggil Arsyan.
Nggak ada jawaban.
Arsyan masuk ke kamar—dan dia liat Wulan berdiri di depan jendela, menatap bulan purnama yang bersinar terang.
Posisinya... aneh. Terlalu diam. Terlalu kaku.
"Wulan?"
Wulan langsung berbalik—kaget—mata membulat. "Mas—kenapa pulang cepet?"
"Aku... aku kangen. Makanya pulang cepet." Arsyan jalan mendekat. "Kamu... kamu lagi ngapain?"
"Nggak ngapa-ngapain. Cuma... liat bulan."
"Liat bulan kenapa? Ada yang spesial?"
Wulan tersenyum sedih. "Bulan... mengingatkan aku pada rumah."
Arsyan jantungnya berdetak lebih cepat. "Rumah? Rumah mana?"
Wulan langsung sadar dia salah ngomong. Dia geleng cepet. "Maksudku... rumah dulu. Waktu aku kecil."
"Wulan..." Arsyan pegang tangan Wulan—dingin, seperti biasa. "Kamu... kamu belum pernah cerita tentang masa kecil kamu. Orang tua kamu... keluarga kamu... semuanya."
Wulan menunduk—jari-jarinya menggenggam tangan Arsyan erat. "Mas... aku... aku nggak bisa cerita sekarang."
"Kenapa?"
"Karena kalau aku cerita... Mas bakal takut. Dan... dan mungkin Mas bakal... ninggalin aku."
Arsyan langsung tarik Wulan ke pelukannya—peluk erat. "Dengar ya... apapun yang terjadi, aku nggak akan ninggalin kamu. Ngerti? Apapun."
Wulan menangis di bahu Arsyan—isak-isakan pelan, tangan menggenggam baju Arsyan erat.
"Mas... janji?"
"Janji. Aku janji."
Tapi dalam hati Arsyan... ada ketakutan yang makin besar.
Sebenarnya... siapa istriku ini?
Hari berikutnya, Dzaki dateng ke warung—muka serius banget.
"Mas Arsyan... kita harus ngomong."
"Ngomong apa, Zak?"
Dzaki ngeliat sekitar—mastiin nggak ada yang denger—lalu dia bisik pelan. "Istri Mas... aku udah yakin. Dia jin."
Arsyan jantungnya langsung turun. "Zak—"
"Dengar dulu, Mas. Aku nggak bilang dia jahat. Jin ada yang baik kok. Tapi... Mas harus tau. Karena... karena kalau dia jin dan dia tinggal di dunia manusia terlalu lama... ada konsekuensinya."
"Konsekuensi apa?"
"Kerajaan jin bakal nyari dia. Dan kalau mereka tau dia nikah sama manusia..." Dzaki napas berat. "...mereka nggak akan diam, Mas."
Arsyan duduk di bangku plastik—kepala pusing, napas berat.
"Terus... terus aku harus gimana, Zak?"
"Tanya dia. Langsung. Jangan ditunda lagi."
Malam itu, Arsyan mutusin buat nanya.
Mereka duduk di teras rumah—angin malam sepoi-sepoi, suara jangkrik nyaring.
"Wulan..." Arsyan megang tangan istrinya—dingin, tapi dia pegang erat. "Aku... aku harus tanya sesuatu. Dan aku mau kamu jujur."
Wulan menatap Arsyan—mata berkaca-kaca, kayak udah tau apa yang bakal ditanya.
"Tanya aja, Mas."
Arsyan menarik napas dalam. "Kamu... kamu manusia... kan?"
Hening.
Hening yang panjang, mencekik.
Wulan menatap tangan mereka yang saling menggenggam—lalu air matanya jatuh.
Satu tetes.
Dua tetes.
"Mas..." bisiknya lirih. "Kalau... kalau aku bukan manusia... Mas bakal ninggalin aku?"
Arsyan jantungnya berhenti.
"Wulan... jawab aku dulu."
"Jawab Mas dulu. Mas bakal ninggalin aku nggak?"
Arsyan menatap Wulan lama—menatap mata yang penuh air mata, penuh ketakutan.
Lalu dia bisik pelan, "Nggak. Aku nggak akan ninggalin kamu. Nggak akan pernah."
Wulan menangis—nangis keras—lalu dia peluk Arsyan erat banget.
"Terima kasih, Mas... terima kasih..."
Tapi Wulan nggak jawab pertanyaan Arsyan.
Dan Arsyan... nggak maksa.
Karena dia tau—jawabannya bakal ngubah segalanya.
Dan dia... belum siap.