Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Beberapa saat kemudian, Deva tiba di rumahnya. Dia melambaikan tangan begitu mobil Rora menjauh dari rumahnya.
Deva mulai melangkah memasuki halaman rumahnya, dia menaikkan satu alisnya begitu melihat banyaknya motor yang ada di halaman rumah itu.
"Kayanya teman-teman bangsatnya Gio ada di sini deh?" tebak Deva.
Saat dia tiba di depan pintu, dari kejauhan Deva mendengar suara gelak tawa di ruang tamu. Dia sudah menduga jika para sahabat kakaknya tengah berkumpul.
Deva masuk ke dalam rumah, raut wajahnya tampak acuh tak acuh. Kedua netranya tertuju pada sosok Sera yang duduk di antara kedua kakaknya.
Tanpa memperdulikan tatapan gadis itu, Deva kembali melanjutkan langkahnya. Dia berniat menuju kamar dan kembali istirahat.
Saat melewati ruang tamu, tatapan sinis dari para sahabat kakaknya membuat Deva risih.
"Nggak pernah lihat orang cantik, ya? sampai-sampai bola mata kalian mau keluar dari tempatnya!" ujar Deva dengan tatapan malas.
"Cih, kepedean lo!" sindir Haikal, tidak terima.
Deva tidak menggubris dan berniat melanjutkan langkahnya, namun suara Gio menghentikannya.
"Dari mana lo jam segini baru pulang? atau lo abis tidur sama om-om?" tuduh Gio, membuat Deva langsung menoleh ke arahnya.
"Mau gue tidur sama om-om atau nggak, itu bukan urusan lo!" balas Deva tegas.
"Jelas urusan gue! kalau lo bikin malu, lo pasti nyusahin Daddy!" Gio menjawab dengan nada tinggi.
Deva tertawa sinis, dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "Terus selama ini lo pikir lo nggak nyusahin, hm? lo juga beban buat Daddy!" sahut Deva dengan berani.
Gio berdiri dan menghampiri Deva, mereka saling bertatapan. "Lo murahan! nggak tau diri! lo nggak pantas bergabung di keluarga ini!"
Gio menuduh Deva tanpa belas kasih, ia terus memojokkan adiknya seakan kehidupan Deva hanya sampah di mata pemuda itu.
Deva masih diam, namun kedua tangannya sudah mengepal erat hingga buku-bukunya memutih.
Plak!
Gema tamparan menggema di rumah itu saat Deva menampar wajah Gio, terlihat pipi pemuda itu memerah. "Tutup mulut lo, sialan!"
"Haha, brengsek." Gio memegang pipinya yang kebas, ia menoleh kembali menatap Deva. "Lo sadar? Lo selalu bikin malu keluarga ini! seandainya lo bisa di tukar, gue lebih milih Sera jadi adik gue bukan lo!" teriak Gio menggema di dalam rumah tersebut.
Semua orang terkejut, termasuk Elliot yang juga ada di sana. Tidak ada satu pun orang yang berniat melerai mereka, Gallen sebagai kakak sulung pun hanya duduk santai sambil menyilangkan kedua tangannya seakan menikmati suasana itu.
"Ambil! Gi. Gue juga nggak butuh kakak seperti lo, ambil sana mau Sera kek mau kera kek terserah lo! karena sejak awal, gue emang nggak pernah punya saudara!" sahut Deva dingin, sorot matanya menunjukkan kilatan kebencian yang mendalam.
Skakmat, Gio kehabisan kata-kata. Ia hanya bisa mengepalkan kedua tangannya.
Tak ingin membuang tenaga terlalu banyak, Deva bergegas pergi namun mendadak Gio mendorong Deva dengan kasar dan membuat tubuhnya terhuyung ke samping kiri.
"Jangan songong, Deva. Asal lo tahu, lo nggak pernah ada di lingkup keluarga ini! dan sampai kapan pun lo nggak akan pernah ada! sekarang lo paham maksud gue, kan?" bentak Gio, detik berikutnya sebuah tinjuan mendarat di wajahnya.
BUGH!
Tanpa aba-aba, Deva memukul Gio bertubi-tubi. Dia melampiaskan amarahnya pada pemuda tersebut.
"Baco*! gue nggak butuh pengakuan dari lo, Gio. Lo nggak anggap gue, justru itu bagus. Dengan begitu, gue bisa membalas perlakuan lo berkali lipat!" sentak Deva menusuk.
DUAGH.
Ia kembali menendang Gio hingga terjerembab di lantai, ia hendak menginjak wajahnya yang sedang merintih kesakitan, namun Gallen tiba-tiba datang dan menendang punggung Deva.
Duagh.
"Jaga sikap lo, Deva! sebelum gue patahkan semua tulang lo." Ancam Gallen menatap tajam padanya.
Deva terkekeh, ia berbalik dan memberikan tendangan tepat di perut Gallen hingga pemuda itu menabrak tembok.
"Aarrghh!" Gallen merintih kesakitan, ia memegangi perutnya yang berdenyut nyeri.
Semua orang nampak sangat terkejut dengan balasan dari Deva, teknik bela diri yang dimiliki gadis itu membuat semua yang melihatnya syok berat.
Deva melangkah mendekati Gallen, ia menarik kerah baju Gallen agar menatap matanya.
"Sebelum lo patahkan tulang gue, yang ada lo duluan yang kehilangan nyawa lo, Gal!" ancam Deva dingin.
Ia melepaskan kerah baju Gallen, bertepatan dengan itu suara bariton milik Dion menggema dari lantai dua.
"DEVA!" bentak Dion menatap tajam pada putri bungsunya.
Deva mendongak, akan tetapi raut wajahnya nampak datar dan dingin. Tak ada lagi senyum hangat yang selalu ia tunjukkan pada ayahnya.
Langkah Dion semakin cepat, ia berlari menuruni tangga dan tanpa basa-basi menampar pipi Deva hingga gadis itu jatuh ke lantai.
"Apa-apaan kamu hah? pagi-pagi begini sudah bikin ulah!" bentak Dion marah.
Deva terdiam, ia tak menjawab pertanyaan Dion. Dan itu berhasil membuat Dion menggeram marah, karena merasa pertanyaannya diabaikan.
"Deva!"
"Apa?" bentak Deva balik, menatap lurus ke arah ayahnya. "Daddy mau pukul aku lagi? atau mau bunuh aku sekalian hm?"
Deva terkekeh miris, ia menghapus sudut bibirnya yang berdarah dengan kasar.
"Jaga sikap kamu, Deva! jangan kurang ajar, Daddy ini ayah kamu!" bentak Dion menunjukkan kemarahannya.
"Ayah? mana ada seorang ayah yang tega memukul anaknya sendiri tanpa menanyakan kejadian sebenarnya!" sahut Deva setengah mengejek Dion.
"Daddy kecewa sama kamu, Deva. Kamu perempuan, kenapa kelakuanmu mirip berandalan setiap harinya hah!" ucap Dion serius.
Deva tersenyum kecut mendengarkan ucapan Dion, ia tak tahu saat ini ekspresinya seperti apa. Yang ia rasakan, bagian dalam dirinya terluka namun tidak ada yang bisa melihat luka tersebut.
"Dad, aku bahkan lebih kecewa dari Daddy!"
Melihat senyum pahit itu, hati Dion bergetar. Ia merasa ada sesuatu yang hancur di dalam dirinya, namun ia tak tahu apa itu.
Dion sadar, ia seharusnya menjadi pelindung bagi putrinya, tetapi kini justru ia yang menjadi sumber luka barunya. Namun, kembali lagi, Dion merasa dikecewakan oleh Deva setelah bertahun-tahun membesarkannya.
Dalam kediaman yang seharusnya penuh kasih sayang, hanya ada keheningan yang mencekam, menyelimuti perasaan mereka berdua.
Namun, sekejap Dion teringat sesuatu. Ia mengeluarkan amplop putih dan melemparkannya ke arah Deva.
"Baca itu baik-baik, Deva! masih pantaskah kamu berkata begitu setelah mengetahui isi amplop tersebut!" hardik Dion, urat-urat di bagian lehernya menonjol.
Deva menunduk, ia meraih amplop tersebut dan membukanya. Terdapat foto dan flashdisk di dalam amplop tersebut.
"Gallen, ambil laptop!" titah Dion tak terbantahkan.
Dengan sigap, Gallen membawa laptopnya ke arah Dion. Ia memberikan itu pada ayahnya.
"Gal, ambil flashdisk itu dan pasang flashdisk tersebut sekarang." pinta Dion, sambil menatap Deva tak sabar.
Gallen menurut dan memasang flashdisk itu, sesaat kemudian ada rekaman video yang tersimpan di dalam flashdisk tersebut.
Gallen menyalakan rekaman tersebut, betapa syoknya ia ketika melihat adegan tak pantas ada di layar tersebut.
Namun, bukan itu masalahnya. Tapi perempuan yang sedang melakukan adegan panas itu sangat mirip dengan Deva.
Suasana di ruangan tersebut kian mencekam, bukan hanya Deva yang syok. Tapi Gio juga sama terkejutnya, mereka tak menyangka jika selama ini Deva memiliki sisi gelap seperti itu.
"Seperti itukah kelakuan kamu saat Daddy nggak ada? kamu membatalkan pertunanganmu dengan Elliot, dan menjual diri kamu pada pria hidung belang! apa selama ini uangmu kurang, Deva? jawab!" bentak Dion kalap.
Deva mencoba menahan rasa sakit di dadanya yang tak kunjung reda. Setiap kata yang terucap dari bibir ayahnya terasa seperti belati yang menusuk, mengingatkannya pada semua harapan yang kini hancur lebur.
"Dad, apa rekaman ini bisa menjamin bahwa perempuan itu aku? Daddy lebih tahu bagaimana sikapku tanpa perlu menjelaskannya." jawab Deva setenang mungkin.
"Ya, Daddy sudah mengkonfirmasinya, dan itu memang kamu, Deva! kamu bukan hanya membunuh istriku, tapi juga mempermalukan keluarga ini, Deva! seandainya saat itu kamu yang mati, maka semua kekecewaanku tidak akan sebesar ini!" teriak Dion kalap. Ia melupakan ucapan tempo hari pada Deva.
Deva terdiam, ia merasakan ada jurang yang semakin lebar di antara mereka, jurang yang dipenuhi oleh kemarahan dan kekecewaan yang tak kunjung sirna.
"Kenapa selalu aku yang disalahkan? kenapa, Dad?" kedua mata Deva berkaca-kaca, ia mendongak dan meremas foto tersebut untuk menahan gejolak amarah yang kian meninggi.
Dion mendengus sebal, "Karena semua memang salahmu! Deva."
Deva menyeka bulir kristal yang mulai turun di kedua pipinya, "Mau sejauh apa kalian melukai aku? atau sampai ragaku masuk ke dalam tanah?"
jadi agak aneh crita nya
dan juga Daddy nya itu bukan nya sayang sama dia?
kalo memang si deva ini di fitnah dan dihina sedemikian rupa kenapa masih tetap berharap dan bertingkah sama keluarga nya?
katanya dia punya perasaan dan dia juga manusia tapi sikapnya ga sesuai sama apa yang di cerita kan
kesel banget
jdi kesannya kayak si Deva ini lebih menye menye dan agak lain yang didalam tanda kutip karakternya"kelihatan tidak sesuai sama penggambaran karakter awalnya" seolah olah di awal hanya sebatas penggambaran di awal saja
tapi tetap semangat ya authori💪