Setelah sepuluh tahun menjanda setelah pernikahan kedua, Ratna dihadapkan oleh perilaku tak terduga dari anak tiri yang ia rawat. Setelah menikah dengan Dirli, Amora mengusir Ratna dari rumah peninggalan ayahnya (suami Ratna).
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria tua memakai jaket ojek online. Pria bernama Robin itu melihat ketulusan Ratna yang menolong orang yang tak dikenal. Dengan lantang ia mengajak Ratna menikah.
Dalam pernikahan ketiga ini, ia baru sadar, banyak hal yang dirahasiakan oleh suami barunya, yang mengaku sebagai tukang ojek ini.
Rahasia apakah yang disembunyikan Robin? Apakah dalam Pernikahan yang Ketiga dalam usia lanjut ini, rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada konflik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Bekal dari Istri
Dirli menelan ludahnya. Tenggorokannya mendadak terasa seperti menelan kerikil. Pria yang berdiri di depannya itu adalah salah satu manajer yang terkenal dengan ketegasan dan kedisiplinannya.
“Ma-maaf, Pak ... Saya memiliki keperluan dengan Pak Wirya. Saya kira beliau ada di sini,” ucap Dirli pelan, mencoba tetap tenang, meski keringat dingin mulai merembes di bawah kerah kemejanya.
"Saat ini, Pak Wirya tak bisa diganggu. Beliau sedang membantu big boss yang akan mempresentasikan strategi ekspansi regional perusahaan," jawab sang manajer dengan nada datar namun penuh tekanan.
"Kalau keperluanmu sangat mendesak, sampaikan melalui jalur koordinasi. Bukan dengan menerobos masuk ruang rapat seperti ini."
Dirli nyaris membela diri, namun suara dalam hatinya menjerit, 'Jangan cari masalah lagi, Dirli.' Ia hanya menunduk pelan.
"Baik, Pak. Maafkan saya atas kelancangan yang saya perbuat," ucap Dirli cepat, melangkah mundur dengan canggung.
Setelah itu, pintu ditutup dan tak terdengar apa pun dari luar karena ruangan itu kedap udara.
Dirli memutar badan menaikan satu tangannya ke pinggang, satu tangannya lagi memegang lembaran struk bukti belanja di warung kopi. "Kapan lah ini selesainya?" decaknya sedikit kesal.
Akhirnya Dirli memasuki lift, kembali ke ruang kerjanya.
Di warung kopi.
Ratna baru saja selesai memasak roti yang mengeluarkan aroma kopi yang begitu menggugah selera. Ia berharap, akan ada pelanggan yang datang lebih ramai lagi dibanding tadi pagi.
Setelah uap roti mereda, ia membungkusnya satu per satu dalam plastik bening, lalu menatanya di meja bersama jajanan lain. Sembari menunggu pelanggan, Ratna membersihkan meja, menyapu remah-remah, dan merapikan rak dagangannya.
Sementara itu, di rumah orang tua Dirli.
Amora sedang berada di rumah mertuanya, disuruh membereskan sisa-sisa pesta kemarin yang belum selesai.
"Kamu pindahkan lagi yang itu ke sini!" ucap Linda menunjuk guci kesayangannya, yang diletakkan di sudut ruang tamu beralaskan karpet Persia.
Amora yang telah dibanjiri keringat hanya bisa menghela napas berat. Semenjak pagi, tiada henti pekerjaan diberikan padanya. Dari mencuci gelas-gelas kristal, menyapu serpihan confetti yang terselip di sela kursi, hingga sekarang harus memindahkan guci raksasa yang hampir sama tinggi dengannya.
Ia menggenggam bagian leher guci dengan kedua tangan, berusaha mengangkatnya perlahan. Namun beratnya membuat tubuhnya sedikit oleng, dan wajahnya mengernyit, menahan lelah dan jengkel yang makin menumpuk di dalam hati.
"Hati-hati! Guci itu harganya mahal!" bentak Linda tiba-tiba, seolah tak puas meskipun menantunya sudah berkeringat habis-habisan.
Amora menggigit bibir, menahan emosi yang hampir meledak. Ia tidak menjawab, hanya menunduk sambil menurunkan guci perlahan ke tempat baru yang diminta. Padahal, dalam hatinya, ia ingin berteriak, ingin berkata bahwa ia ini menantu, bukan asisten rumah tangga yang bisa disuruh seenaknya.
Amora menggenggam bibir guci dengan kedua tangan, jari-jarinya gemetar, lengannya berdenyut nyeri seperti dipilin dari dalam. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan sisa tenaga yang entah di mana. Perlahan, ia kembali mengangkat guci itu, tapi kali ini gerakannya lebih goyah. Otot punggungnya menegang, lututnya gemetar.
Langkahnya tertatih, berat guci seolah dua kali lipat dari sebelumnya. Hingga tiba-tiba, kaki kirinya kehilangan pijakan. Tubuhnya limbung, dan dalam sekejap, dunia terasa melayang.
Braak!
Guci itu jatuh bersamaan dengan tubuhnya yang terhempas ke lantai dingin. Ia terduduk, napasnya memburu, telapak tangannya menahan lantai untuk menopang tubuh yang gemetar. Guci itu tergeletak di sampingnya, ajaibnya tidak pecah, hanya mengeluarkan bunyi dentuman berat yang menggetarkan udara.
"Ya ampun, Amora!" suara Linda memecah keheningan, tajam dan tidak menyisakan empati. "Memindahkan ini saja kok kamu nggak becus, sih?"
Linda buru-buru mendekat. Yang ia perhatikan bukan lah menantu yang kesakitan memegangi pinggang. Linda segera memeriksa keadaan guci kesayangannya.
"Huft, untung nggak ada yang retak," keluh Linda lega, menyapu debu dari badan guci.
Amora menunduk, menggigit bibirnya. Pakaian rumahnya basah oleh keringat, rambutnya sudah menempel di wajah. Sementara tubuhnya masih gemetar, suara itu kembali datang, lebih dingin.
"Ngapain bengong di situ? Cepat kamu dirikan lagi!"
Amora mendongak, pelan. Pandangannya bertemu dengan mata Linda yang tajam seperti pisau. Tak ada rasa khawatir untuk dirinya di sana.
'Sial, dia sama sekali tak mempedulikan keadaanku,' batin Amora mencoba untuk bangkit meskipun ia tertatih.
"Ma, aku ini kesakitan. Tapi Mama tak memperhatikan keadaanku. Apa aku tak lebih berharga dibanding guci sialan ini?" Amora menendang benda yang masih tertidur itu.
"Aku sudah mengerjakan semuanya dari pagi, hingga sekarang. Tapi mana bentuk rasa terima kasih dari Mama?"
"Kamu berani membantah kata Mama?" ucapnya datar, menyipitkan mata.
Amora menarik napas dalam, dadanya berguncang menahan amarah yang tak bisa lagi dikekang. "Aku bukan membantah, Ma. Aku ini udah terlalu lelah. Aku tak bisa lagi mengerjakan semua yang Mama minta. Harusnya Mama meminta ART menyelesaikan semua, bukan aku!"
Linda mendengkus tersenyum sinis. "Kamu mau diperlakukan dengan baik? Katakan pada ibu tirimu itu untuk mengantarkan hadiah yang kemarin dibawakan untukku." Linda memutar badan dan melirik Amora lewat ujung matanya.
Amora terpaku. Kalimat Linda barusan menyengat lebih dari sekadar kelelahan fisik. Matanya membelalak, seolah tak percaya perempuan paruh baya itu mengungkit hal yang tak ada hubungannya dengan dirinya.
Hadiah?
"Apa hubungannya hadiah dengan semua ini, Ma?" suara Amora meninggi tanpa ia sadari. "Saya ini menantu Mama, bukan perantara Mama dengan dia!"
Linda berbalik perlahan, senyumnya masih terpasang, kaku dan mengintimidasi.
"Justru karena kamu menantuku, kamu harus membantuku. Kalau kamu masih ingin tetap bersama dengan Dirli, kamu harus selalu berada di pihakku , Amora," katanya dengan suara serupa bisikan yang menyayat.
"Sampaikan kepada ibu tirimu itu, bahwa aku masih menunggu hadiah yang harusnya diberikan sejak kemarin. Jangan buat saya hilang kesabaran."
Amora menggigit bibirnya. Ada rasa panas mengalir di belakang matanya, tapi ia tahan. Ia tak mau menangis di hadapan Linda.
"Dan satu lagi," Linda menambahkan, kini berjalan mendekat dan berdiri tepat di depan Amora. "Lain kali, kalau kamu menjatuhkan guci ini lagi … kamu yang saya pecahkan."
"Hatciiim..." Ratna bersin keras, lalu tertawa kecil pada dirinya sendiri. Aroma roti yang menguar masih memenuhi ruang sempit warung kopi miliknya, tapi pelanggan tak kunjung datang.
"Mana ya, yang katanya akan jadikan tempat ini sebagai basecamp? Ini warung kopi atau rumah hantu?" Ratna kembali bertopang dagu merasakan kesepian ini.
"Dasar PHP," gumamnya lagi.
.
.
Di kantor Robin, rapat berakhir tepat di waktu makan siang. Ia segera menyuruh Wirya menyiapkan peralatan makan.
"Pak, yakin makan itu saja?" tanya Wirya menaruh piring dan sendok di hadapan Robin. Setelah itu, ia mengeluarkan nasi uduk dan semua toping yang terpisah ke dalam piring tersebut.
"Tentu, ini adalah masakan istri saya," ucap Robin dengan bangga. "Dia sudah berusaha keras memasakkan ini buat saya."
“Tapi, biasanya Bapak lebih milih makan siang sambil cuci mata di kafe,” goda Wirya.
“Itu dulu. Sekarang saya cuci mata pakai cinta,” Robin menyeringai, membuat Wirya pura-pura mual.
Wirya mengangguk pelan, sedikit kagum melihat perubahan pria yang biasanya dikenal cuek itu. "Boleh saya mencicipinya?"
Robin refleks menarik piringnya menjauh dari Wirya. "Enak aja. Ratna membuatnya khusus untuk saya!" Ia melanjutkan menyantap makanan itu tanpa memperhatikan Wirya yang terkekeh melihat pria tua yang jatuh cinta ini.
Setelah selesai menghabiskan makanan, Robin mengecek agenda hari ini. "Sepertinya tak ada yang penting lagi, saya pergi dulu. Urusan tanda tangan, saya serahkan saja padamu."
Robin beranjak menuju pintu lain di ruang kerja yang tak lain adalah kamar untuk antisipasi jika harus lembur. Tak lama kemudian, ia muncul lagi dengan jaket hijau pemersatu ia dan Ratna.
Tanpa berlama-lama, ia segera menuju warung kopi sang istri. Namun, dari jauh warung itu tampak begitu sepi.
"Kasihan istriku," ucap Robin penuh iba, lalu ia mengeluarkan ponsel menghubungi Wirya.
Tak lama kemudian, ia memarkirkan motor dan merasakan hawa dingin aneh menyergap dari dalam warung. Lampu telah menyala. Akan tetapi tak terdengar suara apa pun.
Pintu warung terbuka sedikit. Meja kasir kosong. Di salah satu kursi, terlihat celemek tergantung lemas.
Robin menelan ludah. "Sayang?" panggilnya pelan.
"Aku pikir, ada yang lupa udah punya istri." Ucapan itu terdengar dari arah dapur. Meski ucapan itu terdengar sangat tenang, tetapi Robin merasa ada ancaman di baliknya.
"Mending kamu balik lagi ngojek lagi, Bang."
Robin pun berdiri kaku di pintu. Ia semakin yakin ini adalah sebuah ancaman di balik tutur manis. 'Apakah seperti ini memiliki istri?'
Yuk, komen yuk kakak, biar Authornya semangat.